Jumat, 24 Januari 2014

“UPACARA PERKAWINAN ATAU PAWIWAHAN”


 “UPACARA PERKAWINAN ATAU PAWIWAHAN”










OLEH:

Dewa Ayu Dewi Purnawati
(10.1.1.1.1.3896)




FAKULTAS DHARMA ACARYA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI 
DENPASAR
2012



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Upacara perkawinan atau pawiwahan tergolong dalam Upacara Manusa Yajna, upacara manusia yadnya pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia, dengan menyucikan setiap tahap perkembangan manusia mulai dari proses pembuatan, bayi dalam kandungan, kelahiran, dari perkembangan sampai meninggal.
Upacara perkawinan sebagai langkah awal untuk meneruskan keturunan merupakan fondasi penting untuk membentuk anak yang suputra. Dalam upacara perkawinan yang terpenting adalah mekala-kalaan, yang pada hakikatnya bertujuan untuk menyucikan spermatozoa (sukla) dan sel telur (swanita). Dengan pembersihan ini diharapkan agar sukla-swanita yang bertemu menghasilkan bibit yang berbobot. Kemudian dilanjutkan dengan upacara bayi dalam kandungan yang pada prinsipnya membentuk diri sang bayi sehingga menjadi anak yang suputra. Upacara dalam kandungan sampai bayi lahir secara garis besar meliputi, nelubulanin (kandungan berumur 3 bulan), pagedong-gedongan (kandungan berumur tujuh bulan). Saat bayi lahir ada upacara rare wawu embas (bayi lahir), kepus pungset (lepasnya ari-ari), tugtug kambuhan (bayi umut 42 hari), nigangsasihin/nyambutin (bayi umur 3 bulan), mapetik (mencukur rambut pertama kali), otonan (bayi berumur 1 oton), tumbuh untu (tumbuh gigi), maketus (gigi tanggal pertama), rajasinga dan rajasewala (laki-laki/perempuan meningkat dewasa), matatah/mepandes (potong gigi), dan pawiwahan (perkawinan).
Upacara manusa yajna dilakukan secara terus menerus setiap hari kelahiran disebut dengan otonan. Di samping itu secara sosiologis, manusa yajna adalah menghargai sesama manusia, memberikan pelayanan terhadap sesama karena melayani sesama manusia sama artinya dengan melayani Tuhan (Manawa Sewa, Madhawa Sewa). Dengan demikian upacara manusia yajna bukan saja berbentuk ritual, tetapi dapat diaplikasikan dalam wujud yang lebih nyata dalam hidup sehari-hari.

1.2         Rumusan Masalah
1.2.1        Apa makna upacara perkawinan menurut umat hindu di bali?
1.2.2        Apa tujuan dilakukannya upacara perkawinan?
1.2.3        Bagamana proses pelaksanaan upacara perkawinan atau pawiwahan?

1.3         Tujuan
1.3.1        Agar dapat mengetahui makna dari upacara perkawinan menurut umat hindu di bali.
1.3.2        Untuk dapat mengetahui tujuan dilakukannya perkawinan.
1.3.3        Untuk mengetahui proses pelaksanaan upacara perkawinan atau pawiwahan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Makna Perkawinan Menurut Umat Hindu di Bali
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain: menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat saya simpulkan bahwa pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.
Upacara perkawinan adalah merupakan persaksian baik kehadapan I.S.W, maupun kepada masyarakat bahwa kedua orang tersebut mengikatkan diri sebagai suami istri, dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka bersama. Disamping itu upacara tersebut juga merupakan pembersihan terhadap “Sukla swanita” (bibit) serta lahir bathinnya.
Hal ini dimaksud agar bibit dari kedua mempelai bebas dari pengaruh-pengaruh buruk (gangguan Bhuta Kala), sehingga kalau keduanya bertemu (terjadi pembuahan) akan terbentuklah sebuah Manik yang sudah bersih. Dengan demikian diharapkan agar roh yang akan menjiwai Manik itu adalah roh yang baik atau suci, dan kemudian akan lahirlah seorang anak yang berguna di masyarakat menjadi idaman orang tuanya). Lain dari pada itu, dengan adanya upacara perkawinan secara Agama Hindu, berarti pula bahwa kedua mempelai telah memilih Agama Hindu serta ajaran-ajarannya sebagai pegangan hidup didalam membina rumah tangganya.
Selanjutnya menurut beberapa lontar seperti Kuno Dresta, Eka pertama dan lain-lainnya, dikemukakan bahwa hubungan sex (didalam suatu perkawinan) yang tidak didahului dengan upacara pedengan-dengan (pekla-kalaan) dianggap tidak baik, dan disebut Kamakeparagan. Kalau kedua kama itu bertemu atau terjadi pembuahan maka, lahirlah anak yang disebut Rare-diadiu, yang tidak mendengarkan nasehat orang tua atau ajaran-ajaran agama. Hal ini mungkin ditujukan kepada perkawinan yang direstui atau disetujui oleh kedua belah pihak (pihak orang tua si gadis dan pihak orang tua si pemuda). Tetapi di Bali masih sering terjadi perkawinan secara Ngerorod, sehingga kemudian sekali segala upacara akan tertunda sampai tecapainya kata sepakat antara kedua belah pihak. Dan hubungan sex yang mungkin terjadi dalam hal ini, kiranya tidaklah dilakukan dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab atas segala akibatnya. Sebagai contoh dapatlah dikemukakan perkawinan antara Dewi Sankuntala dengan Prabhu Duswanta, dimana menurut ceritanya perkawinan itu tidak disertai dengan suatu upacara apapun. Kemudian kalau diperhatikan upacara-upacara didalam perkawinan kiranya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1.    Upacara Madengen-dengenan (makala-kalaan) adalah merupakan upacara yang terpenting (pokok) didalam perkawinan, karena didalam upacara inilah dilakukan pembersihan secara rokhaniah terhadap bibit kedua mempelai, dan pesaksi atas perkawinannya, baik dihadapan Ida Sang Hyang Widhi dan masyarakat. Oleh karena itu pelaksanaannya sedapat mungkin tidak tertunda.
2.    Upacara natab dan mapejati (ngaba jaja) adalah merupakan penyempurnaan didalam perkawinan. Tujuan adalah untuk membersihkan lahir bathin kedua mempelai, memberikan bimbingan hidup dan menentukan status salah satu pihak. Pelaksanaannya kadang-kadang tertunda beberapa hari tergantung pada keadaan.

2.2         Tujuan Pawiwaha menurut Agama Hindu
Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama  untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing. Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
“Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah.
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”

Artinya : “Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).
Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuh kembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:
1.       Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña  dapat dilaksanakan secara sempurna.
2.       Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña  dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
3.       Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.
Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.  Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102  sebagai berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”

Artinya: “Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”

Artinya: “Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”
Artinya: “Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal”  ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).

2.3         Tata Upacara atau Proses Pelaksanaan Upacara Perkawinan
2.3.1   SUSUNAN UPACARANYA
A.      Upacara yang kecil
Untuk penyemputan dimuka rumah si suami. Segehan cacahan warna lima, api takep dan tetabuhan. Untuk peresmian perkawinan. Banten dengen-denganan (pekala-kalaan), tataban seadanya dan pejati.
B.            Upacara yang lebih besar
Untuk penyemputan di muka rumah si suami. Seperti diatas, dilengkapi dengan carun patemon, untuk peresmian perkawinan. Seperti diatas, dilengkapi dengan carun-petemon dan tataban pula gembal, serta sesayut nganten.

2.3.2 PENJELASAN BEBERAPA BUAH BANTEN
1.       Banten pedengen-dengenan (pekala-kalaan) yang terdiri dari :
Peras, ajuman, daksina, suci dengan ikannya telur itik yang direbus, tipat kelanan, sesayut, pengambyan, penyeneng, tulung, sanggah urip, pemubug. (tumpeng kecil 5 buah dialasi dengan kulit sesayut dengan raka-raka dan lauk-lauk), solasan 22 tanding (= nasi yang dialasi dengan taledan kecil), dilengkapi dengan lauk-pauk, ikannya sesate dan lekesan/sirih selengkapnya), bayunan (=penek warna 5 dialasi dengan daun tulujungan ikannya olahan ayam berumbum, dan kulit dari ayam tersebut ditaruh diatasnya dilengkapi dengan kewangen, jika tidak mungkin membuat olahan / sesate maka ayam itu dapat pula dipanggang). Kemudian dilengkapi dengan pabyakalaan, prayascita, lism gelar sanga, tetabuhan, dan beberapa perlengkapan seperti :
1)      Tikeh dadakan : adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang masih hijau. Ini     adalah merupakan simbul kesucian di gadis.
2)      Kala Sepetan : adalah sebuah bakul yang berisi telur ayam yang mentah, sebutir, batu bulitan sebuah, uang 25, kunir, keladi, andong, kapas, lalu bakul itu ditutupi dengan serabut yang dibelah tiga dan berasal dari sebutir kelapa. Serabut itu diikat dengan benang merah putih dan hitam, diatasnya diisi muncuk dadap dan lidi masing-masing 3 buah. Ini adalah merupakan perwujudan dari pada Sang Kala Sepetan yaitu salah satu Bhuta Kala yang menerima banten pedengen-dengenan.
3)      Tegen-tegenan, terdiri dari : cangkul, sebatang tebu, dan cabang dadap. Pada salah satu ujungnya digantungi periyuk yang berisi tutup, dan ujungnya yang lain digantungi bakul berisi uang.
4)      Sok pedagangan : adalah sebuah bakul yang berisi beras, kain, bumbuan, rempah-rempah, pohon kunir, keladi dan andong.
5)      Penegtegan : biasanya dipakai tiang dari pada Sanggah Kemulan yang disebelah kanan, yaitu diisi sebuah keris lengkap dengan pakaiannya. Ini adalah sebagai simbul kelaki-lakian.
6)      Pepegatan : dibuat dari dua buah cabang dadap, yang ditancapkan agak berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang putih.
7)      Tetimpug : dibuat dari beberapa potong bambu yang masih kedua ruasnya. Dalam upacara nanti bambu ini dibakar sampai mengeluarkan bunyi (meletus).
 
2.       Carun patemon yang terletak dijalan
Nasi dialasi dengan bakul, ikannya karangan babi (atau yang lain), nasi yang digulung dengan upih (daun) (ikannya hati) dilengkapi dengan bunga cempaka 2 buah, canang buratwangi, sesari 25 dan tetabuhan. Banten ini dihaturkan kehadapan Sang Bhuta Hulu lembu, Sang Bhuta Harta, dan Sang Bhuta Kilang-kilung.


3.       Carun patemon yang terletak diatas pintu
Nasi takilan yang ikannya darah mentah yang dialasi dengan limas (tangkih), bawang jae, dan garam. Banten ini dihaturkan kehadapan Sang Bhuta Pila-pilu, Sanghyang Sasarudira, Sanghyang kuladrawa, Sanghyang Ragapanguwus, Kaki Ranggaulung, dan Kaki Rangga tan kewuh.

4.       Banten Pejati (Jauman)
Peras, ajuman, daksina, suci dengan ikannya itik diguling, tipat kelanan, bantal, jaja kuskus, dan beberapa jenis jajan lainnya, dilengkapi dengan sirih, pinang, tembakau, gambir, rantasan saparadeg (pakaian istel) dan kadang-kadang dilengkapi dengan 2 buah tumpeng lengkap dengan guling babi. Banten ini dihaturkan di Sanggah Kemulan, kemudian diserahkan kepada orang tua si gadis.

2.3.3  BEBERAPA MANTERA
A.      MANTERA PENGELUKATAN
Om Sanghyang Kama Jaya-Kama ratih, sira ta maka uriping carmaning ngulun, yan sira angawe manusa, aja sira amiruda, amrisakiti, wehana pengelukatan luputan luputa ring lara roga, sanut sangkala, sebel kendel, awak ring sariran ipun. Om siddhi rastu, Om, Cri Criambawane sarwa roga winasaya, sarwa papa winasanem, sarwa klesa winase ya namo namah.
B.      Mantra natab Banten Pedengen-dengen
Om indah ta kita Sang Kala Kali, puniki pabyakala kalane sianu katur ring Sang Kala-kali sedaya, sira reka pakulun angeluwaraken, sakwehing kala, kala pati, kala karapan, kala karongan, kala mujar, kala kapepengan, kala sepetan, kala kapepek, kala cangkingan, kala durbala durbali, kala brahma makadi sakwehing kala heneng ring awak sariran ipun si anu, sami pada kaluwarane de nira betara Siwa wruh ya sira ring Hyang Hyanggani awak sarirania, kejenengana denira Sanghyang Tri purusangkara, kasaksenan denira sanghyang Triodasa-saksi lan ya maruwaten sang kala-kali mundura dulurane rahayu dan nutugang tuwuh ipun si anutunggunen dening bayu pramana, mwang wreddhi putra listu ayu (kadang-kadang dilanjutkan dengan : “Ayu wreddhi”……………………….)

2.3.4 TATA UPACARA MEDENGEN-DENGENAN
Seperti biasa terlebih dahulu ma-byakala, dan ma-prayascita, kemudian mempelai disuruh duduk menghadap Sanggah Kemulan serta banten medengen-dengen. Setelah banten tersebut dipujai seperlunya lalu kedua mempelai bersembahyang, kemudian diupakarai dengan alat-alat yang ada pada pebersihan seperti : sisig, keramas, segara tepung tawar dsb-nya, lalu diberi pengelukatan, dan kemudian natab banten pedengen-dengenan. Selanjutnya kedua mempelai berjalan mengelilingi Sanggah Kemulan, Sanggar Pesaksi, tiap kali melewati Kala Sepetan kakinya disentuhkan sebagai simbul pembersihan sukla-swanita dan dirinya. Setelah tiga kali, lalu penganten yang laki berbelanja, sedangkan yang perempuan menjual segala yang ada pada “sok bebelanja” (waktu berjalan penganten yang laki memikul tegen-tegenan yang perempuan menjunjung sok bebelanjan).
Upacara jual beli ini mungkin sebagai simbul tercapainya kata sepakat untuk memperoleh keturunan. Kemudian dilanjutkan dengan “merobek tikar” (tikar dadakan), dimana pengantin yang peremuan memegang tikar tersebut dan yang laki merobek dengan keris yang berada pada penegtegan.
Hal ini merupakan simbul “pemecahan selaput gadis”. Setelah itu kedua mempelai memutuskan benang yang terlentang pada cabang dadap (pepegatan) sebagai tanda bahwa mereka telah melampaui masa remajanya, dan kini berada pada fase yang baru sebagai suami istri. Kemudian bersama-sama menanam pohon kunir, andongan dan keladi di belakang Sanggah Kemulan, dilanjutkan dengan mandi / berganti pakaian.
Sore harinya dilakukan upacara melukat, mejaya-jaya dan natab dapetan seadanya, dan akhirnya mepejati (ngaba jaja). Upacara mepejati itu bertujuan menyatakan bahwa mulai saat ini si gadis tidak masih menjadi tanggung jawab dan hak waris keluarganya.
Dengan demikian upacara perkawinan dianggap selesai.


BAB III
PENUTUP

3.1 SIMPULAN
Dari makalah diatas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1.        Perkawinan merupakan hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan, namun perkawinan memiliki hubunganyang sangat erat dengan agama atau kerohanian, tidak hanya di katakan sebagai hubungan biologis saja namun berfungsi sebagai bentuk pembayaran huatang terhadap leluhur atau orang tua yang akan menjadi tanggung jawab bagi seorang yang sudah menikah untuk memelihara dan mendidik.
2.        Tujuan perkawinan/pawiwahan menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).
3.        Proses pelaksanaan upacara perkawinan ada 3 tahapan yakni : upacara pendahuluan yang bertujuan agar kedua membelai dapat dihilangkan “sebelnya”, upacara pokok bertujuan untuk mencapai kesucian dan kesahan dalam perkawinan danbtahapan ketiga adalah upacara mepejati/meajuman yang bertujuan untuk mempersihkan membelai secara lahir bhatin.

3.2 SARAN
            Agar para pembaca dapat menyempurnakan makalah sederhana ini, dan semoga malakah ini dapat bermanfaat para pembaca, serta dapat di aplikasikan ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya.






Daftar Pustaka
Mantra, Ida Bagus. 1970. Bhagavad Gita. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali
Putra, I. Gst. Ag, 2003, Panca Yadnya, Pemerintah Propinsi Bali, Kegiatan Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama, Denpasar.
Sudharta, Tjok. Rai dan I.B. Oka Punyatmaja. 2002. Upadesa. Surabaya: Paramita.
Sudharta, Tjok Rai. 2002.Manusia Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha.
Sudarsana, Putu. 2002. Ajaran Agama Hindu. Denpasar : Mandara Saatra.
—————–. 1996. Manawa Dharmasastra. Jakarta: Hanuman Sakti.
http://wahana08.wordpress.com/2009/11/11/upacara-manusa-yadnya/
http://dimas-sigit.blogspot.com/2011/12/upacara-kelahiran-sampai-perkawinan.html






 

1 komentar: