“UPACARA PERKAWINAN ATAU
PAWIWAHAN”
OLEH:
Dewa Ayu Dewi Purnawati
(10.1.1.1.1.3896)
FAKULTAS DHARMA ACARYA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Upacara
perkawinan atau pawiwahan tergolong dalam Upacara Manusa Yajna, upacara manusia
yadnya pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia, dengan
menyucikan setiap tahap perkembangan manusia mulai dari proses pembuatan, bayi
dalam kandungan, kelahiran, dari perkembangan sampai meninggal.
Upacara
perkawinan sebagai langkah awal untuk meneruskan keturunan merupakan fondasi
penting untuk membentuk anak yang suputra. Dalam upacara perkawinan yang
terpenting adalah mekala-kalaan, yang pada hakikatnya bertujuan untuk
menyucikan spermatozoa (sukla) dan sel telur (swanita). Dengan pembersihan ini
diharapkan agar sukla-swanita yang
bertemu menghasilkan bibit yang berbobot. Kemudian dilanjutkan dengan upacara
bayi dalam kandungan yang pada prinsipnya membentuk diri sang bayi sehingga
menjadi anak yang suputra. Upacara dalam kandungan sampai bayi lahir secara
garis besar meliputi, nelubulanin (kandungan berumur 3 bulan),
pagedong-gedongan (kandungan berumur tujuh bulan). Saat bayi lahir ada upacara
rare wawu embas (bayi lahir), kepus pungset (lepasnya ari-ari), tugtug kambuhan
(bayi umut 42 hari), nigangsasihin/nyambutin (bayi umur 3 bulan), mapetik (mencukur
rambut pertama kali), otonan (bayi berumur 1 oton), tumbuh untu (tumbuh gigi),
maketus (gigi tanggal pertama), rajasinga dan rajasewala (laki-laki/perempuan
meningkat dewasa), matatah/mepandes (potong gigi), dan pawiwahan (perkawinan).
Upacara manusa yajna
dilakukan secara terus menerus setiap hari kelahiran disebut dengan otonan. Di
samping itu secara sosiologis, manusa yajna adalah menghargai sesama manusia,
memberikan pelayanan terhadap sesama karena melayani sesama manusia sama
artinya dengan melayani Tuhan (Manawa
Sewa, Madhawa Sewa). Dengan
demikian upacara manusia yajna bukan saja berbentuk ritual, tetapi dapat
diaplikasikan dalam wujud yang lebih nyata dalam hidup sehari-hari.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Apa makna upacara
perkawinan menurut umat hindu di bali?
1.2.2
Apa tujuan dilakukannya
upacara perkawinan?
1.2.3
Bagamana proses pelaksanaan
upacara perkawinan atau pawiwahan?
1.3
Tujuan
1.3.1
Agar dapat mengetahui
makna dari upacara perkawinan menurut umat hindu di bali.
1.3.2
Untuk dapat mengetahui tujuan
dilakukannya perkawinan.
1.3.3
Untuk mengetahui proses
pelaksanaan upacara perkawinan atau pawiwahan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Makna
Perkawinan Menurut Umat Hindu di Bali
Dalam
agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang
etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa kata wiwaha berasal
dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian
pawiwahan secara semantik dapat
dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan.
Pengertian pawiwahan tersebut antara
lain: menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan
pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan
Yang Maha Esa.
Berdasarkan
pengertian-pengertian diatas dapat saya simpulkan bahwa pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala )
antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang
diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.
Upacara
perkawinan adalah merupakan persaksian baik kehadapan I.S.W, maupun kepada
masyarakat bahwa kedua orang tersebut mengikatkan diri sebagai suami istri, dan
segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka bersama. Disamping itu
upacara tersebut juga merupakan pembersihan terhadap “Sukla swanita” (bibit) serta lahir bathinnya.
Hal
ini dimaksud agar bibit dari kedua mempelai bebas dari pengaruh-pengaruh buruk
(gangguan Bhuta Kala), sehingga kalau
keduanya bertemu (terjadi pembuahan) akan terbentuklah sebuah Manik yang sudah
bersih. Dengan demikian diharapkan agar roh yang akan menjiwai Manik itu adalah
roh yang baik atau suci, dan kemudian akan lahirlah seorang anak yang berguna
di masyarakat menjadi idaman orang tuanya). Lain dari pada itu, dengan adanya
upacara perkawinan secara Agama Hindu, berarti pula bahwa kedua mempelai telah
memilih Agama Hindu serta ajaran-ajarannya sebagai pegangan hidup didalam
membina rumah tangganya.
Selanjutnya
menurut beberapa lontar seperti Kuno Dresta,
Eka pertama dan lain-lainnya, dikemukakan bahwa hubungan sex (didalam suatu
perkawinan) yang tidak didahului dengan upacara pedengan-dengan (pekla-kalaan) dianggap tidak baik, dan
disebut Kamakeparagan. Kalau kedua
kama itu bertemu atau terjadi pembuahan maka, lahirlah anak yang disebut Rare-diadiu, yang tidak mendengarkan
nasehat orang tua atau ajaran-ajaran agama. Hal ini mungkin ditujukan kepada
perkawinan yang direstui atau disetujui oleh kedua belah pihak (pihak orang tua
si gadis dan pihak orang tua si pemuda). Tetapi di Bali masih sering terjadi
perkawinan secara Ngerorod, sehingga
kemudian sekali segala upacara akan tertunda sampai tecapainya kata sepakat
antara kedua belah pihak. Dan hubungan sex yang mungkin terjadi dalam hal ini, kiranya
tidaklah dilakukan dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab atas segala
akibatnya. Sebagai contoh dapatlah dikemukakan perkawinan antara Dewi
Sankuntala dengan Prabhu Duswanta, dimana menurut ceritanya perkawinan itu
tidak disertai dengan suatu upacara apapun. Kemudian kalau diperhatikan
upacara-upacara didalam perkawinan kiranya dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu :
1. Upacara Madengen-dengenan
(makala-kalaan) adalah merupakan
upacara yang terpenting (pokok) didalam perkawinan, karena didalam upacara inilah
dilakukan pembersihan secara rokhaniah terhadap bibit kedua mempelai, dan
pesaksi atas perkawinannya, baik dihadapan Ida Sang Hyang Widhi dan masyarakat.
Oleh karena itu pelaksanaannya sedapat mungkin tidak tertunda.
2. Upacara natab dan mapejati (ngaba jaja) adalah merupakan
penyempurnaan didalam perkawinan. Tujuan adalah untuk membersihkan lahir bathin
kedua mempelai, memberikan bimbingan hidup dan menentukan status salah satu
pihak. Pelaksanaannya kadang-kadang tertunda beberapa hari tergantung pada
keadaan.
2.2
Tujuan
Pawiwaha menurut Agama Hindu
Pada
dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial,
sehingga mereka harus hidup bersama-sama
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia
dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah
menyadari perannya masing-masing. Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial
bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling
membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini
diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan
kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra
IX. 96 sebagai berikut:
“Prnja nartha striyah
srstah samtarnartham ca manavah.
Tasmat sadahrano
dharmah crutam patnya sahaditah”
Artinya : “Untuk menjadi Ibu,
wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara
keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan
istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).
Menurut I Made
Titib dalam makalah “Menumbuh kembangkan pendidikan agama pada keluarga”
disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal
yaitu:
1. Dharmasampati, kedua mempelai secara
bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban
agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas
Yajña dapat dilaksanakan secara
sempurna.
2. Praja, kedua mempelai mampu melahirkan
keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui
Yajña dan lahirnya putra yang suputra
seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada
Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
3. Rati, kedua mempelai dapat menikmati
kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak
bertentangan dan berlandaskan Dharma.
Lebih jauh lagi
sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang
dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga
( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana
diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga
yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam
kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102
sebagai berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah
samasenajneyah stripumsayoh parah”
Artinya: “Hendaknya supaya hubungan
yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum
tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
Artinya: “Hendaknya laki-laki dan
perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak
jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar
kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan
kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya
perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya
dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan
terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan
tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra
III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto bharyaya
bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam
kalyanam tatra wai dhruwam”
Artinya: “Pada keluarga dimana
suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap
suaminya, kebahagiaan pasti kekal” (
Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah
mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang
putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia
(jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).
2.3
Tata
Upacara atau Proses Pelaksanaan Upacara Perkawinan
2.3.1
SUSUNAN
UPACARANYA
A. Upacara
yang kecil
Untuk
penyemputan dimuka rumah si suami. Segehan cacahan warna lima, api takep dan
tetabuhan. Untuk peresmian perkawinan. Banten dengen-denganan (pekala-kalaan),
tataban seadanya dan pejati.
B.
Upacara yang lebih
besar
Untuk
penyemputan di muka rumah si suami. Seperti diatas, dilengkapi dengan carun
patemon, untuk peresmian perkawinan. Seperti diatas, dilengkapi dengan
carun-petemon dan tataban pula gembal, serta sesayut nganten.
2.3.2 PENJELASAN
BEBERAPA BUAH BANTEN
1. Banten pedengen-dengenan (pekala-kalaan)
yang terdiri dari :
Peras,
ajuman, daksina, suci dengan ikannya telur itik yang direbus, tipat kelanan,
sesayut, pengambyan, penyeneng, tulung, sanggah urip, pemubug. (tumpeng kecil 5
buah dialasi dengan kulit sesayut dengan raka-raka dan lauk-lauk), solasan 22
tanding (= nasi yang dialasi dengan taledan kecil), dilengkapi dengan
lauk-pauk, ikannya sesate dan lekesan/sirih selengkapnya), bayunan (=penek
warna 5 dialasi dengan daun tulujungan ikannya olahan ayam berumbum, dan kulit
dari ayam tersebut ditaruh diatasnya dilengkapi dengan kewangen, jika tidak
mungkin membuat olahan / sesate maka ayam itu dapat pula dipanggang). Kemudian
dilengkapi dengan pabyakalaan, prayascita, lism gelar sanga, tetabuhan, dan
beberapa perlengkapan seperti :
1) Tikeh
dadakan : adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang masih
hijau. Ini adalah merupakan simbul kesucian di gadis.
2) Kala Sepetan : adalah sebuah bakul yang berisi telur ayam yang mentah, sebutir, batu bulitan sebuah, uang 25, kunir, keladi, andong, kapas, lalu bakul itu ditutupi dengan serabut yang dibelah tiga dan berasal dari sebutir kelapa. Serabut itu diikat dengan benang merah putih dan hitam, diatasnya diisi muncuk dadap dan lidi masing-masing 3 buah. Ini adalah merupakan perwujudan dari pada Sang Kala Sepetan yaitu salah satu Bhuta Kala yang menerima banten pedengen-dengenan.
3) Tegen-tegenan, terdiri dari : cangkul, sebatang tebu, dan cabang dadap. Pada salah satu ujungnya digantungi periyuk yang berisi tutup, dan ujungnya yang lain digantungi bakul berisi uang.
4) Sok pedagangan : adalah sebuah bakul yang berisi beras, kain, bumbuan, rempah-rempah, pohon kunir, keladi dan andong.
5) Penegtegan : biasanya dipakai tiang dari pada Sanggah Kemulan yang disebelah kanan, yaitu diisi sebuah keris lengkap dengan pakaiannya. Ini adalah sebagai simbul kelaki-lakian.
6) Pepegatan : dibuat dari dua buah cabang dadap, yang ditancapkan agak berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang putih.
7) Tetimpug : dibuat dari beberapa potong bambu yang masih kedua ruasnya. Dalam upacara nanti bambu ini dibakar sampai mengeluarkan bunyi (meletus).
2) Kala Sepetan : adalah sebuah bakul yang berisi telur ayam yang mentah, sebutir, batu bulitan sebuah, uang 25, kunir, keladi, andong, kapas, lalu bakul itu ditutupi dengan serabut yang dibelah tiga dan berasal dari sebutir kelapa. Serabut itu diikat dengan benang merah putih dan hitam, diatasnya diisi muncuk dadap dan lidi masing-masing 3 buah. Ini adalah merupakan perwujudan dari pada Sang Kala Sepetan yaitu salah satu Bhuta Kala yang menerima banten pedengen-dengenan.
3) Tegen-tegenan, terdiri dari : cangkul, sebatang tebu, dan cabang dadap. Pada salah satu ujungnya digantungi periyuk yang berisi tutup, dan ujungnya yang lain digantungi bakul berisi uang.
4) Sok pedagangan : adalah sebuah bakul yang berisi beras, kain, bumbuan, rempah-rempah, pohon kunir, keladi dan andong.
5) Penegtegan : biasanya dipakai tiang dari pada Sanggah Kemulan yang disebelah kanan, yaitu diisi sebuah keris lengkap dengan pakaiannya. Ini adalah sebagai simbul kelaki-lakian.
6) Pepegatan : dibuat dari dua buah cabang dadap, yang ditancapkan agak berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang putih.
7) Tetimpug : dibuat dari beberapa potong bambu yang masih kedua ruasnya. Dalam upacara nanti bambu ini dibakar sampai mengeluarkan bunyi (meletus).
2. Carun patemon yang terletak dijalan
Nasi
dialasi dengan bakul, ikannya karangan babi (atau yang lain), nasi yang
digulung dengan upih (daun) (ikannya hati) dilengkapi dengan bunga cempaka 2
buah, canang buratwangi, sesari 25 dan tetabuhan. Banten ini dihaturkan
kehadapan Sang Bhuta Hulu lembu, Sang Bhuta Harta, dan Sang Bhuta
Kilang-kilung.
3. Carun
patemon yang terletak diatas pintu
Nasi
takilan yang ikannya darah mentah yang dialasi dengan limas (tangkih), bawang
jae, dan garam. Banten ini dihaturkan kehadapan Sang Bhuta Pila-pilu, Sanghyang
Sasarudira, Sanghyang kuladrawa, Sanghyang Ragapanguwus, Kaki Ranggaulung, dan
Kaki Rangga tan kewuh.
4. Banten Pejati (Jauman)
Peras,
ajuman, daksina, suci dengan ikannya itik diguling, tipat kelanan, bantal, jaja
kuskus, dan beberapa jenis jajan lainnya, dilengkapi dengan sirih, pinang,
tembakau, gambir, rantasan saparadeg (pakaian istel) dan kadang-kadang
dilengkapi dengan 2 buah tumpeng lengkap dengan guling babi. Banten ini
dihaturkan di Sanggah Kemulan, kemudian diserahkan kepada orang tua si gadis.
2.3.3 BEBERAPA
MANTERA
A.
MANTERA PENGELUKATAN
Om Sanghyang Kama
Jaya-Kama ratih, sira ta maka uriping carmaning ngulun, yan sira angawe manusa,
aja sira amiruda, amrisakiti, wehana pengelukatan luputan luputa ring lara
roga, sanut sangkala, sebel kendel, awak ring sariran ipun. Om siddhi rastu,
Om, Cri Criambawane sarwa roga winasaya, sarwa papa winasanem, sarwa klesa
winase ya namo namah.
B.
Mantra natab Banten Pedengen-dengen
Om indah ta kita Sang
Kala Kali, puniki pabyakala kalane sianu katur ring Sang Kala-kali sedaya, sira
reka pakulun angeluwaraken, sakwehing kala, kala pati, kala karapan, kala
karongan, kala mujar, kala kapepengan, kala sepetan, kala kapepek, kala cangkingan,
kala durbala durbali, kala brahma makadi sakwehing kala heneng ring awak
sariran ipun si anu, sami pada kaluwarane de nira betara Siwa wruh ya sira ring
Hyang Hyanggani awak sarirania, kejenengana denira Sanghyang Tri purusangkara,
kasaksenan denira sanghyang Triodasa-saksi lan ya maruwaten sang kala-kali
mundura dulurane rahayu dan nutugang tuwuh ipun si anutunggunen dening bayu
pramana, mwang wreddhi putra listu ayu (kadang-kadang dilanjutkan dengan : “Ayu
wreddhi”……………………….)
2.3.4 TATA UPACARA MEDENGEN-DENGENAN
Seperti
biasa terlebih dahulu ma-byakala, dan ma-prayascita, kemudian mempelai disuruh
duduk menghadap Sanggah Kemulan serta banten medengen-dengen. Setelah banten
tersebut dipujai seperlunya lalu kedua mempelai bersembahyang, kemudian diupakarai
dengan alat-alat yang ada pada pebersihan seperti : sisig, keramas, segara
tepung tawar dsb-nya, lalu diberi pengelukatan, dan kemudian natab banten
pedengen-dengenan. Selanjutnya kedua mempelai berjalan mengelilingi Sanggah
Kemulan, Sanggar Pesaksi, tiap kali melewati Kala Sepetan kakinya disentuhkan
sebagai simbul pembersihan sukla-swanita dan dirinya. Setelah tiga kali, lalu
penganten yang laki berbelanja, sedangkan yang perempuan menjual segala yang
ada pada “sok bebelanja” (waktu
berjalan penganten yang laki memikul tegen-tegenan yang perempuan menjunjung
sok bebelanjan).
Upacara
jual beli ini mungkin sebagai simbul tercapainya kata sepakat untuk memperoleh
keturunan. Kemudian dilanjutkan dengan “merobek tikar” (tikar dadakan), dimana pengantin yang peremuan memegang tikar
tersebut dan yang laki merobek dengan keris yang berada pada penegtegan.
Hal
ini merupakan simbul “pemecahan selaput
gadis”. Setelah itu kedua mempelai memutuskan benang yang terlentang pada
cabang dadap (pepegatan) sebagai
tanda bahwa mereka telah melampaui masa remajanya, dan kini berada pada fase
yang baru sebagai suami istri. Kemudian bersama-sama menanam pohon kunir,
andongan dan keladi di belakang Sanggah Kemulan, dilanjutkan dengan mandi /
berganti pakaian.
Sore
harinya dilakukan upacara melukat, mejaya-jaya dan natab dapetan seadanya, dan
akhirnya mepejati (ngaba jaja).
Upacara mepejati itu bertujuan menyatakan bahwa mulai saat ini si gadis tidak
masih menjadi tanggung jawab dan hak
waris keluarganya.
Dengan
demikian upacara perkawinan dianggap selesai.
BAB
III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Dari makalah diatas
dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1.
Perkawinan merupakan
hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan, namun perkawinan memiliki
hubunganyang sangat erat dengan agama atau kerohanian, tidak hanya di katakan
sebagai hubungan biologis saja namun berfungsi sebagai bentuk pembayaran
huatang terhadap leluhur atau orang tua yang akan menjadi tanggung jawab bagi
seorang yang sudah menikah untuk memelihara dan mendidik.
2.
Tujuan perkawinan/pawiwahan
menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang
tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta
keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).
3.
Proses pelaksanaan
upacara perkawinan ada 3 tahapan yakni : upacara pendahuluan yang bertujuan
agar kedua membelai dapat dihilangkan “sebelnya”, upacara pokok bertujuan untuk
mencapai kesucian dan kesahan dalam perkawinan danbtahapan ketiga adalah upacara
mepejati/meajuman yang bertujuan untuk mempersihkan membelai secara lahir
bhatin.
3.2 SARAN
Agar
para pembaca dapat menyempurnakan makalah sederhana ini, dan semoga malakah ini
dapat bermanfaat para pembaca, serta dapat di aplikasikan ilmu-ilmu yang terkandung
di dalamnya.
Daftar Pustaka
Mantra, Ida Bagus. 1970. Bhagavad Gita. Denpasar:
Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali
Putra, I. Gst. Ag, 2003, Panca Yadnya, Pemerintah
Propinsi Bali, Kegiatan Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama,
Denpasar.
Sudharta, Tjok. Rai dan I.B. Oka Punyatmaja. 2002.
Upadesa. Surabaya: Paramita.
Sudharta, Tjok
Rai. 2002.Manusia Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha.
Sudarsana, Putu.
2002. Ajaran Agama Hindu. Denpasar : Mandara Saatra.
—————–. 1996.
Manawa Dharmasastra. Jakarta: Hanuman Sakti.
http://wahana08.wordpress.com/2009/11/11/upacara-manusa-yadnya/
http://dimas-sigit.blogspot.com/2011/12/upacara-kelahiran-sampai-perkawinan.html
Untuk bukunya dimana bisa beli?
BalasHapus