Rabu, 22 Januari 2014

Mengkaji Pelinggih Dalam Merajan Gede Dalem Segening Di Banjar Delod Blumbang


TUGAS INDIVIDU SIVA SIDDHANTA II
KRISTALISASI SIVA SIDDHANTA DALAM PEMERAJANAN
Mengkaji Pelinggih Dalam Merajan Gede Dalem Segening Di Banjar Delod Blumbang
Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.H


IHDN DENPASAR


            Oleh :


             Dewa Ayu Dewi Purnawati                 (10.1.1.1.1.3896)
                       












JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012



BABAD DALEM SRI KRESNA KEPAKISAN
DALEM WAWU RAWUH
ADIPATI BALI I SETELAH EKSPEDISI MAJAPAHIT
WAKIL KERAJAAN MAJAPAHIT DI BALI

Setelah kekalahan Kerajaan Bedulu maka Pulau Bali dapat dikuasai sepenuhnya oleh Majapahit maka Pemerintahan sementara diserahkan kepada Mpu Jiwaksara yang kemudian bergelar Ki Patih Wulung. Beliau menempatkan pusat Pemerintahan di Gelgel. Namun demikian walaupun Bali sudah dikalahkan Majapahit, tidak berarti rakyat dan tokoh-tokoh Bali Aga sudah menyerah. sering terjadi perselisihan antara orang-orang Bali-Aga dengan pasukan Majapahit yang ditugaskan menjaga keamanan di Bali. oleh karena itu  Patih Gajahmada penyerahan kekuasaan kepada Sri Dalem Kresna Kepakisan
Mereka terus mengadakan perlawanan di bawah tanah, dan sekali-sekali muncul ke permukaan, misalnya pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Tokawa di Ularan, dan Ki Buwahan di Batur.  Satunya orang yang masih disegani pada waktu itu adalah Patih Ulung tetapi tidak mempunyai wewenang apapun untuk mengatasi situasi yang tidak tentram di Bali. Situasi menjadi makin tidak menetu karena para Arya dari Jawa kurang mengindahkan kekuasaan pemerintahan sementara tersebut. Setelah tujuh tahun barulah pemberontakan-pemberontakan dapat dipadamkan, namun rakyat Bedahulu masih belum mau menerima kehadiran "si-penjajah" sepenuh hati.
Melihat keamanan sudah membaik dan Pemerintahan sudah dapat berjalan sebagaimana mestinya, maka pada tahun 1350 M atau 1272 isaka, terdorong oleh keinginan luhur untuk menjaga keutuhan Bali maka Patih Ulung bersama dua orang keluarganya Arya Pemacekan dan Arya Kepasekan memberanikan diri menghadap ke Majapahit yang bertujuan melaporkan situasi di Bali dan memohon penunjukan seorang Raja di Bali Dwipa yang mampu meredakan ketegangan di Bali.



Kemudian atas saran Patih Agung Gajah Mada, pada tahun itu juga dilantiklah empat orang Raja, putra-putri Sri Soma Kepakisan, untuk memimpin kerajaan-kerajaan yang sudah ditaklukkan, yaitu:
1)        Ida Nyoman Kepakisan menjadi Raja di Blambangan
2)        Ida Made Kepakisan menjadi Raja di Pasuruan,
3)        Ida Nyoman Istri Kepakisan/Dalem Sukanya diperistri Raja Sumbawa
4)        Ida Ketut Kresna Kepakisan menjadi Raja di Bali Dwipa.

Sri Soma Kepakisan Adalah penasehat Patih Gajah Mada. Konon beliau lahir dari batu. Pada saat beliau memuja Dewa Surya (Surya Sewana), beliau bertemu dengan bidadari. Bidadari itu dinikahinya. Setelah beliau berputra, putra-putranya itu diminta oleh patih Gajah Mada sebagai raja di wilayah yang sudah ditaklukan oleh Majapahit . Sebelum itu Ki Patih Gajah Mada sudah memohon putra Ida Mpu Danghyang Soma Kepakisan - sebagai pendeta guru utama di Kediri, yang bernama Ida Sri Kresna Kepakisan, untuk diasuh di Majapahit. Ida Mpu Soma Kepakisan itu tiada lain saudara dari Ida Mpu Danghyang Panawasikan, Ida Mpu Danghyang Siddhimantra dan Ida Mpu Asmaranatha.
Pada saat di Bali serta daerah lain tidak memiliki penguasa, serta dalam upaya menyelenggarakan Kesejahteraan di masing-masing wilayah, maka sesuai dengan perintah Raja Majapahit, Mahapatih Gajah Mada meminta putra Ida Sri Kresna Kapakisan yang sudah dewasa untuk dijadikan penguasa atau Dalem di Bali. "Pakis" berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan kepada Brahmana yang ditugasi sebagai Raja (Dalem) atau Kesatria. Gelar Kepakisan yang diberikan kepada Kesatria adalah: Sira-Arya Kepakisan. Beliau adalah keturunan Sri Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja Airlangga, Raja Kahuripan (Jawa). Gelar "Paku" di Jawa pertama kali digunakan oleh Susuhunan Kartasura: Paku Buwono I pada tahun 1706 M.
Diceritakan Mpu Wira Dharma berputra tiga orang yaitu: Mpu Lampita, Mpu Adnyana, Mpu Pastika. Selanjutnya Mpu Pastika berputra dua orang yaitu: Mpu Kuturan berasrama di Lemah Tulis dan Mpu Beradah pergi ke Daha serta menjadi pendeta kerajaan (bhagawanta) dari Raja Airlangga dan dikaitkan dengan cerita Calonarang yang amat terkenal di Bali. Kemudian Mpu Beradah berputra seorang yang bernama Mpu Bahula yang kemudian kawin dengan Ratnamanggali. Dari perkawinan ini lahirlah beberapa putra: Mpu Panawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu Kepakisan dan Mpu Sidimantra.
Akhirnya Mpu Panawasikan berputra: Mpu Angsoka, Mpu Nirartha. Mpu Kepakisan yang berputra empat orang yaitu: tiga putra dan seorang putri. Putra yang bungsu Mpu Kresna Kepakisan diangkat menjadi raja di Bali. Dengan demikian Sri Kresna Kepakisan yang menjadi Raja di Bali adalah dari keturunan Brahmana yang kebangsawanannya diubah menjadi kesatrya atau dari Danghyang/ Mpu menjadi Sri.
A.           PENGANKATAN DINASTI SRI KRESNA KEPAKISAN
Dalem Ketut kemudian bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh atau Dalem Tegal Besung. Dalam Perjalanannya dari Majapahit ke Pulau Bali rombongan dari majapahit mendarat di pantai Lebih, kemudian ke arah timur laut menuju Samprangan.
Dalam pemerintahannya Dalem Sri Kresna Kepakisan didampingi oleh Arya Kepakisan/ Sri Nararya Kresna Kepakisan yang menjabat sebagai Patih Agung berasal dari Dinasti Warmadewa yang merupakan keturunan Raja atau Kesatrya Kediri. Sehingga baik Adipati maupun Patih Agungnya berasal dari satu desa yaitu desa Pakis di Jawa Timur sehingga setibanya beliau di Bali menggunakan nama yang hamper sama yaitu Adipatinya bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan sedangkan patih agungnya bergelar Arya Kepakisan atau Sri Nararya Kresna Kepakisan
Dalam pemerintahannya dalem didampingi oleh Ki Patih Wulung yang menjabat sebagai Mangku Bumi. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan (Samplangan). Dipilihnya Daerah Samprangan karena ketika ekspedisi Gajah Mada, desa Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada serta tempat mengatur strategi untuk menyerang kerajaan Bedahulu.
Dari Babad Dalem diketahui bahwa dalam menjalankan pemerintahan sebagai wakil dari Majapahit di Pulau Bali Dalem. Sri Kresna Kepakisan dibekali dengan pakaian kebesaran kerajaan dan sebilah keris yang bernama Si Ganja Dungkul yang memberikan konsep kebudayaan yang memadukan kebudayaan Jawa dengan Bali, dan tanda-tanda kebesaran itu berfungsi sebagai symbol atau lambang kekuasaan yang sah.
B.            SISTEM PEMERINTAHAN
Masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Bali merupakan awal terbentuknya dinasti baru yaitu dinasti Kresna Kepakisan yang kemudian berkuasa di Bali sampai awal abad ke-20 (1908). Beliau membawa pengaruh-pengaruh baru dari Majapahit termasuk para bangsawan. Bangsawan baru ini merupakan kelompok  elite yang menempati status dan peranan penting atas struktur pelapisan masyarakat Bali. Hal ini sekaligus menggeser kedudukan dan peranan bangsawan dari kerajaan Bali Kuno.
Semasa pemerintahan Sri kresna Kepakisan di Samprangan diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali Aga seperti: desa Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain.
Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan keris pusaka Ki Lobar disamping keris yang bernama Si Tanda Langlang yang terlebih dahulu beliau bawa.
Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia, memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu sejumlah pejabat birokrasi. Para putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota sebelum menjadi raja biasanya mereka diberi kedudukan sebagai raja muda (Yuwaraja). Raja dibantu oleh suatu lembaga yang merupakan dewan pertimbangan pada raja. Anggotanya ialah para sanak saudara raja. Dalam kekawin Negara Kertagama disebut dengan nama Pahem Narendra
Jabatan yang lain ialah Dharma Dhyaksa ialah pejabat tinggi kerajaan yang bertugas menjalankan fungsi yurisdiksi keagamaan. Ada dua Dharma Dhyaksa yaitu Dharma Dhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa, dan Dharma Dhyaksa ring Kasogatan untuk urusan agama Budha. Dalem Sri Kresna Kepakisan dalam menjalankan pemerintahannya di bantu oleh para Arya yang terlebih dahulu menetap di Bali yang kedatangannya bersamaan dengan ekspedisi Majapahit bersama Patih Gajah Mada juga dibantu para Arya yang menyertai perjalanan Dalem Sri Kresna Kepakisan dari Majapahit ke Bali. Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cegahan. Demikian dikatakan di Babad Dalem.
C.      AKHIR MASA PEMERINTAHAN
Dalem Sri Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373 M atau 1295 isaka. Beliau digantikan oleh putranya yang tertua yaitu Dalem Wayan, bergelar Dalem Sri Agra Samprangan. Sesuai dengan adat istiadat yang berlaku maka setelah Dalem Ketut Kresna Kepakisan wafat, maka beliau digantikan oleh putranya yang sulung yaitu: Dalem Agra Samprangan.
Di awal pemerintahan Dalem Sri Agra Samprangan (tahun 1373 M atau 1295 isaka) terasa situasi di Puri Samprangan memburuk, yaitu adanya upaya mengadu domba Raja dengan adik-adik beliau yang dilakukan oleh para Menteri dan pembantu dekat Raja. Untuk menghindari pertengkaran, maka kedua adik Dalem yaitu Dalem Di-Madia dan Dalem Ketut, memilih tinggal di luar istana. Dalem Di Madia membangun istana dan bermukim di Desa Tarukan, Pejeng, oleh karena itu beliau bergelar : Dalem Tarukan. Dalem Ketut, tidak menetap. Beliau berpindah-pindah dari satu Desa ke Desa lain, menyamar sebagai penjudi ayam aduan; penduduk lalu menjuluki beliau : Dalem Ketut Ngulesir. Selain untuk menghindari pertengkaran, beliau berdua juga bermaksud menyelidiki dukungan rakyat Bali (Bali-Aga) terhadap pemerintahan Samprangan serta mengadakan pendekatan dengan rakyat. Ide Bethara Dalem Tarukan memilih Desa Tarukan di Pejeng sebagai istana, karena dekat dengan rakyat Bedahulu yang sebagian besar masih belum mengakui pemerintahan Samprangan. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis di wilayah Gianyar sekarang dapat diinterprestasikan bahwa munculnya komunikasi di Gianyar sejak 2000 tahun yang lalu karena diketemukannya situs perkakas (artefak) berupa batu, logam perunggu berupa nekara (Bulan Pejeng), relief-relief yang menggambarkan kehidupan candi-candi atau goa-goa di tebing-tebing sungai (tukad) Pakerisan. Setelah bukti-bukti tertulis ditemukan berupa prasasti diatas batu atau logam terindetifikasi situs pusat-pusat kerajaan dari dinasti Warmadewa di Keraton Singamandawa, Bedahulu. Setelah ekspedisi Gajah Mada (Majapahit) dapat menguasai Pulau Bali maka di bekas pusat markas laskarnya didirikan sebuah Keraton Samprangan sebagai pusat pemerintahan kerajaan yang dipegang oleh Lima Raja Bali, yaitu:
Raja Adipati Ida Dalem Kresna Kepakisan (1350-1380), sebagai cikal bakal dari dinasti Kresna Kepakisan, kemudian Keraton Samprangan mampu bertahan selama lebih kurang tiga abad.
a.         Ida Dalem Ketut Ngulesir (1380-1460)
b.         Ida Dalem Waturenggong (1460-1550)
c.         Ida Dalem Sagening (1580-1625)
d.        Ida Dalem Dimade (1625-1651).
Dua Raja Bali yang terakhir yaitu Ida Dalem Segening dan Ida Dalem Dimade telah menurunkan cikal bakal penguasa di daerah-daerah. Ida Dewa Manggis Kuning (1600-an) penguasa di Desa Beng adalah cikal bakal Dinasti Manggis yang muncul setelah generasi II membangun Kerajaan Payangan (1735-1843). Salah seorang putra raja Klungkung Ida Dewa Agung Jambe yang bernama Ida Dewa Agung Anom muncul sebagai cikal bakal dinasti raja-raja di Sukawati termasuk Peliatan dan Ubud.
Di dalam Babad Sukawati yang pada saat itu di pimpin oleh raja yang bernama Dewa Agung Gede Mayun atau Sri Aji Petemon. Setelah lanjut usia Dewa Agung Anom wafat, beliau distanakan di Pemerajan Agung Pura Penataran Sukawati pada pelinggih Meru Tumpang 7. Beliau digantikan oleh puteranya yang ke 3 Dewa Agung Gede Mayun, yang masih menempati istana Grokgak Puri Agung Sukawati dan menjadi Raja II Sukawati 1745 – 1770 M . Karena anak sulung dan anak ke dua tidak bersedia menjadi raja maka anak ke 3 yangdiangkat menjadi raja, dua anaknya lagi mereka memilih jalannya sendiri seperti halnya :
a.              Putera sulung Dewa Agung Jambe tidak berniat menjadi raja, beliau melakukan diksa menjadi pendeta, dan pindah mendirikan Puri di Geruwang (Guwang sekarang). 
b.             Dewa Agung Karna menggelar brata nyukla Brahmacari, serta pindah mendirikan Puri di Ketewel. Dengan kekuatan semadinya beliau berhasil menciptakan Tapel Widyadari, yang konon beliau saksikan di Indraloka. Tempat beliau melakukan yoga semadi di Pura Payogan Siwa Agung Ketewel sekarang. Tapel Bidadari hasil semadi Dewa Agung disimpan juga di Pura ini sampai sekarang.
Dewa Agung Gede mengambil isteri juga dari Mengwi, yaitu saudara dari I Gusti Agung Putu, menurunkan 2 orang putera, yaitu: I Dewa Agung Gede dan I Dewa Agung Made.  Sedangkan dari isteri lain menurunkan putera: Cokorda (Cok) Karang, Cok Anom, Cok Ngurah Tabanan, Cok Gunung, Cok Tiyingan, Cok Ketut Segara, Cok Tangkeban, Cok Langgeng, Cok Istri yang kemudian diperisteri oleh Dewa Manggis Geredeg di Puri Agung Gianyar.
Sejak berdirinya Puri Agung Gianyar 19 April 1771 sekaligus ibu kota Pusat Pemerintah Kerajaan Gianyar adalah tonggak sejarah. Sejak itu dan selama periode sesudahnya Kerajaan Gianyar yang berdaulat, ikut mengisi lembaran sejarah kerajaan-kerajaan di Bali yang terdiri atas sembilan kerajaan di Klungkung, Karangasem, Buleleng, Mengwi, Bangli, Payangan, Badung, Tabanan dan Gianyar. Namun sampai akhir abat ke-19, setelah runtuhnya Payangan dan Mengwi di satu pihak dan munculnya Jembrana dilain pihak maka Negara): Klungkung, Karangasem, Bangli dan Gianyar (ENI, 1917). http://www.gianyarkab.go.id/profil/sejarah/ diakses Sabtu, 17 Nopember 2012 pukul  08.00 Wita)
Setelah memasuki usia lanjut Dewa Agung Gede membuat tempat peristirahatan di desa Petemon sekitar 15 km di sebelah Timur Laut dari Puri Agung Sukawati. Di tempat inilah beliau menghabiskan waktunya untuk beristarahat sebelum ajal tiba, oleh karenanya beliau diberi gelar Sri Aji Petemon. Beliau sangat menyayangkan kedua puteranya Dewa Agung Gede dan Dewa Agung Made tidak ada kecocokan. Pada saat-saat akhir sebelum wafat kedua puteranya ini tidak ada yang datang mendengarkan pesan-pesan terakhir ayahnya. Hanya ada menantu beliau Dewa Manggis Geredeg  yang mendengar pesan-pesan beliau. Setelah Sri Aji Petemon wafat, sementara Dewa Agung Gede dan Dewa Agung Made tidak ada kecocokan, pusaka-pusaka diambil oleh Dewa Manggis Api dibawa ke Puri Gianyar.   (http://cakepane.blogspot.com/2012/07/dewa-agung-gede-mayun-atau-sri-aji.html/ diakses Sabtu, 17 Nopember 2012 pukul  07.00 Wita )
Dewa Manggis Naik tahta menjadi raja di Puri Gianyar. Di beri gelar Dewa Manggis generasi IV. Terjadi peperangan dengan Kerajaan Bangli, Klungkung, dan lain-lain. Tampak Siring telah di kuasai oleh Kerajaan Klungkung. Kerajaan Gianyar pun kalah, Kemudian dari kerajaan Gianyar meminta bantuan ke Puri Batuan yang merupakan keturunannya, Puri Batuan di beri tugas agar dapat merebut Wilayah  Tampak Siring agar menjadi wilayah Kerajaan Gianyar. Karena dalam peperangan memperjuangkan wilah Tampak Siring  berlangsung sangat lama dan Puri Batuan berdiam di Blumbang untuk membuat suatu persiapan untuk berperang kembali. Taklama kemudian Tampak Siring dapat dikuasai oleh Gianyar.
          Karena pernah berdiam di Blumbang, maka Gianyar membuat Puri di Blumbang dari adanya Puri di Blumbang ini dan menetap disana. Maka di buatlah Merajan Agung, dan keturunan-keturunannya membuat Merajan Gede atau Dadia untuk beberapa KK. Saat ini sudah sampai empat keturunan atau generasi dan jumlah pengemponnya kurang lebih 80 KK. Pujawali Merajan Gede ini jatuh pada Budhawage Klau.   

D. PEMERAJAN GEDE DALEM SEGENING
Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar artinya tempat suci,  Pamerajan berasal dari Praja artinya keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Merajan ini biasanya terdapat disebuah keluarga Hindu di Bali artinya sebuah tempat suci yang dibuat berdasarkan konsep Tri Angga, Tri mandala, dan Tri Hita Karana. Dimana merupakan sebuah tempat untuk memuja Tuhan dan roh nenek leluhur.
Sanggah Pamerajan dapat dibedakan menjadi 3 :
1)        Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil) terdiri dari pelinggih Pelinggih Surya atau Padmasari, Kemulan Rong Tiga dan Taksu
2)        Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’ (garis keturunan), terdiri dari pelinggih :  Pelinggih Surya, Kemulan Rong Tiga, Limas Cari, Limas Catu, Manjangan Saluang, Pangrurah, Saptapetala, Taksu, Raja Dewata.
3)        Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama), terdiri dari pelinggih: meru, gedong kembar, pengaruman, gunung agung, gunung lebah, dan prahyangan.
Palinggih-palinggih lainnya yang tidak teridentifikasi seperti tersebut diatas, disebut ‘pelinggih wewidian’ yaitu pelinggih yang berhubungan dengan sejarah hidup leluhur di masa lampau, misalnya mendapat paica, atau kejumput oleh Ida Bhatara di Pura lain, misalnya dari Pura Pulaki, Penataran Ped, Bukit Sinunggal, maka dibuatkanlah pelinggih khusus berbentuk limas atau sekepat sari. Pada beberapa Pemerajan sering dijumpai pelinggih wewidian ini jumlahnya puluhan, berjejer. Namun disayangkan karena leluhur kita di masa lampau terkadang lupa menuliskan riwayat hidup beliau, sehingga keturunannya sekarang banyak yang tidak tahu, pelinggih apa saja yang ada di Pemerajan-nya.
Denah Merajan Gede atau Dadia  di Banjar Delod Blumbang





 



KETERANGAN DENAH:
1 = Apit Lawang
2 = Pelinggih Hyang Ibu, Betara-Betari
3 = Ngelurah Agung
4 = Gedong Dalem / Gedong Penyimpenan
5 = Kemulan
6 = Pelinggih Gunung Lebah / Penyawangan Gunung Batur
7 = Penyawangan Gunung Agung
8 = Pelinggih Surya
9 = Gedong Sari / Penyimpenan Rambut Sedana
10 = Taksu
11 = Gedong Manjangsluang
12 = Piasan
13 = Pengaruman / Bale Paruman
Penjelasan tentang pelinggih pemerajan, busana yang dikenakan dan banten-banten yang digunakan saat piodalan dalam merajan dalen sagening yakni:
1.             Pelinggih Apit Lawang
Pengertian Pelingih Apit lawang adalah pelinggih yang berada di depan pintu masuk merajan. Pelinggih ini terletak disebelah kanan dan kiri pintu masuk. Apit lawang merupakan stana dari Bhatara Kalla atau dewa ganapati dengan bhiseka jaga-jaga yang bertugas sebagai pecalang.
Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam pelinggih apit lawang yaitu: kain berwarna poleng. Makna warna kain poleng sebagai gambaran adanya Rwe Beneda. Dalam kehidupan ini pasti ada Rwe Beneda, perbedaan tak dapat dipisahkan karena putih dan hitam, baik dan buruk merupakan suatu penyeimbang dlam menjalani hidup ini. Banten yang di haturkan dalam piodalannya: Banten Ajuman dan Tegteg Daksina.

2.             Pelinggih Hyang Ibu Atau Batara-Batari.
Pengertian Pelingih Hyang Ibu Atau Batara-Batari adalah merupakan pemujaan terhadap leluhur, fungsinya sama seperti kemulan atau rong tiga. Yang berstana di pelinggih hyang ibu adalah leluhur sebagai dewa hyang atau batara-batari. Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam pelinggih Hyang Ibu Atau Batara-Batari yaitu: kain berwarna putih. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian.
Banten yang di haturkan di pelinggih Hyang Ibu atau Batara-batari dalam      piodalannya: Banten Soroan Tumpeng Pitu. Makna banten Soroan Tumpeng Pitu adalah gabungan beberapa banten yang jumlahnya tujuh tumpeng. Banten-banten yang ada dalam banten soroan tumpeng pitu antara lain: sesayut, tipat blayad, Ceper tulung, peras penyeneng, ajengan, tulung pengambean tumpeng 2, tulung pengambean tumpeng cerik 3, dapetang, Ajuman, pajegan, pasucian, ulamne bayuh, kawisan, japitan.


Mantra yang digunakan saat melakukan persembahyangan di Pelinggih Hyang Ibu adalah
om newata newati tilinggane,
 singo wana pani, bionama svaha,
om dewa hyang-hyang puspa lingga bio namah svaha

3.             Pelinggih Ngelurah Agung.
Pelinggih Ngelurah Agung: Bagunannya sepertu tugu dengan batu paras, atau batu bata dengan rong satu. Tepatnya di kiri dari sanggah kemulan. Kata pengelurah asalnya dari kata lurah yang artinya pembantu tau patih, medapat awalan pe dan sisipan ng menjadi pengelurah artinya bertugas menjadi pembantunya para Dewa atau Dewata pada setiap pemerajan. Sang Hyang Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu. Palinggih ini adalah tempat stana dari Sang Hyang Catur Sanak, dengan fungsi sebagai keamanan secara niskala. (Sudarsana, 1998 : 69-70)
Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam pelinggih Ngelurah Agung yaitu kain berwarna poleng. Makna warna kain poleng sebagai gambarang adanya Rwe Beneda. Dalam kehidupan ini pasti ada Rwe Beneda, perbedaan tak dapat dipisahkan karena putih dan hitam, baik dan buruk merupakan suatu penyeimbang dlam menjalani hidup ini. Banten yang di haturkan dalam piodalannya: Banten Tegteg Daksina, Canang Raka dan Ajuman.

4.             Gedong Dalem atau Gedong Penyimpenan
Gedong Dalem atau Gedong Penyimpenan adalah fungsi pelinggih ini untuk menyimpan pustaka-pustaka suci, lontar, yang terkait dengan pemerajan dan keturunan-keturunan dalem segening. Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam pelinggih Gedong Dalem atau Gedong Penyimpenan yaitu kain berwarna Hitam. Banten yang di haturkan dalam piodalannya: Banten Ajuman, Canang Raka dan Tegteg Daksina.


5.             Pelinggih Kemulan Rong Tiga
Pelinggih Kemulan adalah Ida Sang Hyang Atma, kita percaya bahwa leluhur kita bersemayam di sanggah kemulan ini. Menurut Prof. Dr. Tjok Rai Sudharta MA (SARAD No. 41/2003) hal diatas sejalan dengan isi lontar-lontar berikut ini:
1)        Lontar Usana Dewa yang menyatakan sebagai berikut:
Dalam sanggah Kemulan ini terdiri dari rong yakni sebelah kanan adalah ayah (Purusa) dalam Paramatma, sebelah kiri adalah ibu (Pradana) sebagai Siwatman, dan di tengah adalah Tri Brahma yang menjadi ibu dan ayah berbadan Sang Hyang Tuduh (Lontar Usana Dewa).
2)        Lontar Gong Besi menyatakan sebagai berikut:
Ada pula yang menyebutkan bahwa Bagian kanan ayah adalah Sang Paratma dan sebelah kiri adalah ibu sebagai Siwatma dan di tangah adalah menjadi satu dan disebut Sang Hyang Tunggal (Lontar Gong Wesi).
Jadi Lontar-lontar tersebut menekankan bahwa yang berstana di Sanggah Kemulan adalah Atman atau Pitara atau Sang Hyang Guru. Jika ada yang menyatakan bahwa yang berstana di Sanggah Kemulan adalah Trimurti dalam pengertian Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Dewa Brahma, Dewa Visnu, dan Dewa Siwa, maka pemikiran itu adalah tidak benar. Tegasnya, Roh suci Leluhur atau Dewa Hyang atau Bhatara Bhatari keluargalah yang distanakan dan disembah di Kemulan Rong Tiga. (Suhardana, 2006:123).
Rong Tiga itu selain sebagai tempat memuja roh leluhur. Seperti yang telah di jelaskan di atas. Kemulan rong tiga ini berfungsi juga sebagai pemujaan terhadap Tri Murti. Tri Murti adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang-Ung-Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sang hyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma di arah Daksina (ruang kanan), Wisnu di Uttara (ruang kiri), dan Siwa di Madya (ruang tengah). Siwa sebagai Maha Guru atau Bhatara Guru. (Subandi dalam Nurkancana, 1997 : 139).
Sering terjadi salah pengertian mengenai siapa sebenarnya yang dipuja di pelinggih Kemulan rong Tiga. Hal ini boleh jadi karena dipergunakannya isitilah “Brahma, Visnu, Iswara Dewam dan Trimurti” dalam bersembahyangan di Sanggah Kemulan, sehingga timbul pendapat bahwa yang disembah disitu adalah Ida Sang Hyang Widhi. Pada hal sesungguhnya di sembah di Kemulan adalah Ida Bhatara Guru atau Leluhur yang telah suci. Masalah ini telah diputuskan dalam Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu dimana ditetapkan bahwa Kemulan Rong Tiga adalah Pelinggih Trimurti/Hyang Kamimitan/Hyang Kemulan.
Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam pelinggih kemulan rong tiga yaitu: kain berwarna putih kuning. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian dan warna kuning simbol kebijaksanaan. Banten yang di haturkan dalam piodalannya: Banten Ajuman, Tegteg Daksina dan Canang Meraka.
Mantra yang digunakan dalam persembahyangan di pelinggih Kemulan :
om nama dewa adistanaya
sarwa wiapy waisi waya
padma sana eka pratistaya
ardanasres swarya ya namah

6.             Pelinggih Gunung Lebah ( Penyawangan di Gunung Batur).
Pelinggih yang didirikan berfungsi sebagai tempat pengayatan ke Gunung Batur, bisa disebut sebagai pelinggih jajaran. Karena pada jaman dahulu nenek moyang kita dapat tinggal di daerah Gunung Batur, sehingga di buatkan tempat pemujan atau pura disana. Adanya bangunan pelinggih Gunung Lebuh ini untuk menyembah dewa yang berkuasa di Gunung Batur di karenakan daerah tmpat tinggal kita dekat dengan Gunung Batur dan selalu memohon perlindungan agar seimbang.  Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam pelinggih Gunung Lebah atau Batur yaitu: kain berwarna putih kuning. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian dan warna kuning simbol kebijaksanaan. Banten yang di haturkan dalam piodalannya: Banten Ajuman, Tegteg Daksina dan Canang Meraka.



7.             Pelinggih Gunung Agung.
Pelinggih yang didirikan berfungsi sebagai tempat pengayatan ke Gunung Agung, bisa disebut sebagai pelinggih jajaran. Karena pada jaman dahulu nenek moyang kita dapat tinggal di daerah Gunung Agung, sehingga di buatkan tempat pemujan atau pura disana. Adanya bangunan pelinggih gunung Agung ini untuk menyembah dewa yang berkuasa di gunung Agung. Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam pelinggih Gunung Agung yaitu: kain berwarna putih kuning. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian dan warna kuning simbol kebijaksanaan. Banten yang di haturkan dalam piodalannya: Banten Ajuman, Tegteg Daksina dan Canang Meraka.

8.             Pelinggih Surya
Pelinggih Surya Sanghyang Tri Purusha, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa - Sada Siwa - Parama Siwa. Pelinggih Surya bersumber pada kitab- kitab Weda (Sruti dan Smrti) serta kitab- kitab yang memuat ajaran Siwa Sidanta, secara khusus dimuat dalam Lontar Anda bhuwana, Padma bhuwana, dan Adi Parwa. Pada prinsipnya Pelinggih Surya adalah pengejawantahan Bhuwana Agung (alam raya) sebagai stana Ida Sanghyang Widhi. Bhuwana Agung disimbolkan dengan Bedawang Nala (Kurma Agni) yang dililit oleh Naga yang menyangga lingga. Adi Parwa menceritakan pencarian Amerta dengan memutarkan Mandara Giri atau Gunung Mandara di dalam Ksirarnawa (lautan susu). Dalam pemutaran Mandara Giri tersebut Naga Anantabhoga mencabut gunung Mandara, Bedawang Nala menyangganya, Naga Basuki melilit, dan para Dewa dan raksasa memutarnya. Akhirnya Wisnu yang mengendarai Garuda menguasai Amerta tersebut.
Dalam Pelinggih Padmasari atau Pelinggih Surya menganut keprcayaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama. Sistem pemujaan Dewa matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan tenggelam yang merupakan ciri khas dari sekte Sora ini. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini terdapat pula di Bali. Sertiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajna.
Pelinggih Surya adalah bentuk simbolis yang digunakan sebagai tempat untuk menghaturkan sesaji yang dipersembahkan kepada Bhatara Surya (Dewa Matahari). Sang hyang Surya Raditya sebagai saksi segala kegiatan manusia khusunya ritual yadnya. Dalam hal ini di sinyalir adanya pengaruh sekte Sora (Surya) dalam pendirian pelinggih Surya. Sistem pemujaan Dewa Matahari disebut Surya Sewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut Sekte Sora. Pustaka lontar yang membentangkan Surya Sewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap ritual agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya. (Gunawan, 2012 : 49).
Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam pelinggih Surya yaitu: kain berwarna putih. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian. Banten atau upakara yang dipersembahkan di pelinggih Surya adalah Tegteg Daksina dan runtutannya canang ketipat kelanan.
Bukti dari kristalisasi sekte ini dalam Siwa Siddhanta yang masih kita dapat lihat lainnya adalah penggunaan sebuah mantra yang mengagungkan Dewa Siwa Raditya dalam Kramaning Sembah. Adapun bunyi mantra tersebut, seperti dibawah ini.
Om Adityasya param jyoti
rakta teja nama'stute
sweta pankaja madhyastha
bhaskaraya namo'stute
Terjemahan :
Ya tuhan, Sinar Hyang Surya (Raditya) yang maha hebat. Engkau bersinar merah, hamba memuja engkau. Hyang Surya yang berstana di tengah-tengah terarai putih. Hamba memuja engkau yang menciptakan sinar matahari berkilauan.


9.             Pelinggih Gedong sari
Bangunan suci ini bertumpang satu, hal ini merupakan simbul sawitarka bahwa manifestasi Sang Hyang Widhi yang berstana atau distanakan pada bangunan ini memiliki suatu fungsi profesi sesuai dengan kebutuhan kehidupan manusia di dunia. manifestasi Sang Hyang Widhi yang distanakan pada pelinggih gedong sari adalah Sang Hyang Sri Sedana yaitu Dewi kesejahteraan dunia (artha), memberikan jalan atau petunjuk kepada manusia melalui nalurinya untuk dapat mencapai dan menikmati kehidupan yang sejahtera. Sang hyang sri sedana memiliki beberapa fungsi profisi salah satunya ialah Sang Hyang Rambut Sedana.
Sang Hyang Rambut Sedana adalah kemahakuasaan Sang Hyang Widhi dalam hal menebarkan kesejahteraan kesegala penjuru di alam semesta ini setelah diciptakan melalui yoganya Sang Hyang Sri Sedana Ngerem. Hal ini menjadi simbul adanya uang yang beredar di seluruh dunia, sebagai kekuatan ekonomi untuk menopang kehidupan manusia.  (Sudarsana, 1998 : 45-51)
Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam pelinggih Gedong sari yaitu: kain berwarna putih kuning. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian dan warna kuning simbol kebijaksanaan. Banten yang di haturkan di piasan dalam piodalannya: Banten Soroan Tumpeng Solas. Makna banten Soroan Tumpeng solas adalah gabungan beberapa banten yang jumlahnya sebelas tumpeng. Banten-banten yang ada dalam banten soroan tumpeng solas antara lain: sesayut, tipat blayad, Ceper tulung, peras penyeneng, ajengan, tulung pengambean tumpeng 2, tulung pengambean tumpeng cerik 3, dapetang, Ajuman, pajegan, pasucian, ulamne bayuh, kawisan, japitan.

10.         Pelinggih taksu
Dibangun dengan atap dan rong satu. Dengan empat tiang disetiap sudutnya. Kayu yang digunakan juga sama seperti di atas, dan posisinya berada pada sebelah kanan kemulan. Menghadap kearah selatan, dan disanalah tempat stana Sang Kala Raja yang memberikan sebuah kewibawaan. Taksu sesungguhnya kekuatan magis dari sang Hyang Widhi, di man kekuatan tersebut merupakan kekuatan gravitasi dan kekuatan tersebut menyatu dengan kekuatan magis manusia serta membangkitkan kekuatan manusia sehingga memiliki kharisma, kekuatan yang menarik dan kemampuan spiritual sesuai dengan profesinya. Taksu Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan. (Sudarsana, 1998 : 64)
Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam pelinggih Taksu yaitu: kain berwarna putih. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian. Banten yang di haturkan dalam piodalannya: Banten Tegteg Daksina, Canang Meraka dan Ajuman.

11.         Gedong Menjang Saluang (prasasti majapahit)
Sanggah Merajan dan Pura Paibon biasanya memiliki sebuah Pelinggih yang dinamakan Menjangan Saluang. Yang di beberapa daerah tertentu disebut dengan Sanggah lantang karena bentuknya yang panjang. Ciri utamanya adalah bahwa di Pelinggih ini terdapat sebuah kepala menjangan. Berbagai pura lainpun ada juga yang memiliki Pelinggih ini tetapi bentuknya sedikit berbeda, yaitu bentuknya tidak panjang dan bersaka tiga. Mungkin karena sakanya hanya tiga atau kurang satu dari yang lazim, maka Pelinggih ini diberi nama Sakaluang. (Sudhardana, 2006 : 120-121)
Menjangan Saluang yang bentuknya panjang (lantang) terdiri dari tiga rong besar, dimana sebuah rong besar terbagi lagi dalam 6 rong kecil-kecil, sehingga secara keseluruhan menjadi rong 9. Bentuk seperti ini rupanya memang dimaksudkan untuk menunujukkan adanya 3 kelompok besar masyarakat, dimana salah satu diantaranya terdiri dari 6 Sub Sekte Agama. Riwayat singkatnya dapat disampaikan sebagai berikut. Ketika pada 1001 M Mpu Kuturan datang ke Bali, beliau melihat adanya 9 Sekte Agama, yang diperkirakan dapat memecah belah persatuan umat. Karena itu, maka beliau berusaha untuk mempersatukan 3 Kelompok Besar dengan 6 Sub Sekte Agama itu, dengan cara mengadakan pertemuan atau Pesamuhan Agung di desa Bedulu (samuan Tiga).


Pesamuhan Agung termaksud dihadiri oleh seluruh unsure masyarakat Bali ketika itu, yaitu:
1)        Unsur masyarakat yang berasal dari Jawa dan beragama Siwa.
2)        Unsur masyarakat yang beragama Buddha Mahayana (Mpu Kuturan dan para pengikutnya).
3)        Unsur masyarakat bali aga yang mewakili 6 Sub Sekte Agama: Sambu, Brahma, Indra, Visnu, Bayu, Kala. Tetapi menurut R. Goris (sekte-sekte di Bali) sekte-sekte itu ada 9, yaitu : Bhairawa, Buddha, Sogata, Brahmana, Ganapati, Rsi, Pasupati, Sora (Surya), Siwa Sidhanta dan Waisnawa.
Apapun nama-nama Sekte tersebut yang penting adanya kesepakatan bahwa ke 6 batang Sub/Sub Sekte termaksud telah mempersatukan dirinya kedalam satu paham yang dinamakan Trimurti, yaitu bahwa Tuhan itu hanya satu, namun mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai Pencipta (Brahma), Sebagai Pemelihara (Visnu), dan sebagai Pelebur (Siwa). Paham termaksud sekarang dikenal dengan nama Agama Hindu.
          Untuk menghormati Mpu Kuturan yang telah berjasa mempersatukan umat berbagai Sekte di Bali, maka didirikanlah Pelinggih menjangan Saluang sebagai manifestasi dari bersatunya umat yang tadinya terpecah belah, menjadi pengikut satu aliran baru  bernama Trimurti atau sebagai penganut Agama Hindu. Lebih lanjut bentuk Menjangan Saluang pun terlihat sebagai penggambaran atas ke 3 unsur masyarakat dan 6 Sub Sekte diatas:
1.    Dilihat dari depan, rong paling kanan, mewakili unsur masyarakat yang berasal dari Jawa dan beragama Siwa.
2.    Rong sebelah kirinya, dengan lambang kepala menjangan, mewakili golongan masyarakat pengikut Mpu Kuturan yang beragama Buddha Mahayana.
3.    Rong paling kiri masih dilihat dari depan yang terbagi lagi dalam 6 ruang-ruang kecil, mewakili 6 Sekte Agama dari unsure Bali Aga. Disamping mempersatukan 9 Sekte dan Sub Sekte Agama, maka Pelinggih Menjangan Saluang dipandang sebagai suatu penyatuan pikiran, pandangan dan keinginan keluarga, jadi sebagai lambang persatuan dan kesatuan serta kerukunan rumah tangga dan keluarga.   (Suhardana, 2006 : 121-123)
Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam pelinggih menjang saluang yaitu: kain berwarna putih kuning. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian. Banten yang di haturkan dalam piodalannya: Banten Tegteg Daksina, cang meraka dan Ajuman.
Mantra Menjang Saluang :
Om Ang Mang Dewi dimuteri bhuwana
Triyo pratisthabhyo samudra
Jagat gurubhyo namah swaha
Om Ah Sukla Dewi Maha Laksmi
Sri Giripati sukla pawitrani swaha

           
12.         BALE PIASAN
Bentuk bangunan ini segi panjang dengan menggunakan tiang empat buah, ada juga menggunakan enam buah tiang sesuai dengan besar kecilnya bangunan. Bale piasan berasal dari kata pehiasan yang artinya tempat menghias atau merangkai simbul, seperti daksina pelinggih, arca, sebelum distanakan pada bangunan suci dan tempat upakara yang akan dipersembahkan. Manifestasi Sang Hyang Widhi yang berstana di bale piasan adalah “Sang Hyang Wenang”. Dari kata Wenang yang artinya segala  Sang Hyang Widhi bisa distanakan pada bangunan piasan. Bangunan ini tidak mesti dibuat tergantung dari pada luas pekarangan Pemerajan. (Sudarsana, 1998 : 66)
Banten yang di haturkan di piasan dalam piodalannya: Banten Soroan Tumpeng Solas. Makna banten Soroan Tumpeng solas adalah gabungan beberapa banten yang jumlahnya sebelas tumpeng. Banten-banten yang ada dalam banten soroan tumpeng solas antara lain: sesayut, tipat blayad, Ceper tulung, peras penyeneng, ajengan, tulung pengambean tumpeng 2, tulung pengambean tumpeng cerik 3, dapetang, Ajuman, pajegan, pasucian, ulamne bayuh, kawisan, japitan.
13.         Balai Pengaruman merupakan Balai Paruman merupakan stana bhatara dan bhatari ketika dipersembahkan banten saat piodalan atau ayaban jangkep. Banten yang di banten Ajuman, Canang Raka dan  Tegteg Daksina.


BENTUK KRISTALISASI SEKTE-SEKTE DI PEMERAJAN
Kristalisasi sekte-sekte yang tersebar di Indonesia khususnya di Bali yang terdapat di dalam merajan dadia ini adalah Menurut pandangan Dr. Goris, ada 9 sekte yang pernah ada di Bali pada abad IX meliputi sekte Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora (Surya), Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa dan Sogatha (Buddha). (Goris dalam Nurkancana, 1997 : 134). Diantara ke-9 sekte tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali adalah sekte Siwa Sidhanta. Ajaran dari sekte Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuana Kosa.
Bentuk Kristalisasi Dalam Pemerajanan sudah dikenala dari jaman dahulu, dimana masyarakat bali dominan menganut agama Siwa. Apabila ditinjau dari segi jumlah penganut dan pengaruhnya, agama Siwa tergolong lebih besar dari agama Budha, karena menurut sumber-sumber arkeologi agama Siwa berkembang lebih dulu dari agama Budha. Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran Siwa-Sidhanta dengan konsep ke-Tuhanannya yang disebut Tri Murti yaitu tiga kemahakuasaan Hyang Widhi: Brahm, Wisnu, dan Siwa.
Ketiga Dewa Tri Murti tadi akhirnya dimanifestasikan ke dalam setiap desa adat di Bali yang terkenal dengan nama Pura Kahyangan Tiga, yaitu: Pura Desa/Bale Agung sebagai sthana dari Dewa Brahma, Pura Puseh sthana Wisnu dan Pura Dalem sthana Siwa. Selain pura-pura untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya juga terdapat tempat pemujaan untuk roh suci leluhur yakni Bhatara/Bhatari yang disebut: Sanggah/Pemerajan, Dadia/Paibon, Padharman.
Jadi dapat disimpulkan bahwa di dalam mejaran Gede atau merajan dadia saya merupakan kristalisasi sekte-sekte yang ada di Bali. Bisa kita lihat pada pelinggih-pelinggih yang ada di merajan tersebut yang merupakan stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasi dan mempunyai sekte-sekte tersendiri. Seperti Pelinggih Surya merupakan kristalisasi dari Sekte Sora, Pelinggih Gedong Sari merupakan kristalisasi dari Sekte Waisnawa karena merupakan tempat pemujaan untuk sakti dari Dewa Wisnu yaitu Dewi Sri.
Sekte Ganapatya adalah sekte yang memuja Dewa Ganesha sebagai dewa utama. Banyaknya patung-patung Ganesha yang ditemukan di Bali menunjukkan betapa besarnya pengaruh sekte ini. Semua patung tersebut di buat pada zaman kerajaan gelgel.  Dalam kepercayaan Hindu, Dewa Ganesha adalah dewa pembasmi segala rintangan. Oleh karena itu, pada umumnya patung-patung beliau di bangun di tempat-tempat yang mungkin ada bahaya (Nurkancana, 1997 : 135). Kini banyak masyarakat Hindu menstanakan arca Dewa Ganesha di depan rumah mereka sebagai simbol penghalang mara bahaya. Konsepsi pelinggih apit lawang, ngelurah agung, dan taksu  yang ada di Bali mengandung konsep Dewa Ganesha dalam manifestasi sang hyang batara kala.
Sekte Siwa Siddhanta merupakan salah satu sekte pemuja Siwa. Siwa Siddhanta  memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, kalamuka, Bhairawa, Linggayat dan Siwa Siddhanta. Kata Sidhanta berarti intinya dari ajaran Siwaisme. Siwa sidhanta mengutamakan pemujaan kehadapan Tri Purusa, Yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Dalam pemerajan yang menganut sekte siwa siddhanta adalah Pelinggih Kemulan. Pelinggih Menjangan Saluang merupakan sebagai simbol untuk menganang jasa Mpu Kuturan karena telah membawa sekte-sekte tersebut sampai ke Bali.  
Kristalisasi sekte-sekte dapat juga dilihat dari system upakara yang di pergunakan sebagai sarana dan prasarana untuk di persembahkan kepada Dewa yang melingga melinggih ring merajaan dadia tersebut. Semua upakara yang yang di persembahkan dalam piodalan di pemerajan menggunakan porosan karena porosan merupakan bahan inti yang merupakan symbol dari Sang Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva), dan menggunakan berbagai macam warna bunga yang merupakan symbol dari Dewata Nawa Sangga, Tirta, hampir disetiap upacara menggunakan tirta yang terbuat dari yang telah disucikan. Air merupakan lambang dari Dewa Wisnu.

  



LAMPIRAN



 

Apit Lawang




 


Pelinggih Hyang Ibu                              Ngelurah agung













                       



Pelinggih Gedong dalem
atau gedong penyimpenan                  Pelinggih kemulan rong tiga









Pelinggih gunung lebah atau                           pelinggih gunung agung
 penyawangan ke gunung batur














                                                                                                  


              Pelinggih Surya                                             gedong Sari/
                                                                                    pelinggih rambut sedana
                                                           







            Pelinggih Taksu                         Pelinggih Gedong Menjang Saluang














                        Bale Piasan                                          Bale Paruman
Foto wawancara
                     
Daftar Pustaka
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta II. Singaraja: Tanpa Penerbit.      
                 
Nurkancana, Wayan. 1997. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. Denpasar :  Bali Post

Suhardana, K.M. 2006. Dasr-dasar kepemangkuan. Surabaya : Paramita.

Sudarsana, I.B Putu. 1998. Ajaran Agama Hindu Manifestasi Sang Hyang Widhi. Denpasar : Yayasan Dharma Acarya Mandra Sastra.

Tjokorda Gede Agung, Babad Puri Kaleran Sukawati. Tanpa penerbit

Warna I wayan, dkk, 1986. Babad Dalem. Denpasar : Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali



2 komentar:

  1. boleh tiang copas nggih, buat tugas kuliah .. suksma

    BalasHapus
  2. Casinos Near The Casino in El Cortez, CA - Mapyro
    View real-time reviews 포항 출장안마 and 제주도 출장샵 ratings of all Casinos and 대전광역 출장마사지 Hotels 춘천 출장마사지 near The Casino in El Cortez, 보령 출장안마 CA.

    BalasHapus