TUGAS SIVA SIDDHANTA I
LINGGA
Dosen
Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan,
S.Pd.H
IHDN DENPASAR
OLEH KELOMPOK :
PUTU
NGURAH RESTIADA (10.1.1.1.1.3893)
NI KETUT MNARTINI DEWI (10.1.1.1.1.3894)
NI KADEK
BUDIANTARI (10.1.1.1.1.3895)
DEWA AYU
DEWI PURNAWATI (10.1.1.1.1.3896)
PUTU
CINTIA OKTARI DEWI (10.1.1.1.1.3997)
I GEDE
SULIARTAWAN (10.1.1.1.1.3998)
KADEK
RUSMINI (10.1.1.1.1.3999)
NI WAYAN MEGAWATI (10.1.1.1.1.3900)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012
KATA PENGATAR
Om Swastyastu,
Puja
dan Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Hyang
Maha Esa, karena berkat rahmat dan bimbingan-Nya lah kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Potensi-potensi Karya Kesusilaan/Ahlak tepat
pada waktunya.
Manusia memiliki potensi-potensi susila yang ada dalam
dirinya. Potensi seyogyanya dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam makalah yang singkat ini, kami
mencoba menguraikan tentang : Arti
Potensi-potensi Karya Kesusilaan/Ahlak, Kelompok Kebajikan-Kebajikan
Intelektual, Kelompok
Kebajikan-Kebajikan Moral (Valutantif)
dan Arti Kebajikan Induk/Kardinal. Namun
karena keterbatasan kami, makalah ini jauh dari sempurna. Apabila ada
kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami memohon maaf yang
sebesar-besarnya. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi
penyempurnaan makalah kami selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat
berguna dan memenuhi fungsi sebagaimana mestinya.
Om Santih Santih Santih Om.
Singaraja, April 2012
Tim Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
1.2 Rumusan
Masalah
1.3 Tujuan
BAB
II PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Lingga
2.2
Sejarah dan Asal Mula Lingga
2.3
Bentuk-bentuk Lingga
2.4
Jenis-jenis Lingga
2.5
Pemujaan terhadap Lingga
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
Saiva Siddhanta adalah salah satu mazab dari sekte Saiva,
yang berkembang di India dan di Indonesia. Mengutip dari yang ditulis oleh
Haryati Soebandi (1971; 70) kata Siddhanta berarti (1) Svetarupa, (2) Sanghyang
Aksobhya atau Sanghyang Kamoksan, (3) Sanghyang Sunya-Nirmala (Sastra, 2008;
191). Sedangkan kata Saiva berasal dari ajaran yang memuja dewa Siwa sebagai
dewa yang utama, berarti sekte Saiva adalah kelompok atau kumpulan orang-orang
yang memuja serta menempatkan Dewa Siva pada tempat yang utama. Jadi Saiva
Siddhanta adalah ajaran untuk mencapai jalan menuju kepada Sang Pencipta, atau
suatu jalan untuk bersatu dengan Sang Pencipta yang berasal dari Sekte Saiva.
Dalam Saiva Siddhanta menyebutkan alam dunia berasal dari Maya (materi yang
tidak murni, potensi alam semesta), yang merupakan kesatuan nyata yang abadi,
diakui sebagai nyata adanya (Sastra, 2008: 192).
Saiva Siddhanta yang pada awal mulanya berkembang di India,
akhirnya berkembang pula di Indonesia terutama di Bali. Siwaisme yang eksis di
Bali adalah bersumber dari salah satu sastra Hindu bernama Bhuwana Kosa. Bhuwana
Kosa merupakan naskah tradisional Bali khususnya salah satu sumber pembangkit
spiritual umat Hindu di Bali khususnya dan Indonesia umumnya. Karena Bhuwana
Kosa merupakan intisari ajaran Weda yang isinya kaya dengan Siwaisme, terutama
Saiva Siddhanta yang berkembang pesat di India selatan. Bhuwana Kosa dikatakan
sebagai sumber suci pembangkit spiritual umat Hindu di Bali untuk umat Hindu
secara umum maupun di kalangan orang suci (pandita atau sulinggih). Menjadi
salah satu sumber suci bagi pemeluk Hindu di Bali, sekaligus cikal bakal dari
sumber ajaran Hindu yang eksis sampai kini di Indonesia. (Putu Mudiantara http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/
diakses tanggal 22 April
2012 Pukul 15.39 Wita).
Ajaran Saiwa Siddhanta di Indonesia merupakan kelanjutan
dari ajaran Sekte Saiva Gama yang masuk ke Indonesia sekitar abad ke 4. Namun
dengan perpaduan antara konsep-konsep Saiva, Tantra, Buddha Mahayana, Trimurthi
dan juga paham Waisnawa maka lahirlah konsep Saiva Siddhanta Indonesia. Adapun
konsep ajaran Saiva Siddhanta Indonesia lebih banyak berpedoman pada konsep
ajaran lokal serta ajaran yang telah berkembang sebelumnya seperti konsep
Saiva, konsep Waisnawa, konsep Tantra, konsep Tri Murthi, bahkan konsep Buddha
Mahayana yang kesemuanya dipadukan sehingga menghasilkan konsep-konsep yang
dituangkan ke dalam lontar-lontar yang kemudian menjadi dasar konsep Saiva
Siddhanta Indonesia, konsep-konsep tersebut antara lain: Bhuana kosa, Wrhaspati
Tattwa, Ganapati Tattwa, Sanghyang Mahajnana, Tattwajnana, dan Jnanasiddhanta.
(Sastra, 2008: 193-194)
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa Saiva Sidhhanta
menempatkan Siva sebagai realitas tertinggi. Salah satu sekte yang termasuk
dalam sekte Saiva adalah sekte Pasupata yang juga menempatkan Siva sebagai
realitas tertinggi. Sekte ini memiliki perbedaan dengan Saiva Siddhanta, tetapi
ia merupakan bagian dari Saiva Siddhanta itu sendiri karena Saiva Siddhanta itu
merupakan gabungan atau peluruhan dari semua sekte yang ada di Bali. Bedanya
dengan Saiva Siddhanta adalah dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte
Pasupata adalah dengan menggunakan lingga sebagai simbol tempat turunnya/bersthananya
Dewa Siva. Jadi, penyembahan lingga sebagai lambang Siva adalah merupakan ciri
khas sekte Pasupata (Nurkancana, 1998; 135).
Lingga merupakan lambang Dewa Siwa, yang
pada hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu.
Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini pada umumnya di
Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno.
Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap
dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat. Di Indonesia khususnya Bali, walaupun ditemukan
peninggalan lingga dalam jumlah yang banyak, akan tetapi masyarakat masih ada
yang belum memahami arti lingga yang sebenarnya (http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1266&Itemid=29 diakses tanggal 29 April 2012 Pukul
08.36 Wita).
II.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan atas latar belakang di atas, maka yang
menjadi rumusan permasalahannya meliputi:
1.
Apa pengertian dari lingga?
2.
Bagaimana asal mula lingga?
3.
Apa
saja bagian-bagian dari lingga?
4.
Apa saja jenis-jenis dari lingga?
5.
Bagaimana
bentuk-bentuk lingga?
III.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian tentang
lingga
2.
Untuk mengetahui asal mula adanya lingga
3.
Untuk mengetahui bagian-bagian dari lingga
4.
Untuk mengetahui jenis-jenis lingga
5.
Untuk
mengetahui bentuk daripada lingga
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Lingga
Lingga merupakan lambang Dewa Siwa atau Tuhan Siwa, yang
pada hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu.
Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini pada umumnya di
Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno.
Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap
dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat. (Putu Mudiantara http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/ diakses tanggal 22 April 2012 Pukul
15.39 Wita)
Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda,
ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki
terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan,
titik pusat, pusat, poros, sumbu (Zoetmulder, 2000:601). Sedangkan pengertian
yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan:
linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari
pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih
Dewa Siwa. Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra
Siwa telah terdapat di hampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam
berbagai penelitian umat oleh arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang
Siwa telah terdapat dalam peradaban Harappa yang merupakan peradaban pra-weda
dengan ditemuinya suatu prototif tri
mukha yogiswara pasupati Urdhalingga Siwa pada peradaban Harappa (Agastia,
2002 : 2). Kemudian pada peradaban lembah Hindus bahwa menurut paham Hindu,
lingga merupakan lambang kesuburan. Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap
lingga sebagai simbol Dewa Siwa terdapat di pusat candi di Chennittalai pada
sebuah desa di Travancore, menurut anggapan orang Hindu di India pada umumnya
pemujaan kepada lingga dilanjutkan kepada Dewa Siwa dan saktinya (Rao, 1916 :
69). Di India terutama di India Selatan dan India Tengah pemujaan lingga
sebagai lambang dewa Siwa sangat populer dan bahkan ada suatu sekte khusus yang
memuja lingga yang menamakan dirinya sekte Linggayat (Putra, 1975 : 104) (Putu
Mudiantara http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/ diakses tanggal 22 April 2012 Pukul
15.39 Wita).
Mengenai pemujaan lingga di Indonesia, yang tertua dijumpai
pada prasasti Canggal di Jawa Tengah yang berangka tahun 732 M ditulis dengan huruf
pallawa dan digubah dalam bahasa Sansekerta yang indah sekali. Isinya terutama
adalah memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) di atas sebuah
bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya (Soekmono, 1973 : 40). Dengan
didirikannya sebuah lingga sebagai tempat pemujaan, sedangkan lingga adalah
lambang untuk dewa Siwa, maka semenjak prasasti Canggal itulah mulai dikenal
sekte Siwa (Siwaisme), di Indonesia. Hal ini terlihat pula dari isi prasasti
tersebut dimana bait-baitnya paling banyak memuat/berisi doa-doa untuk Dewa
Siwa. Dalam perkembangan berikutnya tradisi pemujaan Dewa Siwa dalam bentuk
simbulnya berupa lingga terlihat pula pada jaman pemerintahan Gajayana di
Kanjuruhan, Jawa Timur. Hal tersebut tercantum dalam prasasti Dinoyo yang
berangka tahun 760 M isi prasasti ini antara lain menyebutkan bahwa raja
Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan Dewa Agastya. Bangunan suci yang
dihubungkan dengan prasasti tersebut adalah candi Badut yang terdapat di desa
Kejuron. Dalam candi itu ternyata bukan arca Agastya yang ditemukan melainkan
sebuah lingga. Maka disini mungkin sekali lingga merupakan Lambang Agastya yang
memang selalu digambarkan dalam Sinar Mahaguru. (Soekmono. 1973 : 41-42).
Peninggalan Arkeolog dari jaman Majapahit ialah di Sukuh dan Candi Ceto dari
abad ke-15 yang terletak dilereng Gunung Lawu daerah Karanganyar Jawa Tengah.
Pada puncak candi ini terdapat lingga yang naturalis tingginya 2 meter dan
sekarang disimpan di museum Jakarta. Pemujaan lingga di candi ini dihubungkan dengan
upacara kesuburan (Kempers, 1959 102) (Putu Mudiantara http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/ diakses tanggal 22 April 2012 Pukul
15.39 Wita)..
Berdasarkan kenyataannya yang ditemui di Bali banyak
ditemukan peninggalan lingga, yang sampai saat ini lingga-lingga tersebut
disimpan dan dipuja pada tempat atau pelinggih pura. Mengenai kepercayaan
terhadap lingga di Bali masih hidup di masyarakat dimana lingga tersebut dipuja
dan disucikan serta diupacarai. Masyarakat percaya lingga berfungsi sebagai
tempat untuk memohon keselamatan, kesuburan dan sebagainya. Mengenai
peninggalan lingga di Bali banyak ditemui di pura-pura seperti di Pura Besakih,
Pura-pura di Pejeng, di Bedahulu dan di Goa Gajah. (Putu Mudiantara http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/ diakses tanggal 22 April 2012 Pukul
15.39 Wita).
Peninggalan purbakala berwujud Lingga banyak ditemukan di
Bali dan Jawa, ada yang masih tetap difungsikan sebagai sarana pemujaan kepada
Sang Hyang Siva (disucikan) dan ada yang ditempatkan sedemikian rupa tidak
difungsikan lagi, karena umat Hindu setempat tidak mengenal lagi cara melakukan
pemujaan melalui lingga. Pura Batumadeg, Besikalung, dan sejenisnya
mengisyaratkan adanya pemujaan kepada Sang Hyang Siva melalui sebuah lingga.
(Gunawan, 2012: 80).
Dalam ikonografi Hindu, lingga sebagai lambang api ini
identik dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki seorang raja. Lingga dalam
perwujudannya sebagai lingodbhavamurti ini Siva digambarkan ke luar dari dalam
lingga yang terbuka. Dalam bentuk relief umumnya digambarkan sebuah lingga
dengan seekor angsa melayang di atasnya, agak ke bawah terpahat arca manusia
berwajah babai hutan sedang mencari-cari (lingga) di tanah. Gambaran relief itu
didasarkan pada kitab-kitab Purana, diantaranya adalah Kitab Lingga Purana,
Vayu Purana, Brahmanda Purana, Kurma Purana, Siva Purana (Rudra Samhita), dan
Skanda Purana. Cerita yang sama dapat juga dijumpai di Indonesia dalam kekawin
Bhomantaka atau Bhomakavya dan Narakavijaya. (Gunawan, 2012: 80).
Petunjuk yang lebih jelas lagi mengenai lingga terdapat pada
kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Di dalam lingga
purana disebutkan sebagai berikut:
“Pradhanam prartim tatca ya dahurlingamuttaman. Gandhawarna rasairhinam sabdasparsadi warjitam”.
Terjemahan:
Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa, pendengaran dan sebagainya dikatakan sebagai prakrti (alam).
Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa, pendengaran dan sebagainya dikatakan sebagai prakrti (alam).
Jadi dalam Lingga Purana, lingga merupäkan tanda pembedaan
yang erat kaitannya dengan konsep pencipta alam semesta wujud alam semesta yang
tak terhingga ini merupakan sebuah lingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada
Lingga Purana adalah simbol Dewa Siwa (Siwa lingga). Semua wujud diresapi oleh
Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan Dewa Siwa. Kemudian di dalam Siwaratri kalpa disebutkan
sebagai berikut:
”Bhatara
Siwalingga kurala sirarcanam I dalem ikang suralaya”.
Terjemahan:
Selalu memuja Hyang Siwa dalam perwujudan-Nya “Siwalingga” yang bersemayam di alam Siwa.
Selalu memuja Hyang Siwa dalam perwujudan-Nya “Siwalingga” yang bersemayam di alam Siwa.
Jadi lingga merupakan simbol Siwa yang selalu dipuja untuk
memuja alam Siwa. Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung
ini semakin memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga
pada hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya
sebagai Siwa (I Nyoman Dauh: http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1266&Itemid=29 diakses tanggal 29 April 2012 Pukul
08.36 Wita). (Putu Mudiantara http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/ diakses tanggal 22 April 2012 Pukul
15.39 Wita).
2.2
Asal Mula Adanya Lingga
Pemujaan
kepada Sang Hyang Siva melalui Sivalingga banyak dilakukan oleh masyarakat
zaman dahulu terutama oleh sekte Pasupata yang merupakan sekte pemuja Siva
dengan menggunakan lingga sebagai sarana dalam pemujaan kepada Sang Hyang Siva.
Hal ini terlihat dari banyaknya peninggalan purbakala berupa “Sailalingga”
(lingga dari batu), permata, termasuk dalam bentuk sesajen (upakara) yang
disebut “Dewa-Dewi” juga adalah penggambaran sebuah “lingga” (Gunawan, 2012:
75). Kitab-kitab Purana banyak memberikan gambaran tentang cerita maupun
keutamaan yang diperoleh dari Sivalingga, Oleh karenanya Sivalingga dijadikan
sarana sebagai objek pemujaan. Beberapa cerita penting tentang lingga,
diuraikan sebagai berikut:
1). Kutukan Bhargava dan Angirasa.
Siva
mengembara ke seluruh penjuru dunia, meratap sedih atas kematian Satidevi pada
saat berlangsungnya Yajna yang diselenggarakan oleh Daksa dan Kamadewa mengikuti
dengan panah asmara untuk melepaskan penderitaan dan kesulitan Siva. Siva
kemudian masuk ke dalam hutan Daru yang didiami oleh para maharsi beserta
istri-istri mereka. Siva memberi penghormatan dan meminta punia kepada mereka, Tetapi
para maharsi tidak menyukai kedatangan Siva dan tetap melanjutkan tapanya. Siva
pergi meninggalkan tempat tersebut, tetapi istri-istri para maharsi itu banyak
yang mengikuti Siva. Dibuat marah atas hal tersebut, para pertapa seperti
Bhargava dan Angrasa mengutuk Siva bahwa phallusnya akan jatuh ke bumi. Phallus
Siva jatuh dan menyebabkan kegoncangan pada dunia. Brahma dan Wisnu pun mengetahui
dan segera datang ke tempat phallus itu terlentang. Wisnu sangat keheranan
melihat phallus yang sedemikian panjangnya dan dengan mengendarai garuda turun
pergi ke Patala. Brahma dengan kendaraannya, pergi ke arah atas. Brahma dan
Visnu gagal dalam usaha menemukan ujung dari phallus tersebut kemudian memuja
Siva dan memohon kepadaNya supaya phallusnya diambil kembali dari bumi. Siva
meminta dengan tegas supaya para deva memuja phallusnya tersebut. Brahma dan
Visnu pun menyetujui. Mahavisnu kemudian menciptakan Catur Varna, menciptakan
berbagai sastra atau petunjuk sebagai petunjuk bagi masyarakat untuk memuja
phallus atau lingga tersebut. Empat kitab sastra yang dikenal adalah: Sivam, Pasupatam,
Kaladamanam, dan Kapalikam. Setelah melaksanakan semua seperti tersebut di
atas, Visnu dan Brahma kembali, Siva mengambil kembali phallusnya (Vamana
Purana 6) (Gunawan, 2012; 76-77).
2). Balakhilya.
Delapan
puluh delapan ribu Balakhilya lahir dari pikiran Brahma. Mereka menguruskan
badan mereka dengan selalu mandi, melakukan puasa dan memuja Siva. Meskipun
mereka memuja Siva sampai seribu tahun devata, Siva tidak pernah muncul di
hadapan mereka. Parvati yang melihat hal tersebut bertanya kepada suaminya,
Siva, mengapa tak datang memperlihatkan diri kepada mereka. Siva menjawab bahwa
mereka (pertapa) belum memahami kebajikan, belum terbebas dari nafsu dan
kemarahan. Siva pun menjelaskan kepada Parvati dengan pergi turun ke Bhalakilya
menjelma menjadi seorang pemuda yang tampan, mengenakan kalung bunga Vanamala,
membawa mangkuk untuk memperoleh dana punia di tangannya dan bertelanjang
bulat. Para wanita Advaitin (pengikut Advaita) sangat tertarik oleh ketampanan
pemuda tersebut (Siva) dan menanyakan tentang tapa apa yang telah dilakukan
oleh pertapa muda tersebut. Pertapa (Siva) tidak memberi tahukan tentang
tapanya dan hanya mengatakan ia telah melakukan tapa yang sangat rahasia. Para
wanita yang penasaran serta terdorong oleh nafsunya, mencoba untuk merayu Siva.
Hal itu diketahui oleh para pertapa serta marah kepada pertapa muda (Siva)
tersebut. Salah satu pertapa ada yang memuluk phallus pertapa muda itu dengan
tongkat dan batu hingga phallus itu jatuh ke tanah yang menyebabkan kegoncangan
pada dunia. Siva pun menghilang dari tempat itu. Para pertapa kebingungan dan
memohon perlindungan dari dewa Brahma. Merasa telah melakukan kesalahan, kebodohan
serta ketidaktahuan, Brahma meminta kepada para pertapa untuk mendinginkan
kemarahan serta menyenangkan hati Siva. Para pertapa pun memuja Siva, dan Siva
datang memberikan petunjuk tentang pendirian lingga sebagai tempat pemujaannya.
Atas bantuan dari Parwati pula, para pertapa berhasil bertemu Siva yang
kemudian membantu mendirikan lingga di tepi sungai. Mereka semuanya, yang
menyaksikan pendirian Lingga tersebut memperoleh kebebasan yang tertinggi.
Ketika phallus (lingga) didirikan, Brahma juga membangun phallus yang lain dari
batu. Setelah satu masa, phallus yang kedua menyatu dengan yang pertama dan
memancarkan cahaya yang gemerlapan. Mereka yang melihat hal itu juga memperoleh
kesempurnaan. Segera saja Brahma mendirikan lagi 7 lingga untuk menyenangkan
hati para rsi, dan para rsi pun mencapai kebebasan yang tertinggi setelah
mengurapi dirinya dengan debu lingga tersebut. Tempat lingga itu didirikan kini
sangat popular dengan nama Sthanutirtha (Vamana Purana 45) (Gunawan, 2012;
78-79).
3). Bhahmasrsti.
Pada
awalnya Brahma memberikan kepercayaan kepada Siva untuk melaksanakan tugas
penciptaan, dan untuk mendapatkan kekuatan penciptaan, ia tinggal di bawah air
untuk beberapa generasi. Siva tidak kembali meskipun Braham telah lama
menunggunya, akhirnya Brahma menciptakan para Prajapati dan mereka yang
mengerjakan semua penciptaan itu. Selanjutnya setelah Siva memiliki semua
kekuatan yang diinginkan, ia muncul kembali dari air. Siva ternyata sangat
marah dan semua ciptaan ketika ia tidak ditempat dirusak, dan ia mencabut
phallusnya dan melemparkannya ke atas bumi. ia berkata, sejak saat itu semua
ciptaan ditangani oleh Brahma, ia selanjutnya tidak memerlukan phallus tersebut.
Phallus yang dilemparkan oleh Siva menancap di Bumi dan tetap tinggal berdiri
di sana. Nantinya, siva menari untuk memusnahkan para dewa. Akhirnya atas
permohonan para dewa, Siva menyimpan api kemarahannya di dalam air. Api itulah
yang mengeringkan air di lautan, sungai-sungai dan lain-lain. Ketika kemarahan
Siva telah lenyap dan keadaan menjadi tenang, para dewa memuja phallus (lingga)
yang menancap di tanah, dan karenanya pemujaan kepada lingga demikian populer
(Mahabharata, Sauptikaparva 17) (Gunawan, 2012;79).
2.3
Bagian-bagian Lingga
Haryati Subadio dalam bukunya yang berjudul : “Jnana
Siddhanta” dengan mengambil istilah Atmalingga dan Siwalingga atau sering
disebut stana dan pada Dewa Siwa atau sering disebut sebagai simbol
kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Jnana Siddhanta disebutkan:
“Pranalo
Brahma visnus ca Lingotpadah Siwarcayet”.
Terjemahan:
Salurannya ialah Brahma dan Visnu dan penampakan lingga dapat dianggap sebagai sumber Siwa.
Salurannya ialah Brahma dan Visnu dan penampakan lingga dapat dianggap sebagai sumber Siwa.
Dalam bahasa Sansekerta pranala berarti saluran air, pranala
dipandang sebagai kaki atau dasar lingga yang dilengkapi sebuah saluran air.
Dengan istilah lingga pranala lalu di maksudkan seluruh konstruksi yang
meliputi kaki dan lingga, jadi lingga dan yoni. Kemudian lingga yoni, berkaitan
dengan tri purusa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa, di mana Siwa dinamakan lingga,
sedangkan Brahma dan Wisnu bersama-sama dinamakan pranala sebagai dasar yaitu
yoni. (Putu Mudiantara http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/ diakses tanggal 22 April 2012 Pukul
15.39 Wita).
Sesuai dengan uraian di atas lingga mempunyai bagian-bagian
yang sangat jelas. Pembagian lingga berdasarkan bentuknya terdiri atas: dasar
lingga paling bawah yang pada umumnya berbentuk segi empat yang pada salah satu
sisinya terdapat carat atau saluran air bagian ini disebut yoni. Di atas yoni
yang merupakan bagian lingga paling bawah berbentuk segi empat disebut dengan
Brahma Bhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga,
sedangkan bagian atas berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga. Jadi bentuk
lingga menggunakan konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) ketiga bagian lingga
tersebut kiranya dapat disamakan dengan konsepsi Bhur Bwah Swah. Lingga pada
umumnya diletakkan di atas lapik yang disebut pindika atau pitha. Bentuk lapik
ini biasanya segi empat sama sisi, segi empat panjang, segi enam, segi delapan,
segi dua belas, bulat, bulat telur, setengah bulatan, persegi enam belas dan
yang lainnya. Yang paling sering dijumpai adalah Lapik yang berbentuk segi
empat (Gopinatha Rao, 1916 :99). Mengenai bentuk-bentuk dan puncak lingga ada
banyak ragam antara lain : berbentuk payung (chhatrakara), berbentuk telur (kukkutandakara),
berbentuk buah mentimun (tripusha kara),
berbentuk bulan setengah lingkaran (arddhacandrakara),
berbentuk balon (budbudhasadrisa)
(Gopinatha Rao, 1916 : 93). (Putu Mudiantara http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/ diakses tanggal 22 April 2012 Pukul
15.39 Wita). (I Nyoman Dauh: http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1266&Itemid=29 diakses tanggal 29 April 2012 Pukul
08.36 Wita).
2.4
Jenis-Jenis Lingga
Berdasarkan penelitian dan TA. Gopinatha Rao, yang terangkum
dalam bukunya berjudul “Elements Of Hindu Iconografi Vol. II part 1” di sini
beliau mengatakan bahwa berdasarkan jenisnya Lingga dapat dikelompokkan atas
dua bagian antara lain :
1.
Chalalingga
2.
Achalalingga
2.4.1 Chalalingga
Chalalingga adalah lingga-lingga yang dapat
bergerak, artinya lingga itu dapat dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat
lain tanpa mengurangi suatu arti yang terkandung. Adapun yang termasuk dalam
kelompok lingga ini adalah:
1) Mrinmaya Lingga
Merupakan suatu lingga yang dibuat dari tanah liat, yang
prosesnya dengan cara dibakar. Dalam kitab Kamikagama dijelaskan bahwa
pembuatan lingga ini berasal dari tanah liat putih dan tempat yang bersih.
Proses pengolahannya adalah tanah dicampur susu, tepung, gandum, serbuk
cendana, menjadi adonan setelah beberapa lama disimpan lalu dibentuk sesuai
dengan ketentuan, lalu dibakar.
2) Lohaja Lingga
Yaitu suatu lingga yang terbuat dari jenis logam, seperti :
emas, perak, tembaga, logam besi, timah dan kuningan.
3) Ratmaja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dan jenis batu-batuan yang berharga
seperti, permata, mutiara, kristal, jamrud, waidurya, kwarsa, blue stone dan
lain-lain.
4) Daruja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dari bahan kayu seperti kayu sami,
tinduka, karnikara, madhuka, arjuna, pippala dan udumbara. Dalam kitab
Kamikagama disebutkan juga jenis kayu yang digunakan yaitu khadira, chandana,
sala, bilva, badara, dan dewadara.
5) Kshanika Lingga
Yaitu lingga yang dibuat untuk sementara jenis-jenis lingga
ini dibuat dari saikatam, beras, nasi, tanah pekat, rumput kurcha, janggery dan
tepung, bunga dan rudrasha.
Bahan dan pembuatan lingga erat kaitannya dengan tujuan
dilakukannya pemujaan. Lingga yang terbuat dari emas bertujuan untuk
mendapatkan kekayaan. Lingga yang terbuat dari nasi umumnya digunakan bila
pemujanya mengharapkan makanan, terutama nasi. Adapun lingga tanah liat
ditujukan untuk mendapatkan kekayaan, sedangkan lingga dari kotoran sapi
digunakan untuk menghilangkan penyakit. Lingga dengan bahn dasar mentega
umumnya memberikan suasana gembira. Pemuja lingga yang ingin mendapatkan umur
panjang maka mengadakan pemujaan dengan menggunakan lingga yang terbuat dari
bunga-bungaan. Untuk mendapatkan kebahagiaan lingga yang dipuja umumnya terbuat
dari sadlewood. (Gunawan, 2012;
81-82).
2.4.2
Achala Lingga
Achala Lingga merupakan lingga yang
tidak dapat dipindah-pindahkan seperti gunung sebagai linggih Dewa-Dewi dan
Bhatara-Bhatari. Di samping itu pula lingga ini biasanya berbentuk batu besar
dan berat yang sulit untuk dipindahkan. I Gusti Agung Gde Putra dalam bukunya
berjudul : “Cudamani, kumpulan kuliah-kuliah agama jilid I”, menjelaskan bagian
lingga atas bahan yang digunakan. Beliau mengatakan lingga yang dibuat dari
barang-barang mulia seperti permata tersebut spathika lingga, lingga yang
dibuat dari emas disebut kanaka lingga dan bahkan ada pula dibuat dari tahi
sapi dengan susu disebut homaya lingga, lingga yang dibuat dari bahan banten
disebut Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai di Indonesia dari di Bali
khususnya adalah linggapala yaitu lingga terbuat dari batu. Mengenai keadaan
masing-masing jenis lingga T.A. Gopinatha Rao dalam bukunya berjudul “Elements
of Hindu Iconografi Vol. II part I” dapat dijelaskan, sebagai berikut:
1) Svayambhuva lingga. Dalam mitologi, lingga
dengan sendirinya tanpa diketahui keadaannya di bumi, sehingga oleh masyarakat
lingga yang paling suci dan lingga yang paling utama (uttamottama). Atau dapat
dikatakan “terjadi dengan sendirinya”.
2) Ganapatya lingga. Lingga ini berhubungan dengan
Ganesa, Ganapatya lingga yaitu lingga yang berhubungan dengan kepercayaan
dibuat oleh Gana (padukan Dewa Siwa) yang menyerupai bentuk mentimun, sitrun
atau apel hutan.
3) Arsha lingga. Lingga yang dibuat dan dipergunakan oleh para Resi.
Bentuknya bundar dengan bagian puncaknya bundar seperti buah kelapa yang sudah
dikupas.
4) Daivika lingga. Lin/gga yang memiliki kesamaan dengan Ganapatya lingga dan
arsha lingga hanya saja tidak memiliki brahma sutra (selempang tali atau benang
suci, dipakai oleh brahman).
5) Manusa lingga. Lingga yang paling umum ditemukan pada bangunan suci,
karena langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang
bervariasi. Lingga ini umumnya mencerminkan konsep tri bhaga yang Brahma bhaga
(dasar), Wisnu bhaga (badan) dan Rudra bhaga (puncak). Mengenai ukuran panjang
maupun lebar menyamai pintu masuk tempat pemujaan utama. (Putu Mudiantara http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/ diakses tanggal 22 April 2012 Pukul
15.39 Wita).
Untuk manusalingga,
ada pula yang memberikan pembagian berdasarkan cara pembuatannya yang terdiri
dari beberapa bentuk, diantaranya adalah :
1). Sarvadesika
lingga. Jenis ini panjangnya ditentukan oleh perbandingan dengan sisi ruangan
dalam candi. Lingga jenis ini ada 3 macam sesuai dengan besarnya. Pembagian
terdiri atas uttama, yaitu 3/5 sisi ruangan, madhyama 5/9 sisi ruangan, dan
adhama ½ sisi ruangan.
2). Sarvasama,
jenis lingga yang perbandingan antara Rudrabhaga, Visnubhaga, dan Brahmabhaga
sama tinggi.
3). Saivadhika,
jenis lingga ini mempunyai perbandingan panjang, 2 bagian bawah sama panjang
dan 1 bagian (atas) lebih panjang.
Perbandingan yang umum adalah 7:7:8, 5:5:6, dan 4:4:5.
4). Svastika, jenis
lingga ini yang mempunyai proporsi semakin ke atas semakin panjang (bagian atas
terpanjang) dengan perbandingan 2:3:4.
5). Varddhamana,
jenis lingga degnan proporsi makin ke atas makin panjang dengan perbandingan
4:5:6, 5:6:7, dan 7:8:9.
6). Trairasika,
jenis lingga yang mempunyai proporsi tinggi keseluruhan lingga dibagi 9, dengan
ketentuanperbandingan antara Rudrabhaga: Visnubhaga; Brahmabhaga, 6:7:8
(Gunawan, 2012; 82-83).
Manusalingga terbagi atas 3 bagian, yaitu :
Rudrabhaga (lingga bagian atas) berpenampang garis lengkung, Visnubhaga (lingga
bagian tengah) mempunyai bentuk segi-8 (octagonal), dan Brahmabhaga (lingga
bagian bawah) mempunyai bentuk persegi. (Gunawan, 2012; 83).
Puncak lingga (sirivartthana)
jenis ini mempunyai beberapa macam bentuk, diantaranya bentuk chattrakara (bentuk payung), tripusakara (bentuk ketimun), kukkutaudakara (bentuk telur), ardhacandrakara
(bentuk bulan sabit), budolasadrisa
(bentuk menggelembung). Pada puncak lingga ditemukan 2 garis vertical yang
bertemu dengan 2 garis melengkung. Garis-garis tersebut dinamakan garis
Brahmasutra. Jenis-jenis manusalingga
yaitu:
(1). Astotarasata “108 lingga kecil”. Manusalingga jenis ini adalah lingga yang pujabhaga (permukaaan lingga)nya dibagi atas garis-garis vertikal
dan horizontal, sehingga terlihat seperti dihiasi lingga-lingga kecil.
(2). Dhara, adalah lingga yang bagian pujabhaga-nya dihiasi garis-garis vertikal yang memanjang (fluted
vertikal) sebanyak 50-60 buah. Kitab Suprabhedagama menjelaskan garis vertikal
tersebut dapat saja berjumlah 5,7,9,12,16,20,24, maupun 28, sedangkan kitab
Karanagama memberi ketentuan 16 buah garis.
(3). Sahasra, lingga jenis ini pujabhaga-nya
dihiasi garis-garis vertikal dan horizontal. Bedanya dengan astottarasata, pada
sahasra garis-garis horizontal dan vertikal itu tidak membentuk lingga-lingga
kecil. (Gunawan, 2012; 83)
2.5
Bentuk-Bentuk Lingga
2.5.1 Mukhalingga
Mukhalingga adalah salah satu bentuk lingga yang diberi hiasan berbentuk muka dewa. Hiasan muka
tersebut bisa berjumlah 1, 2, 3, 4 atau 5 buah muka. Hiasan muka yang berjumlah
5 itu mengandung arti simbolik dari kelima aspek Siva, yaitu Sadyojata,
Vamadeva, Aghoramurti, Tatpurusa dan Isana (Margaret Stutley, 1985: 94). Kelima
aspek Siva itu juga berkaitan erat dengan lima unsur (panca maha bhuta), yaitu
tanah, air, api, angin, dan udara (akasa). Kelima aspek Siva itu mempunyai
fungsi yang berbeda-beda. Sadyojata aspek Siva sebagai pencipta (dunia),
Vamadeva aspek Siva sebagai pemelihara (dunia), Aghoramurti aspek Siva sebagai
pemelihara (dunia), Tatpurusa aspek Siva sebagai pembasmi samsara, dan Sada Siva aspek Siva yang erat
hubungannya dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai moksa (Margaret Stutley,
1985; 107). Sebaliknya Gopinatha Rao (1968) menghubungkan kelima aspek Siva itu
dengan; Samharamurti sebagai perusak, Anugrahamurti sebagai pemberi anugrah,
Nrttamurti sebagai ahli tari, Daksinamurti sebagai ahli musik, filsafat dan
Samadhi, dan Bhiksatamurti sebagai “pengemis”.
Selanjutnya kitab Skanda Purana menyebutkan warna masing-masing aspek siva tersebut
yaitu: Sadyojata berwarna putih seperti
kulit kerang atau bulan, Aghoramurti memeiliki warna yang menyerupai awan
hitam, Vamadewa mempunyai warna kuning keemasan, Tatpurusa mempunyai warna
kemilau, dan Sada Siva
mempunyai warna putih (Margaret Stutley, 1985; 107).
2.5.2 Lingodhavamurti
Salah satu bentuk perwujudan Siva yang sangat menonjol di India adalah
lingga dalam perwujudannya sebagai Lingodhavamurti. Dalam perwujudan ini Siva digambarkan ke
luar dari dalam sebuah lingga yang terbuka. Dalam bentuk
relief umumnya digambarkan sebagai sebuah lingga dengan seekor angsa terbang di
atas lingga agak ke bawah terpahat arca manusia berwajah babi hutan sedang
mencari-cari (lingga) di bawah tanah.
Bentuk lain penggambaran linodhavamurti berupa wujud Siva sedang ke luar dari
dalam lingga yang terbuka. Di depannya digambarkan Visnu dan Brahma berdiri
dalam sikap member hormat dalam sikap anjali. Gambaran pada relief ini
didasarkan pada kitab-kitab Purana, diantaranya kitab Vayu Purana, Brahmanda
Purana, Siva Purana (Rudra Samhita), dan Lingga Purana serta Skanda Purana.
Dalam lingga Purana diceritakan bahwa para dewa dating bertanya pada Brahma
awal mula lahirnya lingga, dan bagaimana Mahesvara dapat berada dalamnya.
Brahma kemudian bercerita bahwa lingga adalah pradhana (alam), dan pemilik
lingga adalah Dewa Tertinggi, Paramesvara. Kemudian Brahma juga menceritakan
pertemuannya dengan Visnu serta kedatangan api lingga yang mempesona. Ia
(Brahma) dan Visnu berusaha mencari ujung dan pangkal lingga, namun tidak
berhasil. Dalam usaha pencarian itu, Visnu berubah menjadi babi hutan dan ia
sendiri (Brahma) berubah menjadi seekor hamsa.
2.5.2.1 Lingodhavamurti
dalam bentuk arca dan relief
Kitab Amsumādbhědāgama menjelaskan salah satu penerapan
kisah timbulnya lingga dalam pahatan,
yaitu dengan cara memahat tokoh Siva dalam bentuk Chandrasekhamūrti di bagian
depan (permukaan) sebuah lingga. Keterangan ini diperjelas oleh kitab
Karanagama. Menurut kitab ini seperlima ujung dan dasar lingga
sebaiknya dibiarkan polos, tanpa pahatan. Kaki di bawah lutut tokoh Siva tidak ada. Sebelah kanan lingga dekat ujung
(puncak) lingga dipahat Brahma
dalam bentuk seekor angsa, sementara Visnu dalam bentuk seekor babi hutan
dipahat pada bagian kiri kaki lingga. Dapat pula tokoh Brahma dan Visnu dipahat
di atas kanan dan kiri menghadap lingga dengan tangan dalam sikap anjali.
Tokoh-tokoh ini dapat pula diberi warna, warna untuk tokoh Siva merah, Visnu
hitam, dan Brahma kuning keemasan. Keterangan yang lebih rinci terdapat dalam kitab
Kamikagama. Menurut kitab ini ukuran angsa ditetapkan sama panjang dengan wajah
Siva. Tokoh babi hutan digambarkan sedang
menggali dan masuk ke dalam bumi. Tokoh Visnu dan Brahma dalam bentuk kedewaan
tidak perlu dipahatkan, sedangkan angsa dan babi hutan harus dipahatkan.
Kitab Silparatna
menambahkan bahwa Siva membawa sula pada salah satu tangannya. Kitab Karanagama
mengharuskan memahat tokoh Siva dalam bentuk Chaturbhuja dengan ketentuan salah satu tangannya digambarkan dalam
sikap abhaya, dan salah satu tangan lainnya dalam sikap varadahasta. Tangan
ketiga membawa parasu dan tangan keempat memegang krsnamrga (seekor rusa jantan
berwarna hitam). Siva dipahat dengan hiasan mahkotanya berbentuk hiasan bulan
sabit. Beberapa bentuk perwujudan Lingodbhavamurti yang ada di India telah
ditelaah Gopinatha Rao dalam bukunya Elementa of Hindu Iconography, diantaraya
1. Lingodbhavamurti yang ditemukan dalam candi Kailasanathasvami di Conjeevaram
yang umurnya lebih dari 1200 tahun lalu. Tokoh Siva digambarkan dalam bentuk
Siva Candrase kharamurti bertangan delapan. Beberapa dari kedelapan tangan
digambarkan membawa parasu, sula, aksamala, dalam sikap abhaya dan
katyavalambita. Keterangan selanjutnya, bahwa seperlima bagian ujung lingga
sebelah kirii tidak ada pahatan,
demikian juga dari lutut ke bawah tokoh Siva.
Siva digambarkan mengenakan hiasan bulan sabit pada
mahkotanya. Babi hutan sebagai avatara Visnu digambarkan ertangan empat, dua
buah tangan sedang menggali bumi, dua buah tangan lainnya digambarkan membawa
sankha dan cakra. Menurut kitab Agama, babi hutan juga dapat dipahatkan seakan
keluar dari dasar ruang panil. Brahma digambarkan terbang di udara di ujung
lingga dalam bentuknyas sebagai seekor angsa. Tokoh Visnu dan Brahma juga dipahatkan dalam bentuk caturbhuja dikanan kiri lingga. Visnu dan Brahma digambarkan
dalam sikap memuja (sebuah tangan dalam sikap memuja, sebuah diletakkan di atas
pinggul masing-masing, dan tangan-tangan yang lain membawa laksana masing-masing). Pada puncak relung dipahatkan makara-torana. Selain di candi
Kailasanathasvami, relief lingodbavamurti, kita temukan juga didalam candi Siva
Ambar Magalam. Disini lingga,
digambarkan dengan untaian bunga berbentuk lingkaran keluar dari atas puncak lingga. Tokoh Siva digambarkan dalam
bentuk caturbhuja, sebuah tangan dalam sikap abhaya, tangan lainnya dalam sikap katyavalambita, membawa parasu
dan rusa jantan hitam. Kaki-kaki tokoh Siva dibawah lutut dan diatas
pergelangan kaki dipahatkan bertentangan dengan praturan yang ditetapkan dalam
kitap agama, yaitu sebuah kaki disembunyikan dalam lingga. Diatas lingga
tergambar angsa dengan paruh yang sangat menonjol. Dibawah sebelah kiri lingga babi hutan yang diwujudkan dalam
bentuk setengah manusia dan setengah binatang sedang menggali lubang di bawah
bumi. Menurut perkiraan relief lingodbavamurti ini berasal dari abad 11 atau 12
masehi, yaiti periode pertengahan Chola.
Puja terhadap Siva Lingga
Upacara puja lingga atau lebih dikenal sebagai Nitya-Puja dapat berupa Abhiseka, yaitu membasahi lingga dengan cairan berupa air kelapa,
madu, air gula, susu sdan sebagainya. Pujaan terhadap lingga dapat pula dilakukan dengan memberi dupa, membakar kayu
wangi, lepa dan sebagainya. Selain memberi dupa dapat pula berupa persembahan Naivedya, yaitu upacara pemberian aneka
makanan bagi sang lingga. Usai
upacara semua makanan dibagikan pada yang hadir untuk di santap bersama. Puja
terhadap lingga dapat pula dilakukan
di dalam Garbhagrha dengan meletakkan
lampu dan untaian bunga atau bunga-bunga lepas. Dalam upacara besar selain
menggunakan bunga dan lampu, juga dipersembahkan musik dan tari. Penarinya
seorang Devadasis (deva = dewa; dasi = abdi), yaitu seorang wanita cantik yang telah mendapat
latihan menari sesuai dengan aturan-aturan puja.
Dalam kitab manasara disebutkan bahwa
“di india lingga atau phalli mempunyai banyak sebutan,
diantaranya Siva, pasupata, kalamukha, mahavrata, vama, dan bhairava”.
(Manasara LII:2-3). Untuk kumpulan lingga
mendapat sebutan samakarmna, vardhamamana, Sivanka, dan svastika. Yang
masing-masing merupakan media pemujaan untuk kaum brahmana, ksatrya, vaisya,
dan sudra. (Manasana LII: 4-5). Sebagai simbol Siva, lingga merupakan aspek skunder dari lambang kelaki-lakian Siva yang
baru akan menimbulkan tenaga atau energi setelah bersatu dengan yoni, yaitu
lambang kewanitaan sakti Siva yaitu
Parvati. Lingga merupakan lambang
api, sebagai manisfestasi dari kekuatan atau kekuasaan, sedangkan yoni merupakan lambang bumi. Kedua sifat
itu saling bertolak belakang, namun bila keduanya bersatu akan melahirkan
kekuatan atau energi. Itulah makna pertemuan antara lingga dan yoni.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Lingga merupakan lambang Dewa Siwa
atau Tuhan Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang
sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia
yang beragama Hindu. Lingga
berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas,
bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga Siwa
dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat,
poros, sumbu (Zoetmulder, 2000 :601). Sedangkan pengertian yang umum ditemukan
dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan : linggih, yang artinya
tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama
Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa.
Pemujaan
kepada Sang Hyang Siva melalui Sivalingga banyak dilakukan oleh masyarakat
zaman dahulu terutama oleh sekte Pasupata yang merupakan sekte pemuja Siva
dengan menggunakan lingga sebagai sarana dalam pemujaan kepada Sang Hyang Siva. Haryati
Subadio dalam bukunya yang berjudul : “Jnana Siddhanta” dengan mengambil
istilah Atmalingga dan Siwalingga atau sering disebut stana dan pada Dewa Siwa
atau sering disebut sebagai symbol kekuatan Tuhan Yang Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012.
Sivasiddhanta 1. Singaraja: Tidak diterbitkan.
Nurkancana, I Wayan. 1998. Menguak
Tabir Perkembangan Hindu. BP; Denpasar
Sastra,
Gede Sara. 2008. Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini. Denpasar: Pustaka Bali Post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar