Kamis, 30 Januari 2014

UTS SIVASIDDHANTA II (MAKNA BANTEN-BANTEN DAN MANTRA BANTEN)


UTS SIVASIDDHANTA II
MAKNA BANTEN-BANTEN DAN MANTRA BANTEN
(Canang Sari, Daksina, Peras, Ajuman, banten melinggihang Surya)

Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.H



 



             IHDN DENPASAR




                 Oleh :


            Dewa Ayu Dewi Purnawati                         (10.1.1.1.1.3896)
                       










JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012

Soal UTS sivasiddhanta II

Buatlah kajian bukti kristalisasi sekte-sekte dalam sarana upakara Canang Sari, Daksina, Peras, Ajuman,  Banten Pajati dan  Sesayut dalam Siva Siddhanta!!!
1.       Kajian bukti kristalisasi sekte-sekte dalam Canang Sari.
1.1     Pengertian Canang
 
           Sebelum lebih lanjut menguraikan kata Canang Sari, ada baiknya penulis jabarkan dahulu makna perkata dari kata Canang dan Sari. Kata Canang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang pada mulanya berarti sirih, yang disuguhkan pada tamu (atiti) yang sangat dihormati (Wiana, 1992 : 26). Tamu yang dimaksud adalah tamu sekala yang sekedar mampir atau bertandang ke rumah seseorang. Adalah sebuah kearifan sosial dari zaman dahulu bahwa bertandang ke rumah seseorang adalah bentuk menyama braya, tuan rumah yang dikunjungi akan sangat berbahagia karena pemahaman orang Bali yang dijiwai oleh Spirit Hindu memandang Tamu sebagai Dewa Manyekala. Rasa simpati dan bahagia tuan rumah, mereka cetuskan dengan mempersembahkan sesuatu kepada tamu yang biasanya adalah sirih.
            Kemudian kata Sari berarti inti, pokok, sumber dan  yang terpenting/utama Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan Canang Sari adalah sirih yang menjadi pokok utama, itulah mengapa Canang Sari  belum bisa dikatakan bernilai filosofis religius jika belum dilengkapi porosan yang bahan pokoknya tiada lain adalah sirih. Lewat sentuhan jiwa seni, Canang Sari bukan berbentuk sirih biasa, tapi merupakan perpaduan yang sedemikian rupa antara bunga, janur, daun, buah, tetuwesan dan jejahitan. Canang Sari adalah persembahan kepada "Tamu Niskala" yang agung yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dipersembahkan oleh umat Hindu melalui "sapaan akrab" upacara agama agar beliau mendekat dan berkenan memberkati upacara yang dilaksanakan. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, Canang Sari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih.
1.2       Makna komponen penyusun Canang Sari 
 Ceper
   Ceper merupakan sebagai alas dari sebuah Canang Sari, yang memiliki bentuk segi empat. Ceper adalah sebagai lambang Angga Sarira (badan), empat sisi dari pada Ceper sebagai lambang dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, Panca Karmendriya. Keempat itulah yang membentuk terjadinya Angga Sarira (badan) ini. 
1.2.2    Bunga
         Bunga adalah sebagai perlambang kedamaian dan ketulusan hati. Pada sebuah Canang Sari bunga akan ditaruh di atas sebuah Sampian Uras, sebagai lambang di dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan.
Bunga sebagai salah satu unsur sarana persembahyangan. Dalam Bhagawadgita IX.26, disebutkan unsure-unsur pokok persembahan yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi adalah bunga, disamping daun, buah-buahan dan air. Adapun bunyi slokanya sebagai berikut:
Pattram puspam phalam puspam phalam toyam
Yome bhaktya prayaccati
Tad aham bhaktyu pakrtam
Asnami prayatat manah.

Terjemahan:
Siapapun yang dengan  kesujudan mempersembahkan padaKu daun, bunga, buah-buahan atau air, persempahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci, Aku terima (Wiana, 1992 : 25)

Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan Pengider-ider  Panca Dewata. Untuk urutannya saya menggunakan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.
Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Gagar Mayang oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian Sekala Niskala. Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan Kecerdasan dan Kewibawaan. Bunga berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi. Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga. Bunga Rampai (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha Maha Mertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa). (Sumber : http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2011/12/canang-sari.html, Diakses Minggu, 2 Desember 2012 Pukul 09.35 Wita)
1.2.3    Beras atau Wija 
         Beras atau Wija sebagai lambang Sang Hyang Atma, yang menjadikan badan ini bisa hidup, Beras atau wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan atau kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Atma.

1.2.4    Porosan. 
         Porosan bisa dikatakan bahan terpenting dan inti yang terdapat dalam Canang Sari, karena tanpanya Canang Sari belum bisa dikatakan memilki nilai religius.  Porosan terbuat dari daun sirih, kapur atau pamor, dan jambe atau gambir sebagai lambang Tri Pramana: Bayu, Sabda dan Idep (pikiran, perkataan, dan perbuatan). Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai simbol Bhatara Wisnu, dalam bentuk Tri Pramana sebagai lambang dari Sabda (perkataan), Jambe atau Gambir sebagai simbolisasi Bhatara Brahma, dalam bentuk Tri Premana sebagai lambang Bayu (perbuatan), Kapur atau Pamor sebagai lambang Bhatara Iswara, dalam bentuk Tri Pramana sebagai lambang Idep (pikiran).
Di lain pihak Surayin (2004: 59-60) mengatakan bagian dari Porosan diantaranya sirih menggambarkan Hyang Wisnu, Kapur menggambarkan Hyang Siwa dan Buah Pinang menggambarkan Hyang Brahma. Jika dilihat dari 2 konsepsi di atas ada perbedaan antara sarana porosan-nya pada gambir dan buah pinang, namun sebenarnya pada intinya adalah sama yaitu Porosan merupakan simbolisasi dari Tri Murti
1.2.5    Tebu dan pisang.
Di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu dan seiris pisang. Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang amrtha (kesejahteraan/kehidupan). Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan Tri Pramana yang membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktifitaslah kita dapat mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang adalah sebagai lambang Amrtha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Pramana dan dalam implementasinya berupa  Tri Kaya yang meliputi aktifitas berpikir, berbicara dan berbuat.
1.2.6    Sampian Uras/Uras Sari.
            Sampian Uras atau Uras Sari dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda kehidupan dengan delapan karakteristik yang menyertai setiap kehidupan umat manusia (Asta Iswarya). Yaitu : Dahrma (Kebijaksanaan), Sathyam (Kebenaran dan kesetiaan), Pasupati (ketajaman, intelektualitas), Kama (Kesenangan), Aiswarya (kepemimpinan), Krodha (kemarahan), Mrtyu (kedengkian, iri hati, dendam), Kala ( kekuatan). Itulah delapan karakteristik yang dimiliki oleh setiap umat manusia, sebagai pendorong melaksanakan aktifitas, dalam menjalani roda kehidupannya. Ada pula yang mengatakan Uras Sari itu merupakan simbolis arah mata angin Asta Dewata.
1.2.7    Kembang Rampai.
 
           Kembang Rampai biasanya ditempatkan di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu Canang, Kembang Rampai memiliki makna sebagai lambang kebijaksanaan. Dari kata Kembang Rampai memiliki dua arti, yaitu: Kembang berarti bunga dan Rampai berarti macam-macam, sesuai dengan arah Pengider-ider,  Kembang Rampai ditempatkan di tengah sebagai simbol warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehidupan ini hendaknya kita memiliki kebijaksanaan. Selain sebagai simbol kebijaksanaan, jika dikaitkan dengan pemujaan Ista Dewata maka Kembang Rampai merupakan simbol Sang Hyang Siwa.
1.2.8     Plawa
Plawa adalah daun-daunan, disebutkan dalam Lontar Yadnya Prakerti bahwa Plawa merupakan lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci, sehingga dapat menangkal pengaruh buruk dari nafsu duniawi yang menyesatkan umat manusia.
Canang Sari terbentuk dari beberapa unsur seperti dijelaskan di atas dan dapat ditarik kesimpulan bahwa Canang Sari mengandung arti dan makna perjuangan  hidup manusia dengan selalu memohon bantuan dan perlindungan tuhan, untuk menciptakan, memelihara, dan meniadakan. Memohon agar tuhan selalu berkenan dekat dengan manusia, sebagai "tamu" yang membiimbingnya dalam rumah tangga kehidupan. Semuanya demi suksesnya cita-cita hidup manusia yakni kebahagiaan. Begitu tingginya filsafat yang dimiliki oleh Canang Sari yang divisualisasikan dalam bentuk Banten yang indah. Dengan kata lain Canang Sari adalah bahasa agama Hindu  dalam bentuk simbol yang dapat memberikan berbagai keterangan tentang arti dan makna hidup di dunia ini.

1.3     Canang Sari dalam Konsep Penyatuan Siwa Siddhanta
Penyatuan sekte-sekte Siwa Siddhanta dalam Canang Sari dapat di kaji dari bunga. Bunga melambangkan ketulusan hati, dari warna-warna bunga dapat dikaitkan dalam Dewata Nawa Sangga, warna-warna bunga itu merupakan simbolis para dewa-dewa seperti bunga kamboja warna putih melambangkan dewa iswara, bunga cempaka kuning yang berwarna kuning melambangkan dewa Mahadewa, bunga yang berwarna merah melambangkan dewa Brahma, Bunga yang berwarna hijau atau biru melambangkan kekuatan dari Wisnu. Beras atau wija untuk Sekte Waisnawa yang diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri yang dipandang sebagai pemberi rejeki, kebahagiaan dan kemakmuran. Para petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama dan merupakan sumber kemakmuran serta kesejahteraan (Gunawan, 2012:49).
Bagian dari Porosan diantaranya Sirih menggambarkan Hyang Wisnu, Kapur menggambarkan Hyang Siwa, Buah Pinang menggambarkan Hyang Brahma (Surayin, 2004: 59-60). Selain itu dalam ura sari yang yang terdiri dari delapan lengkungannya itu juga melambangkan dari asta dewata yaitu sesuai dengan arah mata angin. Kembang rampai memiliki dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Disini dapat dilihat simbolis dari dewa siwa yaitu sesuai dengan arah mata angin dalam dewata nawa sangga yang berada di tengah-tengah.
1.4         Mantra Canang Sari
Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
Oṁ shri Deva Devi Sukla ya namah svaha
2.         Kajian bukti kristalisasi sekte-sekte dalam Daksina
2.1     Pengertian Daksina
 
  Dari beberapa literatur, sangat sulit dicari pengertian Daksina secara etimologi. Tetapi di dalam kitab Ayur Veda XX.25 disebutkan bahwa untuk mencapai "Daksina" harus diawali dengan perjuangan diri yang penuh disiplin. Perjuangan yang penuh disiplin itu disebut dengan Brata. Brata artinya janji diri yaitu suatu disiplin hidup yang timbul dari niat diri sendiri untuk melakukan sesuatu disiplin hidup. Beranjak dari sana, kata Daksina  bisa diartikan perilaku/kehidupan terhormat. Jika dipahami secara dangkal dan dipertentangkan memang akan timbul sebuah ketimpangan karena dalam realitanya Daksina adalah sebuah sarana upakara (benda) bukan berupa tingkah laku. Daksina biasanya diberikan kepada orang yang terhormat, yang mengabdikan dirinya dalam prilaku suci (Pedanda atau Pemangku). Dari sini bisa diberikan jalan tengah dan benang merah, bahwasanya ada keterkaitan antara Daksina dalam bentuk sarana upakara dan perilaku terhormat itu.
Daksina merupakan tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah dari yadnya. Hal ini dapat kita lihat pada berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak sekali ada Daksina. Kalau kita lihat fungsi Daksina yang diberikan kepada yang muput karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya Daksina tersebut sebagai ucapan tanda "terima kasih" baik sekala maupun niskala. Begitu pula kalau Daksina itu kita haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan sembah sujud kita atas semua karunia-Nya.

2.2     Fugsi Daksina
Selain fungsi di atas, Daksina memiliki kegunaan lain dalam  upacara yadnya diantaranya yaitu:
2.2.1   Daksina sebagai simbol Hyang Tunggal/ Hyang Guru:
Membuat sarana perlengkapan Daksina yang begitu lengkapnya sehingga dianggap cukup untuk mewakili isi seluruh alam semesta yang ada. Maka dengan demikian Daksina diartikan sebagai satu kesatuan dan sekaligus sebagai simbol Hyang Tunggal atau Hyang Guru sebagai manifestasi dari Deva Siva sebagai penguasa alam semesta ini.
2.2.2   Daksina sebagai sarana persembahan dalam upacara Yajna:
Daksina adalah sarana perlengkapan yang paling penting dari beberapa jenis upacara Yajna. Sebesar dan semegah apapun pelaksanaan upacara Dewa Yajna, tanpa menggunakan sarana Daksina, maka upacara itu belum dianggap sempurna karena menggunakan Daksina dianggap sebagai media untuk mendekatkan diri dan mewujudkan kuasa Tuhan, agar tercipta hubungan manusia sebagai bakta yang akan menyembah Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa yang akan disembah.
2.2.3   Daksina sebagai cetusan rasa terima kasih:
Daksina dipersembahkan oleh para baktanya, untuk menyampaikan rasa angayubagia kepada Hyang Widhi beserta manifestasiNya, karena apa yang dimohon bakta dalam melaksanakan dharmanya sehari-hari sebagai umat Hindu mendapatkan sesuai yang diinginkan. Fungsi lain dari Daksina ini adalah sebagai sarana untuk media menyempaikan terima kasih kepada para sulinggih atau para pinandita yang ditugaskan untuk melaksanakan/ memuput upacara, juga sebagai bukti rasa bhakti para umatnya disatu sisi merupakan bentuk pelayanan para pandita dan pinandita kepada umatnya.
2.2.4 Daksina untuk memohon keselamatan
Sebagai manusia yang sangat menyadari bahwa jauh dari sempurna, sehingga manusia tidak akan luput dari kesalahan/ khilap serta segala kekurangan-kekurangan, kesalahan dan lupa karena keterbatasan pikiran maka perlu melaksanakan permohonan keselamatan. Khususnya bagi para tukang banten (Serati Banten) kehadiran banten Daksina sebagai Sthana Hyang Widhi mutlak sangat diperlukan. Hyang Widhi sebagai manifestasiNya Sang Hyang Devi Tapeni/ Bhatari Tapeni (Devanya Serati Banten) untuk memohon bimbigan keselamatan, dalam melaksanakan pembuatan banten untuk upacara Deva Yajna tidak sampai melakukan kesalahan akibat keterbatasan pikiran seperti, kelupaan. Kebingungan dan lain sebagainya. Para Serati Banten biasanya jika akan membuat sarana bebantenan untuk upacara/ upakara maka akan meletakkan Daksina disertai perlengkapan banten yang lain diletakkan di mana sudah disiapkan tempat banten/ pelangkiran di mana para Serati Banten akan bekerja untuk membuat banten. Daksina tidak saja diperlukan oleh Serati Banten, tetapi juga bagi tukang-tukang lainnya seperti tukang unagi bangunan, tukang terang, tukang membuat gayah, tukang gamelan, tukang ukir dan lain-lain yang semua tujuannya untuk ngaturang piuning supaya dalam melaksanakan tugasnya mendapat bimbingan dan keselamatan oleh Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.
2.2.5   Daksina sebagai Upasaksi (Lambang Hyang Guru):
Pengertian upasaksi terdiri dari dua suku kata, yaitu upa dan saksi, upa dapat diartikan sebagai perantara dan saksi dapat berarti mengetahui. Jadi upasaksi dapat mengendung pengertian sebagai sarana untuk diketahui atau mempermaklumkan, dalam hal ini kepada Hyang Widhi dengan manifestasiNya. Tempat untuk menghaturkan banten upasaksi biasanya dibuat khusus yang diberi nama Sanggar Upasaksi, Sanggar Surya atau bisa juga Sanggar Tawang tergantung besar kecilnya upacara yang dilaksanakan. Sanggar Tawang bisa juga disebut Sanggar Agung biasanya dibentuk bangunan temporer dari bambu petung atau batang pinang yang sudah dikupas terlebih dahulu.
Bentuknya dibikin sederhana ruang atas yang dibagi menjadi tiga ruangan, apabila memakai satu ruangan maka disebut Sanggar Surya. Maka sesuai dengan namanya, maka Sanggar Tawang berarti sthana di angkasa, dan fungsinya adalah untuk mensthanakan Hyang Widhi sebagai aspeknya, sebagai Sang Hyang Catur Lokapala atau Hyang Tri Murti. Oleh umat Hindu sangat diyakini bahwa sthanaNya yang abadi berada di luhuring akasa (di atas angkasa).Setiap aktifitas ritual umat Hindu dari pelaksanaan upacara yang sederhana (nista) sampai ketingkatan upacara yang besar (utama) senantiasa dibuatkan Sanggar Surya atau Sanggar Tawang untuk memohon kehadiran Hyang Surya guna menyaksikan ketulusan hati umatnya yang sedang melaksanakan upacara/ Yajna.
Sebagai upasaksi, banten Daksina dijadikan sthana Hyang Widhi, apabila banten Daksina tersebut diletakkan pada Sanggar Surya atau Sanggar Tawang sebagai upasaksi, maka sudah jelaslah fungsinya. Biasanya banten Daksina di Sanggar Surya atau di Sanggar Tawang tidak berdiri sendiri, tetapi melengkapi atau menyertai banten-banten yang lainnya, seperti banten pejati, banten peras, banten dewa-dewi, catur, suci dan banten lainnya.
2.2.6   Daksina sebagai banten pelengkap.
Mengingat Daksina sebagai pelengkap banten-banten lainnya seperti banten pejati, banten pebangkit, banten pulegembal, dan masih banyak lagi banten yang lainnya yang tidak penulis sebutkan satu-persatu. Hal ini disebabkan karena upacara/ upakara atau banten yang digunakan dalam suatu upacara merupakan satu kumpulan ari beberapa jenis banten yang disebut soroh dan setiap soroh hampir selalu menggunakan Daksina sebagai runtutannya. Adapun kedudukan Daksina yang selalu menyertai banten-banten yang yang lain adalah karena memang unsur yang terdapat dalam Daksina sangatlah lengkap, selain itu Daksina merupakan kekuatan atau saktinya suatu Yajna. Dengan kata lain suatu upakara Yajna akan menjadi sempurna apabila ada daksinenya. Lebih jelas kita lihat pada upacara Deva Yajna, seperti melaspas, mecaru, Ngenteg Linggih, Upacara Pujawali, Panca Walikrama dan Eka Dasa Rudra. Adapun urut-urutan rangkaian upacara yang umum dilaksanakan adalah sebagai berikut:
Upakara Ngatur Piuning memulai karya (Nuasin Karya), upakara Nuur (Mendak) Tirtha, upakara untuk Serati Banten (ngelinggihang Sang Hyang Tapini) yaitu Devanya Serati Banten, Upakara RsiBijana, Upakara Mapapada (pada Sanggar Pesaksi) yang ditujukan kehadapan Siwa Raditya dan Giripati, dan upakara di bale Pawedan. Adapun banten Daksina yang digunakan disesuaikan dengan besar kecilnya upakara (nista, madya, utama). Namun umumnya pada upacara Deva Yajna dapat penulis sebutkan di atas masih kebanyakan menggunakan Daksina gede atau Daksina pemogpog di samping Daksina pelinggih dan Daksina alit.
2.2.7   Daksina sebagai sarana penebusan :
Daksina juga berfungsi sebagai penebusan atas kekurangan alam upakara yang dilaksanakan, terletak pada sesari/ uang. Selain itu uang sesari yang mengandung juga makna simbol ketulusan hati/ sarining manah. Ada juga yang menyebut Daksina pemogpog yang mengandung makna sebagai menutup bilamana dalam melaksanakan upakara yajna ada kekurangan, maknanya hampir sama yaitu untuk penebusan.
2.3      Berikut merupakan komponen-komponen pembentuk dari Daksina:
2.3.1  Bedongan
Adalah sarana upacara yang dibuat dengan daun kelapa sehingga menyerupai suatu wadah seperti bakul yang dalam bahasa bali di sebut wakul Daksina. Nama lainnya dalah bedongan. Berikut ini macam-macam bentuk bedongan.   
 2.3.2       Tapak Dara.
Tapak dara merupakan simbol sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping menuju arah kehidupan alam sekitar.

2.3.3        Beras merupakan simbul udara sebagai cerminan sang hyang bayu yang merupakan sumber pokok kehidupan, dan sebagai simbol benih yaitu benih-benih kehidupan

2.3.4        Kelapa merupakan simbul matahari atau “windu ” yakni cerminan sang hyang sadha siwa. buah yang serba guna (seluruh bagiannya dapat digunakan untuk kehidupan manusia) disimbulkan sebagai bumi dan juga sebagai kepala

2.3.5        Telur merupakan simbul bulan atau “ ardha chandra” yakni cerminan sang hyang siwa.  Telur yang digunakan dalam Daksina diusahakan menggunakan telur itik karena itik mampu memilih makanan yang bisa atau yang tidak bisa dimakan, itik juga sangat rukun dengan sesamanya dan dapat menyesuaikan hidupnya baik di darat, air dan juga udara.

2.3.6 Peselan
Peselan ini terdiri dari lima jenis dedaunan yang mewakili lima warna yaitu:
a.                   Daun mangga mewakili warna hijau-hitam
b.                  Daun durian mewakili warna putih,
c.                   Daun langsat mewakili warna kuning,
d.                  Daun manggis mewakili warna merah, dan  
e.                   Daun salak mewakili warna brumbun.
Kelima macam warna daun ini dipergunakan sebagai simbul dari Panca Dewata yaitu warna hitam adalah warna dari Dewa Wisnu, putih adalah Iswara, kuning adalah Mahadewa, merah adalah Brahma dan brumbun (Panca warna) adalah Siwa. Namun demikian, masih banyak yang mempergunakan jenis daun yang lain untuk mewakili kelima daun tersebut seperti daun rambutan, endongan dan sebagainya tanpa mengurangi makna simbolik yang terkandung didalamnya. Karena selain berpatokan pada tattwa setiap upacara juga selalu berpatokan pada Desa (tempat), Kala (waktu), dan Patra (Kondisi).
2.3.7        Gantusan
Gantusan yaitu yang dibungkus daun pisang (2 bungkus). Yang masing-masing diisi dengan segala jenis ikan teri, bumbu (yang melambangkan isi darat dan laut) serta biji-bijian (5 macam) yang mempunyai warna (hitam, putih, merah, kuning dan campuran) sebagai cerminan adanya jiwatman (roh).
2.3.8        Pangi merupakan simbul sarwa pala bungkah cerminan sang hyang boma.
2.3.9        Tingkih merupakan simbul bintang atau “ nata “ yakni cerminan sang hyang parama siwa.
2.3.10    Uang kepeng bolong merupakan simbul “ windu sunia” yakni cerminan “sangkan paran”.
2.3.11    Porosan merupakan simbul silih asih, cerminan dari sang hyang semarajaya semara ratih.
2.3.12    Benang tatebus warna putih
Di atas kelapa diisi dengan benang tatebus warna putih. Penggunaan Benang dalam setiap pelaksanaan upcara keagamaan memiliki makna simbolik sebagai tali penghubung antara yang memuja dan yang dipuja, sebagai pengikat spiritualitas kita dan juga pada upakara-upakara tertentu benang melambangkan usus.
2.3.13    Canang payasan yang sering juga disebut dengan pasucian/pangresikan. merupakan simbul asta aiswarya yaitu sang hyang dewata nawa sanga.
Daksina juga diisi sasari/uang. Daksina secara utuh dalam penggunaannya biasanya dirangkaikan dengan jenis upakara/bebantenan yang lain seperti : peras, ajuman, raka, dan yang lainnya. Rangkaian banten ini biasanya disebut dengan pejati. Namun Daksina juga bisa berdiri sendiri apabila Daksina tersebut berfungsi sebagai Daksina linggih. Namun dalam Daksina linggih ini ditambahkan dengan cili yang bermakna sebagai simbol wajah.
2.4         Mengapa kelapa Daksina serabutnya dikerik bersih
Salah satu bahan pokok untuk membuat Daksina adalah buah kelapa. Buah kelapa yang dipakai untuk membuat Daksina serabutnya harus dikerik bersih. Behkan Daksina untuk banten Nuntun Dewa hyang harus dikerik lebih bersih lagi dan dinyaki dengan minyak sukla (suci). Swami Satya Narayana mengatakan kelapa yang dipakai bahan pokok pembuatan banten Daksina serabutnya harus dikerik. Serabut kelapa itulah adalah lambang indria yang mengikat. Daksina sebagai lambang Sthana Tuhan dan lambang penghormatan harus bersih dari ikatan indria yang sangat pambrih itu. Suatu kerja yang didasarkan pada kenikmatan indria tidaklah pantas mendapatkan penghormatan Daksina.
Demikian pula pemberian yang terhormat yang disebut Daksina tidak pantas kalau masih disertai dengan pambrih-pambrih yang bersifat indriawi. Hal ini berarti Tuhan akan bersthana pada mereka yang mampu melepaskan diri dari ikatan indriawi. Ini bukanlah berarti orang harus merusak indrianya. Indria itu adalah alat. Ia tidak boleh dirusak bahkan harus dipelihara dengan sebaik-baiknya agar ia dapat dijadikan alat yang baik. Yang dimaksudkan disini  adalah janganlah kita diperalat oleh indria kata Upanisad menyebutkan indria itu ibarat kuda penarik kereta. Budhi ibarat kusir kereta, pikiran ibarat tali kekang kereta. Atman ibarat pemilik kereta, badan ibarat kereta itu sendiri dan jalan adalah obyek indria. Kalau ingin kereta itu larinya cepat dan terarah maka kuda itu harus sehat dan kuat. Sehat dan kuatnya kuda tetap harus berada dibawah kendali pikiran dan budhi jadinya serabut kelapa yang harus dibersihkan itu adalah lambang daya pengikat indria yang dapat menyesatkan sang diri dari samsara.
 Dalam upacara-upacara besar banten Daksina digunakan Daksina yang besar pula. Misalnya upacar penebusan Oton yang bertujuan untuk melindugi seseorang dari asfek negatif dari hari kelahiran. Setiap hari menurut perhitungan kalender Hindu selalu ada bain buruknya. Agar seeorang terhindar dari aspek burukya maka diadakan upacara penebusan Oton. Inti upacara penebusan Oton itu menggunakan Daksina gede. Daksina gede itu tergantung Neptu (urip) dari kelahiran tersebut. Misalnya neptunya 5 maka Daksina gedenya Sarwa lima. Kelapanya lima butir, telornya lima butir, pisangnya lima butir, dan yang lainnya juga berjumlah lima.

2.5      Mytologi adanya kelapa
Kelapa memiliki manfaat yang demikian banyak dalam kehidupan umat manusia dan mahluk hidup lainya. Sampai kelapa itu dimitoskan dalam cerita-cerita yang dicukil dari purana. Samapai ada beberapa versi cerita tentang adanya kelapa. Diceritakan ada dua orang raksasa kembar bernama Sunda Upasund. Dua raksasa ini bertapa untuk menguasai sorga, tapanya sangat tekun. Dewa-dewa disurga menugaskan Dewa Wiswakarma untuk mengujinya. Dewa Wiswakarma menciptakan bidadari yang sangat cantik dari Bunga Ratna dan Biji Wijen. Sebelum bidadari ini bertugas menggoda raksasa tersebut, Bidadari itu berkeliling disorga. Saat Dewa Brahma melihat bidadari yang sangat cantik itu, Dewa Brahma sangat terperanjat hingga beliau berkepala lima. Sedangkan Dewa Indra menjadi bermata seribu saat menyaksikan kecantikan bidadari tersebut. Karena demikian  cantiknya itupun  turun kedunia menggoda raksasa kembar tersebut. Kedua raksasa itupun kedua-duanya mati bertempur memperebutkan bidadari yang cantik itu. Selanjutnya yang menjadi cerita adalah kepala Dewa Brahma yang lima itu. Putra Dewa Siwa mengatakan Dewa Brahma berkepala empat sedangkan Putra Dewa Indra mengatakan lima. Kedua putra Dewa ini bertaruh. Siapa yang kalah harus menjelma kedunia sebagai manusia sengsara, mendengar hal ini diam-diam Dewa Siwa melepaskan panah untuk memotong satu di antara lima kepala Dewa Brahma sehingga Dewa Brahma menjadi berkepala empat. Dengan demikian Dewa Brahma pun disebut Pala Dewa Catur Mukha. Dengan demikian putra Dewa Siwa dapat mengalahkan putra Dewa Indra. Yang menjadi cerita selanjutnya adalah kepala Dewa Brahma yang putus itu jatuh kedunia. Dunia menjadi digoncang gempa akibat potongan kepala Dewa Brahma jatuh ke bumi. Dewa Siwapun bertanggung jawab atas kejadian itu. Kepala Dewa Brahma diambilnya dan dibuangnya kelaut. Lautpun menjadi goncang pula. Akhirnya kepala Dewa Brahma itu diambil lagi oleh Dewa Siwa dan ditanam ditepi pantai. Lama kelamaan kepala Dewa Brahma yang ditanam itupun tumbuh menjadi kelapa. Semenjak itulah ada kelapa di dunia. Kelapa itulah yang sampai sekarang menjadi salah satu tumbuhan yang sangat berperan dalam penyelenggaraan upacara Yajna di kalangan Umat Hindu.

2.6     Mantra Daksina :
om pakulun dewa wisnu
om dasa Daksina tattwa
sajnanam suddha ya namah
sang hyang trio daksa saksi
2.7         Penyatuan Siva Siddhanta Dalam Daksina
          Penyatuan Siva Sidhanta yang terdapat di dalam Daksina adalah penyatuan sekte- sekte yang yang pada umumnya telah terdapat di dalam bahan pembuatan Daksina tersebut. Sebenarnya didalam Daksina ini telah terjadi penyatuan sekte Siwa sidantha tetapi yang lebih dominan terlihat adalah sekte Brahma kalau kita kaji dari bahan yang digunakan misalnya bahan Kelapa dan telur itu merupakan lambang dari buana agung dan didalam proses suatu penciptaan alam semesta sehingga Dewa Brahma yang lebih berperan didalam hal ini.

3.             Kajian bukti kristalisasi sekte-sekte dalam Peras
3.1         PENGERTIAN  PERAS
Banten Peras ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain seperti: Daksina, suci, tulang-sesayut dan lain-lainnya. Dalam beberapa hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras dan benang putih. Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada "kulit-peras", dan menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada Lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras melambangkan Hyang Tri Guna-Sakti.
Kiranya kata "Peras" dapat diartikan "sah" atau resmi, seperti kata: "meras anak" mengesahkan anak, "Banten pemerasan", yang dimaksud adalah sesajen untuk mengesahkan anak/cucu; dan bila suatu kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya "tan perasida", yang dapat diartikan "tidak sah", oleh karena itu banten peras selalu menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Pada prinsipnya memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha).

3.2         Bagian-bagian atau Unsur-unsur Peras yaitu:
3.2.1   Alasnya Tamas/ taledan/ Ceper: Tamas lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga).
3.2.2   Kemudian disusun di atasnya Beras (makanan pokok – sifat rajah), Uang Kepeng/recehan (untuk mencari segala kesenangan – sifat tamas), benang (kesucian dan alat pengikat – sifat satwam) merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar.
3.2.3   Dua buah tumpeng (simbol rwa bhineda – baik buruk); lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus disatuakan baru bisa berhasil (Prasidha), tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan.
3.2.4   Base tampel/porosan (poros – pusat) yang merupakan lambang tri murti.
3.2.5   Kojong Ragkat, tempat rerasmen/lauk pauk; memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani)
3.2.6   Diisi buah-buahan, pisang, kue secukupnya – persembahan sebagai hasil kerja kita.
3.2.7   Sampyan peras; terbuat dari empat potong janur dibentuk menyerupai parabola di atasnya, merupakan lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi, waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan Dharma.
3.2.8   Canang Sari – inti dari segala yadnya, merupakan simbol dari Ida Sang Hyang Widhi

3.3         MANTRA BANTEN PERAS
Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ Pañca wara bhawet Brahma
Visnu sapta wara waca
Sad wara Isvara Devasca
Asta wara Śiva jnana
Oṁ kāra muktyate sarva peras prasidha siddhi rahayu ya namah svaha.


4.             Kajian bukti kristalisasi sekte-sekte dalam Ajuman
4.1         Makna Serta Cara Membuat Banten Ajuman/Soda
Ajumandalam bahasa Bali berasal dari kata dasar (kruna lingga)  Ajum, padanannya dalam bahasa Indonesia berarti sanjung dan puja. Ajuman sebagaimana defenisinya merupakan sarana upakara yang bertujuan untuk "ngajum" memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya bahkan terkadang  ajuman juga difungsingkan untuk memuja leluhur. ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu penek-nya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut "perangkat atau perayun" yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper/ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar.

4.2     Komponen penyusun Banten Ajuman
1.              Alasnya tamas/taledan/cepe: berisi buah, pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua buah, rerasmen/lauk-pauk yang dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan plaus/petangas, Canang Sari. Sarana yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi)
2.              Nasi penek atau "telompokan" adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis.
3.              Sampyan Plaus/Petangas; dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap. Kadang sampyan plaus/petengas bisa disebut "sampyan kepet-kepetan". dan dapat pula dilengkapi dengan canang genten/ Canang Sari/ canang burat wangi.
4.              beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk pauk berupa serondeng atau sesaur, kacang-kacangan, ikan teri, telor, terung, timun, taoge (kedelai), daun kemangi (kecarum), garam, dan sambal.
4.3       Ajuman  dan konsep kristalisasi sekte-sekte dalam Siwa Siddhanta
            Kristalisasi sekte-sekte yang terdapat dalam Ajuman dapat ditelusuri dari bahan dan komponennya. Alas Ajuman yang berasal dari tangkih/celemik melambangkan Tri Kona (Utpeti, Stiti, Pralina) ini sangat ketara adanya kristalisasi dari Sekte Brahmana, Waisnawa dan Siwa Siddhanta. Nasi Penek juga merupakan sumbangsih dari Sekte Waisnawa. Penggunaan daging berupa ikan teri merupakan bukti pengaruh dari Sekte Bhairawa. 


5.             KAJIAN PEJATI SERTA KRISTALISASI DALAM SIVA SIDDHANTA

5.1         BANTEN PEJATI
http://pandejuliana.files.wordpress.com/2012/04/banten-pejati.jpg?w=300&h=225Pejati berasal bahasa Bali, dari kata jati” mendapat awalan pa-”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh.
Jadi, Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.
Banten Pejati sering juga disebut “Banten Peras Daksina”. Ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat suci, begitu pula jika seseorang memohon jasa Pemangku atau Pedanda, “meluasang” kepada seorang balian/seliran, atau untuk melengkapi upakara, banten pejati sering dibuat. Oleh karena itu, pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja.

5.2     Bahan dan komponen penyusun Banten Pajati
Banten Pajati ini terdiri dari 4 macam tetandingan yaitu :
1.                  Daksina,  terdiri dari wakul daksina yang dibuat memakai janur/slepan yang di dalamnya dimasukkan tapak dara beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya, lalu diatas kelapa diisi 7 kojong yg terbuat dari janur/slepan, yg masing-masing kojong diisi telur itik, base tampelan, irisan pisang tebu, kemiri, pangi, gegantusan, pesel-peselan lalu di atasnya diisi benang putih dan terakhir letakkan canang burat wangi di atasnya.
2.                  Peras,  memakai alas taledan lalu di atasnya diisi kulit peras yg diisi beras, benang, base tampelan, lalu di atas kulit peras diletakkan 2 buah tumpeng nasi putih, raka-raka (jajan dan buah-buahan) selengkapnya, ditambah kojong rangkadan yang terbuat dari janur/slepan yang berisi kacang saur, gerang/terong goreng, garam, bawang goreng, timun, lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan peras.
3.                  Sodaan/Ajuman Rayunan,  memakai tamas dari janur/slepan yang di dalamnya diisi 2 buah nasi penek, raka-raka secukupnya, ditambah dengan dua buah clemik berisi rerasmen seperti kacang saur, teri dan lain-lain. Lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/sampiyan Soda.
4.                  Tipat Kelan, memakai tamas sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi ketupat nasi sebanyak 6 biji, lalu dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi rerasmen. Di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/Soda. Untuk melengkapi Pajati perlu juga dibuatkan Pesucian yang terbuat dari ceper bungkulan yang di dalamnya dijahitkan 5 buah clemik, yang masing-masing berisi boreh miik, irisan pandan wangi yang dicampur minyak rambut, irisan daun bunga sepatu, sekeping begina metunu, seiris buah jeruk nipis dan 1 buah takir untuk tirta, reringgitan suwah serit dan base tampel. Untuk pelengkapnya juga perlu dibuatkan segehan putih kuning dua tanding bila pajati untuk dibawa ke Pura/Tempat suci.
Untuk melengkapi Banten Pajati juga perlu dibuatkan Penyeneng yang dibuat dari 3 potong janur lalu kita bentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai tiga bentuk kojong yang disatukan dan berdiri tegak, di mana masing-masing kojong diisi dengan beras, tepung tawar (beras+daun dapdap+kunir ditumbuk) dan irisan bunga cempaka dan jepun dicampur boreh miik, jagan lupa diisi benang putih.

5.3       Makna dan Ista Dewata dalam Banten Pajati.
Adapun bahan dan komponen Banten Pajati serta dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu:
1. Daksina, kepada Sanghyang Brahma
2. Banten Peras, kepada Sanghyang Iswara
3. Banten Ajuman Rayunan/Sodaan, kepada Sanghyang Mahadewa
4.  Ketupat Kelanan, kepada Sanghyang Wisnu. Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan menyelimuti manusia.
5. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
6. Pesucian, manusia harus menjaga kebersihan fisik dan kesucian rohani
7. Segehan alit, lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan
8.   Daun/Plawa sebagai lambang kesejukan.
9.   Bunga sebagai lambang cetusan perasaan
10. Bija sebagai lambang benih-benih kesucian.
11. Air sebagai lambang pawitra, amertha
12. Api sebagai lambang saksi dan pendetanya Yadnya.
5.4       Mantra Pejati ( Daksina, Ajuman, Katipat Kelanan)
Oṁ Puspa Danta ya namah svaha
Oṁ Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram
Prajapatir yogayusyam
Balam astu teja paranam
Guhyanam triganam trigunatmakam
Oṁ namaste bhagavan Agni
Namaste bhagavan Harih
Namaste bhagavan Isa
Sarva bhaksa utasanam
Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara
Saktikam pastikanca raksananca saiva bhicarukam.
Oṁ Paramasiva Tanggohyam Siva Tattva Parayanah
Sivasya Pranata Nityam Candhisaya Namostute
Oṁ Naividyam Brahma Visnuca
Bhoktam Deva Mahesvaram
Sarva Vyadi Na Labhate
Sarva Karyanta Siddhantam.
Oṁ Jayarte Jaya mapnuyap
Ya Sakti Yasa Apnoti
Siddhi Sakalam Apnuyap
Paramasiva Labhate ya namah svaha
5.5       Banten Pajati dan konsep kristalisasi sekte-sekte dalam Siwa Siddhanta
     Melalui bahan dan komponen penyusun Banten Pejati penulis dapat mengkaji adanya kristalisasi sekte-sekte dalam Banten Pajati tersebut. Pengunaaan air dan bija mengindikasikan adanya kristalisasi dari Sekte Waisnawa. Penggunaan Api sebagai lambang Purohito Yadnya, merupakan kristalisasi dari Sekte Brahmana. Segehan alit merupakan kristalisasi dari Sekte Bhairawa. Selain dari sudut pandang bahan dan komponen penyusun Banten Pajati, dapat penulis kaji pula melalui Ista Dewata yang di puja dari bahan dan komponen penyusun Banten Pajati. Adapun penjabaran dari hal tersebut adalah sebagai berikut :  Daksina, yang ditujukan kepada Sanghyang Brahma, Ista Dewata dari Sekte Brahmana, Banten Peras, yang ditujukan kepada Sanghyang Iswara, Ista Dewata dari Sekte Siwa Siddhanta dan Ketupat Kelanan, yang ditujukan kepada Sanghyang Wisnu, Ista Dewata dari Sekte Waisnawa.

6.         Kajian bukti kristalisasi sekte-sekte dalam Sesayut
6.1       Pengertian Sesayut
 Sesayut berasal dari kata “sayut” atau “nyayutyang dapat diartikan mempersilakan atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari Ista Dewata, sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.  (Wijayananda, 2003: 8) Sedangkan di lain pihak,  Zoetmulder dalam Dunia (2008: vi) menjelaskan bahwa sesayut berasal dari kata “sayut” yang berarti tahan atau cegah. Berangkat dari penjelasan Zoetmulder, Dunia lebih lanjut memaparkan bahwa umat Hindu membuat Sesayut  adalah untuk menahan, mencegah orang agar terhindar dari mala, gangguan yang merusak, kemalangan atau penyakit. Satu defenisi yang berbeda lagi, disampaikan oleh Wiana (2009; 53) yang menyatakan bahwa sesayut berasal dari kata “ayu” yang berarti selamat atau rahayu. Kata “ayu” mendapat pengater Dwi Purwa lalu menjadi Sesayu, kemudian mendapat reduplikasi “t” menjadi sesayut yang artinya menuju kerahayuan. Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sesayut merupakan Sthana dari Ista Dewata untuk memohon kerahayuan agar orang yang melaksanakan yadnya itu terhindar dari mala, gangguan, atau penyakit menuju pada kehidupan yang bahagia (rahayu).

6.2       Jenis-jenis Sesayut
6.2.1    Sesayut Mertya Dewa
Sesayut ini terdiri dari sebuah kulit sesayut, di atasnya diisi penek dan beras kuning, dialasi dengan takir (terbuat dari daun kelapa), dilengkapi dengan lauk-pauk, jajan, buah-buahan, sampian naga sari, penyeneng dan canang ganten atau canang jenis lainnya.

6.2.2    Sesayut Sida Karya
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, sesayut digunakan untuk memohon kerahayuan agar terhindar dari mala, gangguan, penyakit, dan sebagainya sehingga pelaksanaan yadnya dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Senada dengan pernyataan di atas Raras (2006 : 193) memaparkan bahwa Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Para Dewa pada saat melaksanakan upacara Yadnya dalam bentuk permohonan agar kegiatan yang dilaksanakan tidak menemui kegagalan. Sesayut Sidha Karya ini digunakan dalam upacara Panca Yadnya ataupun dalam bentuk pribadi sifatnya. Ada yang secara pribadi menghaturkan banten ini di Sanggah Kemulan. Ada pula yang digunakan pada saat hari kelahirannya atau otonannya. Terkait dengan Ista Dewata yang dipuja melalui persembahan  Sesayut, Wijayananda (2006 : 3) dan Bangli (2006 : 31) memberikan sumbangsih pendapat yang sama. Mereka berdua menyebutkan bahwa Sesayut Sidha Karya ditujukan untuk Bhatara Mahesora dimana untuk peletakan banten ini melihat arah mata angin yaitu arah ‘kelod-kangin’ (tenggara).

6.2.2.1 Cara Membuat Sesayut Sidha Karya
1.               Alat dan Bahan:
-          Kulit Sesayut
-          Segehan bentuk segi empat
-          Tumpeng kecil
-          4 buah kwangen
-          2 buah tulung berisi nasi
-          Raka-raka (jajanan dan buah-buahan)
-          Daun sirih dan pinang
-          Sampian Sesayut
2.         Cara Menata :
            Kulit Sesayut diletakkan di atas nampan atau nare, di atasnya diisi segehan segi empat dan di tengah-tengah segehan diisi tumpeng kecil. Di sampingnya ditancapi kwangen 4 buah. Ujung tumpeng ditancapi bunga tunjung. Di sampingnya diisi raka-raka (buah dan jajan) serta dua buah tulung berisi nasi yang dibawahnya dialasi dengan daun sirih dan pinang lalu diatasnya diberi sampian sesayut.
Sesayut ini terdiri dari sebuah kulit sesayut diatasnya diisi nasi berbentuk segi empat, bagian tengah-tengahnya diisi sebuah tumpeng yang agak besar dan diapit oleh tumpeng yang lebih kecil. Pada tumpeng tersebar puncaknya diisi dengan terasi yang pada setiap sudutnya diisi dengan kwangen. Selain itu dilengkapi juga dengan sebuah tulung dan perlengkapan lain yang pada dasarnya sama dengan Sesayut Merta Dewa. (Raras, 2006 : 194).

6.2.3    Sesayut Sidha Purna
Sesayut ini terdiri dari sebuah kulit sesayut, diisi nasi berbentuk bulat. Disekitarnya diisi lima buah penek masing-masing disisipi pucuk dapdap. Kemudian dilengkapi dengan Ketipat Sida Purna sebanyak lima buah dan perlengkapan lain seperti Sesayut Sidha Karya.
Sesayut Sidha Purna dihaturkan oleh seseorang dengan tujuan menentramkan dirinya. Apabila seseorang tiba-tiba diliputi rasa takut dan cemas, was-was yang tidak diketahui penyebabnya, maka sesayut ini dibuat sambil memohon ke hadapan Ida Hyang Widi agar jiwanya ditentramkan agar terhindar dari mala petaka dan bencana. Sesayut jenis  ini biasanya dihaturkan di Sangah Kemulan lalu ditaruh di atas pelangkiran rumah (Raras, 2006 : 196).  Selain itu, Sesayut Sidha Purna juga digunakan pada saat pelaksanaan Manusa Yadnya baik itu pada saat otonan, mesangih (potong gigi) dan yang lainnya.

6.2.3.1 Cara Membuat Sesayut Sidha Purna
1.   Alat dan Bahan:
-          Kulit Sesayut
-          nasi 3 bulung
-          telur itik rebus dibagi 3
-          bunga tunjung (teratai)
-          raka-raka (buah dan jajan)
-          sampian nagasari
2.     Cara menata:
        Untuk alasnya bisa digunakan nampan atau nare. Diisi 3 bulung nasi, dipinggirnya diisi telur itik yang dibagi 3. Di atas nasi ditancapi bunga tunjung, disampingnya diisi raka-raka (bunga dan buah) dan terakhir disusun dengan sampian nagasari di atasnya. (Raras, 2006 : 196)


6.2.4    Sesayut Langgeng Amukti Sakti.
Sesayut ini terdiri dari kulit sesayut yang diisi sebuah penek. Penek tersebut disisipi sebuah kalpika dan muncuk dapdap. Kemudian perlengkapan lainnya sama dengan kelengkapan sesayut lainnya.

6.2.5    Sesayut Prayasiscita Luwih
Terdiri dari sebuah kulit sesayut (bentuknya bulat terbuat dari daun kelapa). Diisi tulung agung (dibawahnya berbentuk tamas dan diatasnya berbentuk cili). Di dalamnya diisi nasi serta lauk pauk. Disusun dengan sebuah tumpeng yang diisi sebuah bunga teratai putih. Di sekelilingnya diisi 11 penek kecil, sebelas kwangen, 11 buah tipat kukur/tipat gelatik, 11 buah tulung kecil, peras alit pasucian, penyeneng, klungah nyuh gading, lis, bebuu, sampian naga sari, canang burat wangi serta dilengkapi dengan jajan, buah-buahan, dan lauk pauk.

6.2.6    Sesayut Saraswati
Terdiri dari sebuah kulit sesayut, diisi penek warna merah, penek warna putih, dan penek warna hitam. Masing-masing sebuah dan dilengkapi dengan lauk pauk, pisang, buah-buahan, jajan, tebu, sampian naga sari, penyeneng, dan canang burat wangi atau canang jenis lainnya. Seperti namanya, maka Sesayut Saraswati digunakan ketika Hari Raya Saraswati.

6.3     Sesayut dan konsep kristalisasi sekte-sekte dalam Siwa Siddhanta
        Sebagaimana halnya sarana upakara lainya seperti Canang Sari, Daksina, Peras, Ajuman dan Banten Pajati yang telah penulis bahas pada pemamaparan sebelumnya, Sesayut juga memiliki bukti bahwasanya ada indikasi kristalisasi sekte-sekte baik dalam bahan dan komponen penyusunnya begitu pula dalam Ista Dewata yang di puja melalui persembahan Sesayut. Indikasi tersebut meliputi : (1) Adanya pengaruh dari Sekte  Siwa Siddhanta, misalnya dalam penggunaan tumpeng yang merupakan simbol gunung yang merupakan  sthana dari Hyang Siwa; (2) Adanya pengaruh dari Sekte Brahmana, misalnya dalam penggunaan telur sebagai lambang penciptaan Bhuana Agung,  adanya Sesayut Saraswati yang ditujukan kepada Dewi Saraswati (Sakti Dewa Brahma), sekiranya juga mendapat pengaruh dari Sekte Brahmana;  (3) Adanya pengaruh dari Sekte Waisnawa, misalnya dalam penggunaan Ketipat yang ditujukan kepada Dewa Wisnu dan Dewi Sri (Dewi Padi); (4) Adanya pengaruh dari Sekte Ganaptya, misalnya dalam pengguanaan bebuu, untuk menetralisir Bhuta Kala.




Daftar Pustaka
Bangli, I Putu. 2006. Warnaning Sesayut lan Caru.  Surabaya : Paramitha
Dunia, I Wayan. 2008. Nama-Nama Sesayut. Surabaya : Paramitha
Raras, Niken Tambang. 2006. Majejahitan dan Metanding. Surabaya : Paramitha
Wiana, Ketut. 2009. Suksmaning Banten. Surabaya : Paramitha
Wijayananda, Mpu Jaya. 2003. Tetandingan lan Sorohan Banten. Surabaya: Paramitha
                                     . 2006. Tataning Tetandingan Banten Sesayut. Surabaya : Paramitha