KRISTALISASI SEKTE-SEKTE DI BALI MENJADI
SEKTE SIVA SIDDHANTA DALAM BENTUK PANCA YADNYA.
1.
SEKTE-SEKTE
DI BALI
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh R.Goris, Sekte-sekte
yang ada di Bali berasal dari India. Pada awalnya penduduk Bali menyembah
Surya. Agama Hindu berkembang menjadi banyak sekte yang berasal dari negeri
asalnya di Jmbhu dwipa dan berkembang hingga ke Balin dwipa. Banyaknya sekte-sekte di Bali ini disebabkan
karena Weda tidak diwahyukan kepada seorang Maha Resi saja, dan juga tidak
diwahyukan dalam kurun waktu yang sama dan diwahyukan pula di tempat yang
berbeda. Ada tujuh Maha Resi yang menerima wahyu Weda, yaitu: Maha-Resi
Grtsamada, Maha-Resi Wiswamitra, Maha-Resi Wama Dewa, Maha-Resi Atri, Maha-Resi
Bharadwaja, Maha-Resi Wasistha dan Maha-Resi Kanwa. Weda diwahyukan sekitar
1.150 sampai 1.000 tahun Sebelum Masehi, di tujuh lembah sungai-sungai suci di
India, yaitu: Gangga, Sindhu, Saraswaty, Yamuna, Godawari, Narmada, dan Sarayu.
Ketujuh Maha-Resi itu menafsirkan wahyu-wahyu yang diterima, kemudian
mendirikan perguruan-perguruan serta mempunyai murid atau pengikut
masing-masing. Inilah bentuk awal dari adanya sekte-sekte Agama Hindu.
Selain
penelitian oleh R.Goris, Sejarah sudah mencatat pada abad ke-9, terjadi sebuah
memontum penting dalam perkembangan agama Hindu. Pada saat itu yang memegang
tapuk kepemimpinan di wilayah Bali adalah raja Sri Dharma Udayana WarmaDewa
dengan permaisuri Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni. Agama berkembang begitu
pesat, ini dibuktikan dengan adanya banyak sekte pada zaman itu. Pada mulanya
sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai namun lama kelamaan dalam
perkembangannya sering terjadinya persaingan-persaingan. Bahkan tidak jarang
terjadi konfik secara fisik. (Nurkancana, 1997 : 139). Persaingan sekteis ini menyebabkan ketenteraman
Bali menjadi tergangu. Kemudian, raja Sri Dharma Udayana WarmaDewa dan ratu
Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni mengambil langkah politis atas keresahan yang terjadi. Maka,
diutuslah Mpu Kuturan selaku penasehat istana untuk mencoba mencarikan solusi
dari permasahan ini. Atas dasar tugas, Mpu Kuturan kemudian mengundang semua
pucuk pimpinan sekte dalam suatu pertemuan (pasamuan)
yang diadakan di Batu Anyar (sekarang wilayah Kab. Gianyar). Pertemuan ini akhirnya mencapai kata sepakat
dengan keputusan sebagai berikut :
1)
Paham Tri Murti dijadikan dasar di Bali, yang berarti di dalamnya telah
mencakup seluruh paham sekte yang berkembang di Bali saat itu.
2)
Dalam setiap Desa Pakraman (Desa Adat) supaya dibangun Kahyangan Tiga, yaitu : Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem.
3)
Dalam setiap rumah tangga supaya didirikan Rong Tiga sebagai tempat memuja Tri Murti. Brahma di ruang kanan, Wisnu
di ruang kiri dan di tengah adalah Siwa sebagai Maha Guru atau Bhatara Guru. Rong Tiga itu selain sebagai tempat
memuja Tri Murti, juga difungsikan
untuk memuja ruh leluhur. Ruang kanan untuk memuja leluhur laki-laki (purusa), ruang kiri untuk memuja
leluhur wanita (pradana) sedangkan
ruang di tengah-tengah untuk memuja leluhur yang sudah menyatu dengan Bhatara
Guru. (Subandi dalam Nurkancana, 1997 : 139).
Dengan adanya relasi
antara manusia dengan Tuhan. Maka relasi ini diwujudkan dalam bentuk bakti
sebagai wujud Prawrti Marga. Tuhan dipuja sebagai saksi agung akan semua
perbuatan Di Bali, bakti kepada Tuhan direalisasikan dalam berbagai bentuk.
Untuk orang kebanyakan, bhakti diwujudkan dengan sembhyang yang diiringi
deangan upakara. Upakara adalah pelayanan dengan ramah diwujudkan dengan
banten. Upakara termasuk yajna atau persembahan suci. Baik sembahyang maupun
persembahan Yajna memerlukan tempat pemujaan. Pemangku, Balian Sonteng dan
sulinggih mengantarkan persembahan umat kepada Tuhan dengan mantra dan puja.
Demikian juga misalnya saat Bhatara Siwa sebagia Dewata Nawa Sanga diwujudkan dalam
banten caru, belia disimbulkan pada baten Bagian Pula Kerti, beliau dipuja pada
kidung aji Kembang. Bhatara Siwa sebagai Panca Dewata dipuja dalam berbagai
Puja, mantra dan saa, ditulis dalam aksara rerajahan dan disimbulkan pada alat
upacara serta aspek kehidupan beragama lain.
Tempat-tempat pemujaan
menunjukkan tempat memuja Bhtara Siwa dalam manifestasi beliau. Beliau dipija
sebagai Siwa Raditya di padmasana, di puja sebagi Tri Murti di sanggah, paebon,
Kayangan Desa dan kayangan jagat. Pemujaan Tuhan pada berbagai tempat sebagai
Ista Dewata sesuai ajaran Tuhan ada Diman-mana. Demikianlah orang Bali
menyembah Tuhan diberbagai tempat, dipura Dalem, pura Desa, pura Puseh, Bale
agung, dan lain. Disamping itu diberbagai tempat Tuhan di pujasebagai Dewa yang
Ngiyangin atau yang memberkati daerah berbagai aspek kehidupan, seperti Dewa
Pasar, Peternakan, kesehatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Dengan
demikian hampir tidak ada aspek kehidupan orang Bali yang lepas dari Sagama
Hindu. Dalam pemujaan ini Tuhan dipuja sebagai Ista Dewata, Dewa yang dimohon
kehadirannya pada pemujaannya, sehingga yang dipuja bukanlah Tuhan yang absolut
sebagai Brahman dalam Upanisad atau Bhatara Siwa sebagai parama Siwa, namun
Tuhan yang beResifat pribadi yang menjadi junjungan yang disembahkan oleh
penyebabnya. Ista Dewata ini dipandang sebagai tamu yang dimohon kehadirannya
oleh hambanya pada waktu dipuja untuk
menyaksikan sembah bakti umatnya.
Oleh karena itu Tuhan
dipuja sebagai “Hyang”dari aspek-aspek kehidupan yang rasa kehadiran-Nya sangat
dihayati oleh hambanya sama seperti pengahayatan
umat terhadap aspek kehidupan tersebut. Dalam pemujaan terdapat persembahan
banten, pakaian, hiasan yang semuanya dipersembahkan dengan begitu serasi
dengan penghayatan, perasaan dan cita rasa dari penyembah-Nya sehingga
penghayatan menyusutp kedalam lubuk hati yang terdalam. Disini akan muncul
variasi dari pelaksanaan hidup beragama di Bali. Namun prinsip ajaran Agama Hindu adalah sama, yaitu Tuhan ada diman-manasama
dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menampakkan diri dalam berbagai wujud dan
pandangan penyembahannya, yang abstrak dihayati melalui bentuk. Menurut Dr.
Goris, sekte-sekte setelah abad ke IX
yakni: Siwa Siddhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa,
Waisnawa, dan Sogatha (Goris, 1974:10-12). Yang berpengaruh besar di Bali
adalah sekte Siwa Siddhanta, termuat dalam lontar Bhuanakosa.
Melakukan
upacara yadnya adalah merupakan langkah yang di yakini sebagai kegiatan
beragama Hindu yang amat penting. Karena yadnya adalah salanh satu penyangga
bumi. Demikian disebutkan dalam kitab Atharwa
Weda. Pemeliharaan kehidupan di dunia ini dapat berlangsung terus sepanjang
yadnya terus-menerus dapat dilakukan oleh umat manusia. Demikian pila yadnya adalah
pusat tercitanya alam semesta atau Bhuana Agung sebagai di uraikan dalam kitab Yajur Weda. Disamping sebagai pusat
terciptanya alam semesta, yadnya juga merupakan sumber berlangsungnya
perputaran kehidupan yang dalam kitab Bhagawadgita
di subut cakra yadnya. Jika cakra
yadnya ini tidak berputar maka kehidupan ini akan mengalami kehancuran. Upacara
agama adalah salah satu bagian dari pelaksanaan yadnya sebagai dasar
pengembalian Tri Rna. Weda mengajarkan Tuhan menciptakan alam semesta ini
berdasarkan yadnya, karena itu manusia yang bermoral akan merasa berhutang
kepada Tuhan. Untuk menyampaikan rasa berhutang itu umat Himdu melakukan panca
yadnya
Di antaranya Dewa yadnya, Bhuta yadnya, pitra
yadnya, Manusa yadnya, Resi yadnya.
3.
TUJUAN MELAKUKAN YADNYA
Semua perbuatan
tentu memiliki tujuan, tanpa tujuan, semua perbuatan ibarat perahu tanpa
kendali sehingga berombang-ambing tidak menentu. Begitu pula beryadnya tentu
kita memiliki tujuan yang pasti, yakni dalam rangka menuju hidup bahagia dan
kelepasan. Bahwa Pikiran (manas) baru dapat ditunjukkan kepada kelepasan
setelah tiga hutang kita terbayar. (Manawa Dharma Sastra VI , 35) . tiga hutang
yang dalam bahasa-bahasa sanskerta di sebut TRI RNA, itu adalah hutang moral
kepada Tuhan (Dewa Rna), hutang kepada orang tua atau leluhur (Pitra Rna), dan
hutang kepada para Resi (Resi Rna). Dewa Rna yaitu kesadaran berhutang kepada
Tuhan atas yadnya kepada manusia dan alam semsta ini. Pitra Rna yaitu kesadaran
berhutang kepada orang tua ( Ibu-Bapak) dan leluhur atas jasanya yang telah
beryadnya menurunkan, memelihara dan mendidik kita dari sejak kandungan sampai
kita bisa mandiri. Adapun Resi Rna adalah kesadaran berhutang kepada para Resi
atau orang-orang suci yang beryadnya menyebar luaskan ilmu pengetahuan yakni pengetahuan
suci Veda yang diolah, disusun sedemikian rupa menjadi kitab-kitab sastra
agama, sehingga umat lebih mudah memahaminya.
Dengan demikian,
hanya orang yang bermorallah yang sadar atau merasa memiliki hutang itu. Orang yang tak merasa
punya hutang dan tidak mau memenihi kewajiban membayar, tentu akan tenggelam
dalam lembah kesengsaraan. Karena Truhan telah melakukan yadnya, maka kita
harus membayar hutang tersebut. Dalam sabdanya: Pada zaman dahulu kala rajapati
menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda; dengan ini engkau akan
berkembang biak akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu. Ayah dan ibu melahirkan
anaknya juga atas dasar yadnya. (Bhagavadgita III 10, Rna).
Pitra Rna
dibayar dengan pitra yadnya dan manusa yadnya. Resi rna dibayar dengan Resi
yadnya. Jadi menurut pengertian ini, panca yadnya dilakukan dengan tujuan untuk
membayar hutang atau Rna. Setelah hutang itu dibayar dengan yadnya, terutama
saat masih grahasta ( masa berumahtangga), barulah pikiran diarahkan untuk
mendapatkan kebebasan abadi atau kelepasan. Bagi umat Hindu di Indonesia
terutama di Bali, pembayaran hutang moral itu umumnya di lakukan dalam bentuk
upacara yadnya yang mencakup panca yadnya.
Panca yadnya
wajib dilakukan oleh setiap orang sebagai kepala keluarga untuk menembus
dosa-dosanya yang ditimbulkan oleh pemakai lima alat penyemblihan. (Manawa
Dharma Sastra III 69.71). liama alat penyemblihan itu yaitu: dapur, tempat air,
lumpang, talenan, dan tempat menumbuk bumbu masak. Ada lima unsur penyucian
yang dikandung dalam upacara agama:
1) Mantra yaitu doa-doa
yang harus diucapkan oleh umat kebanyakan, pinandita, dan pendeta sesuai dengan
tingkatannya.
2) Yantra yaitu alat atau
simbol-simbol keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk
meningkatkan kesucian.
3) Tantra yaitu kekuatan
suci dalam diri yang dibangkitkan dengan cara-cara yang ditetapkan dalam kitab
suci.
4) Yadnya yaitu pengabdian
yang tulus iklas atas dasar kesadaran untuk dipersembahkan. Ketulusikhasan ini
akan dapat meningkatkan kesucian.
5) Yoga artinya mengendalikan gelombang-gelombang
pikiran dalam alam pikiran untuk dapat berhubungan dengan Tuhan.
Pengendalian
dalam yoga ada delapan tahapan yang disebut : asta yoga, yang meliputu: yama,
nyama, asana, pranayama, darana, dhiyana, dan samadhi.
Dalam manawa Dharma sastra sloka 81
menyebutkan bahwa rumusan panca yadnya antara lain :
1) Swadyaya
Yadnya, : mengabdi kepada guru suci,
sembahyang kepada Resi dengan mengucapkan Veda.
2)
Dewa
Yadnya : menghaturkan persembahan buah-buahan
yang telah masak
3)
Pitra
Yadnya : menghaturkan
persembahan upacara sradha kepada leluhur
4)
Nara Yadnya :
memberikan makanan kepada masyarakat.
5)
Butha Yadnya :
menghaturkan upacara bali karma kepada butha
Dalam sloka 74 Manawa Dhrama
Sastra, panca yadnya diuraikan dengan istilah yang amat berbeda yaitu sebagai
berikut :
1)
Ahuta : mengucapkan
doa-doa suci veda
2)
Huta : persembahan dengan api homa
3)
Prahuta : upacara bali
yang ditujukan kepada butha
4)
Brahmahuta :
menghormati para brahmana
5)
Prasita : persembahan
kepada para pitara
Di dalam Gautama Dharma Sastra,
panca yadnya dirumuskan hanya tiga yadnya dan amat berbeda dengan yang termuat
dalam kitab-kitab lain. Tiga yadnya itu yakni :
1)
Dewa Yadnya :
persembahan kepada hyang Agni dan Dewa Samodaya
2) Butha Yadnya :
persembahan kepada loka pala (Dewa Pelindung) dan para Dewa penjaga pintu
pekarangan (penungun karang).
3) Brahma Yadnya :
pembacaan ayat-ayat suci Veda.
Sumber-sumber di Indinesia yang
lebih sesuai dengan kenyatan-kenyataan yang dilaksanakan oleh umat Hindu Di
Indonesia. Sumber-sumber di Indonesia itu adalah Lontar Korawa Srama, Lontar Singalanghyala dan Lontar Agastya
Parwa. Dalam Korawa Srama Panca
yadnya disebutkan sebagai berikut :
1) Dewa yadnya : sembah
dengan sesajen dan mengucapkan sruti dan stawa pada waktu bulan purnama.
2) Resi Yadnya :
mempersembahkan punia, buah-buahan, makanan dan barang-barang yang tidak mudah
rusak kepada para Resi.
3) Butha Yadnya :
mempersembahkan puja dan caru
4) Manusa Yadnya : memberi
makanan kepada masyarakat
5) Pitra Yadnya ;
mempersembahkan puja dan Bali atau bebanten
Adapun rumusan panca yadnya dalam
Lontar Agastya Yadnya antara lain :
1) Dewa Yadnya :
mempersembahkan minya dan biji-bijian kepada Dewa Siwa, Agni, di tempat
pemujaan Dewa.
2)
Resi Yadnya :
menghormati pendeta dan membaca kitab suci
3)
Pitra Yadnya : upacara
kematian agar Roh mencapai Siva
4) Butha Yadnya :
mensejahterakan tumbuh-tumbuhan dan menyelengarakan upacara tawur dan panca
wali krama.
5)
Manusa yadnya : memberi
makanan pada masyarakat.
4.
KRISTALISASI
SEKTE-SEKTE DI BALI DALAM PANCA YADNYA
Sekte Siwa Siddhanta
merupakan salah satu sekte pemuja Siwa. Kata Sidhanta merupakan akronim dari
kata Sikara yang berarti Rudra, Dhakara yang berarti Iswara dan Anta yang berarti Siwa. Jadi, Siwa Sidhanta penunggalan dari
hakekat Rudra, Iswara dan Siwa. Disamping itu Sikara berarti Prthivi (bumi), Dhakara yang berarti angkasa dan Anta yang berarti sorga. Jadi, Siwa
Sidhanta berarti hakekat Siwa yang menguasai ketiga dunia. (Nurkancana,
1997:134). Siwa Siddhanta memiliki
cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, kalamuka, Bhairawa, Linggayat dan Siwa
Siddhanta. Kata Sidhanta berarti intinya dari ajaran Siwaisme. Siwa sidhanta
mengutamakan pemujaan kehadapan Tri Purusa, Yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa.
Penganut Hindu dari sekte Siwa Siddhanta meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu
bentuk pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada Pendeta Siwa adalah dengan
mengucapkan mantra yang disebut sebagai Mantra Catur Dasa Siwa, yakni empat
belas wujud Siwa. Mantra ini digunakan untuk mendapat pengaruh ke-Tuhan yang
kuat dan suci serta untuk mendapat kebahagian sekala-niskala. Kaitan Siwa
siddhanta dengan panca yadnya, yang menggunakan mantra Catur Desa Siwa, pada
saat hari raya Siwa ratri, dimana pada saat ini di anggap harinya Siwa.
Ajaran Siwa Siddhanta
di Bali terdiri dari tiga kerangka utama yaitu Tattwa, Susila dan Upacara
keagamaan. Tatwa atau filosofi yang mendasarinya adalah ajaran Siwa Tattwa. Di
dalan Siwa Tattwa, Sang Hyang Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam lontar Jnana
Siddhanta dinyatakan bahwa Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang bermanifestasi
beraneka menjadi Bhatara - Bhatari.
Sekte Pasupata
juga merupakan sekte pemujaan Siwa. Perbedaan dengan sekte Siwa sidhanta ialah
cara pemujaannya. Pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai
tempat turunnya Dewa Siwa, jadi penyembahan lingga sebagai lambang Siwa
merupakan ciri khas dari sekte pasupata. Perkembangan sekte pasupata di Bali
dengan pemujaan lingga. Perkembangannya sekte Pasupata di Bali adalah dengan
adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama di beberapa pura yang
tergolong kuno terdapat Lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan
konsepsi yang sempurna dan ada pula dibuat sangat sederhana sehingga merupakan
Lingga semu. Pemujaan Lingga sebagai lambang Dewa Siwa adalah merupakan
ciri-ciri khas aliran Pasupata. (Gunawan, 2012 : 48 dan Nurkancana, 1997 :
135).
Sekte Wainawa,
Di Bali dengan diberikan petunjuk dalam konsepsi agama Hindu di Bali tentang
pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberian rejeki, pemberi
kebahagian dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang
sebagai Dewanya padi yang merupakan keperluan
hidup yang utama. (Gunawan, 2012 : 49). Suhardana dalam bukunya Tri
Murti berpendapat, peleburan Waisnawa dengan Siwa Sidhanta dapat dilihat dari
patung Ardhanareswara dalam bentuk separuh wanita dan separuh pria yang
dinamakan Hari Hara. Hari yang artinya Wisnu yang memiliki wanita dan Hara
(Siwa) yang memiliki pria. Disamping itu, ada pula tokoh Sengguhu yang
merupakan golongan pendeta dari kelompok Waisnawa dan mempunyai peranan dalam
ritual menjelang Nyepi. (Suharndana, 2008 : 113). Di sisi lain, sebuah blog
yang domainnya bernama Pembelajaran Agama Hindu, menyatakan bahwa peleburan
unsur-unsur Sekte Waisnawa ke dalam paham Siwa Sidhanta secara garis besar
dapat dilihat dari 2 sisi yaitu : Sisi Upakara dan Sisi Upacara.
Sisi Upakara
Dalam upakara
dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada penggunaan :
1) Sesayut
Agung, bentuknya:memakai aled/alas sesayut,tumpeng agung yang dipuncaknya
memakai telur itik direbus 1,4 kewangen, 4 bunga yang berwarna hitam, pada saat
dihaturkan bertempatkan di utara. Bentuk sesayut ini menggambarkan ciri-ciri
dari Wisnu yang merupakan Dewa yang dipuja dalam sekte Waisnawa.
2) Sesayut
Ratu Agung, menggunakan tiga nasi tumpeng dengan puncaknya diisi satu buah
telur itik, Bunga cempaka yang ditempatkan pada empat penjuru mengelilingi
tumpeng, dua kewangen disandarkan pada tumpeng, dua tulung, sasangahan sarwa
galahan, sodan woh, berbagai jenis buah-buahan. Dipersembahkan pada Dewa Wisnu.
3) Canang
Genten, bentuknya : memakai alas yang berupa ceper atau yang berupa
reringgitan, disusun dengan plawa (daun), porosan yang berupa sedah berisi apuh
dan jambe diikat dengan tali porosan, disusun dengan tempat minyak, bunga dan
pandan arum yang bermakna penyatuan pikiran yang suci untuk sujud bhakti
kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Brahma Wisnu dan Iswara.
4) Gayah
Urip, mempergunakan seekor babi. Diatas
kepala babi tersebut ditancapkan sembilan jenis sate yang berbentuk senjata,
yang penempatannya sesuai dengan pengideran dewata nawa sanga. Salah satu dari
sate tersebut berbentuk cakra (senjata Dewa Wisnu) dengan puncaknya Amparu
ditancapkan disebelah utara (Untram).
5) Tirta,
hampir disetiap upacara menggunakan tirta yang terbuat dari yang telah
disucikan. Air merupakan lambang dari Dewa Wisnu.
6) Banten
Catur Rebah : pada banten ini salah satunya menggunakan biyu lurut 4 buah,
diletakan di utara sebagai simbol Dewa Wisnu.
7) Banten
Pula Gembal, terdapat beberapa bagian yang mewakili wisnu diantaranya adalah
terdapat jajan yang menggambarkan senjata dan salah satunya adalah senjata
cakra yang merupakan senjatanya Dewa Wisnu. Adanya unsur Waisnawa dipertegas
lagi dalam puja Pula Gembal, yaitu :
Om Ganapati ya namah swaha
Om Ang brahma saraswat Dewaya
Namah Swaha
Om Ung Wisnu Sri Dewyo namah
swaha
Om Mang Iswara Uma Dewya namah
swaha
Om Om Rudra Rudga Dewya namah
swaha
Om Sri Guru Byo namah swaha .
Sisi Upacara
Dalam upacara
dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada bentuk upacara seperti
dibawah ini :
1) Upacara
Mapag Yeh, dilakukan oleh para krama subak yeh yang ditujukan kepada Dewa
Wisnu.
2) Mabyukukung,
upacara ini menggunakan upakara berupa banten dapetan, penyeneng, jerimpen,
pangambyan, sodan, canang, raka putih kuning, toya anyar/air bersih baru di dalam sibuh yang berisi pucuk daun dapdap.
Yang dipuja adalah Hyang Sri Laksmi yang merupakan saktinya Dewa Wisnu.
3) Upacara
yang dilakukan pada saat menanam padi, dilaksanakan pada sasih kaulu, kesanga
dan kedasa. Dengan menggunakan segehan nasi kepalan (nasi yang di kepal)
berwarna hitam, ikan serba hitam, buah yang berwarna hitam, masawen (sawen =
penanda) dengan kayu yang berwarna hitam, yang disembah atau dipuja adalah
Hyang Guru Wisnu. (Sumber: http://belajaragamahindu.wordpress.com/2010/11/02/unsur-unsur-waisnawa-yang-terdapat-dalam-saiwa-siddhanta/diakses
Sabtu, 24 Maret 2012 Pukul 15.05 Wita).
Sekte Bodha dan Sogatha, Di
Bali dibuktikan dengan penemuan mantra Budha tipeyete mantra dalam Zeal meterai
tanah liat yang teResimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui
di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. W. F. Stutterheim mantra
Bhuda aliran Maha Yana diperkirakan sudah ada dibali sejak abad ke-8 masehi.
Terbukti dengan adanya arca boddhisatwa di pura Generuan, Bedulu, acra
Boddhisatwa Padmapani di pura Galang Sanja, pejeng, acra Boddha di Goa Gajah,
dan di tempat lain.
Sekte Brahmana, adalah kepercayaan Umat Hindu dengan Dewa Api (Dewa
Agni)yang diidentikkan dengan Dewa Brahma, karena perkembangan pemahaman
theologi tentang Dewa, Dewa Agni yang pada zaman weda beralih menjadi Dewa
Brahma pada zaman upanishad, sama halnya dengan Dewa Waruna menjadi Dewa Wisnu
dan beberapa resuffle Dewa yang
lainya. Menurut Dr. Goris, Sekte Brahmana seluruhnya telah luluh dengan Siwa
Sidhanta. Di India Sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak
dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, parwa digama, kutara, Manawa
Dharmasastra yang merupakan produk dari Sekte Brahmana. (Sumber : http://thoriqs.blogspot.com/2011/03/sekte.html
diakses Sabtu, 24 Maret 2012 Pukul 14.00 Wita).
Penganut Sekte Brahmana
banyak mempersembahkan wujud bhaktinya melalui upacara Dewa Yadnya :
mempersembahkan minyak dan biji-bijian kepada Dewa Siwa, Agni (rumusan panca
yadnya dalam Lontar Agastya Yadnya).
Salah satu upacara yang paling populer dari sekte ini adalah Agni Hotra (Homa Yadnya).Warisan luhur
dari Sekte Brahmana berkaitan dengan Panca Yadnya secara riil yang dapat kita
lihat sampai sekarang adalah penggunanan api ketika melalukan ritual agama.
Penggunaan api dalam ritual agama Hindu bisa berupa dupa, api takep dan dipa.
Sekte Resi.
Di pulau Jawa zaman dahulu merupakan kelompok pertapa yang tinggal di hutan.
Mereka adalah kelompok yang arif dan suci. Di Bali tidak diketahui adanya
tempat-tempat pertapaan sebagaimana di
Jawa, sehingga keberadaan Resi itupun tidak jelas adanya. Tetapi pada
kenyataanya menunjukkan adanya Resi sebagai pedanda atau mereka yang bertindak
sebagai pendeta yang bukan berasal dari wangsa Brahmana, tetapi pedanda Resi
ini hanya boleh memberikan air suci kepada kelompok keluarga saja.(Suhardana,
2008 : 114).
Sekte Sora, Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa
Utama. Sistem pemujaan Dewa matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada
waktu matahari terbit dan tenggelam yang merupakan ciri khas dari sekte Sora
ini. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini terdapat pula di Bali.
Sertiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya
sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajna. Bukti
sekte ini berkembang di Bali dengan adanya mantra dalam kramaning sembah, yang
berbunyi
Om Aditiya Syaparam Jyoti,
Rakta teja namo’stute,
Sweta pankaja madhyastha,
Bhaskaraya namo stute.
Terjemahan :
Om sinar suryayang maha
hebat, engkau beresinar merah, hormat padamu, engkau yang berada di tengah
teratai putih, hormat pada Mu pembuat sinar.
Sekte
Ganapatya atau Ganapati adalah kelompok pemuja
Dewa Ganesa sebagai Dewa tertnggi. Adanya sekte ini di Bali terbukti dengan
banyaknya ditemukan arca Ganesa baik berwujud besar maupun kecil. Ada bahan
batu padasatai dari logam yang biasanya teResimpan di beberapa Pura. Fungsi
arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu
pada dasarnya ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya. Seperti
misalnya lereng gunung, lembah, laut, pada penyebranga sungai, dan sebagainya (Nurkancana,
1997 : 135). Setelah jaman gelgel, banyak patung ganesa dipindahkan dari
tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya patung
Ganesa itu tak dapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan
patunng Dewa lainnya.
Umat Hindu dari segala
sekte memulai persembahyangan maupun upacara keagamaan dengan terlebih dahulu
memanggil Ganesa. Ganapatya ini merupakan salah satu dari lima sekte Hindu yang
utama, sejalan dengan aliran Saiwisme, Saktisme, Waisnawisme, dan Smartisme
yang mengikuti filsafat Adwaita. Meski sekte Ganapatya tidak sebesar empat
sekte yang pertama, namun sekte itu telah memberikan pengaruh. Ganapati juga
dipuja sebagai sebuah bagian dari aliran Saiwisme sejak abad ke-5.
Menurut beberapa sumber
mengatakan bahwa konsepsi pelinggih jero gede mengadopsi konsep Dewa Ganesha.
Di Bali aliran Ganapati ini mempengaruhi dalam yadnya, misalnya dalam yadnya Resi Gana. Rsi Gana itu bukanlah caru,
melainkan suatu bentuk pemujaan kepada Gana Pati/Ganesha (Penguasa/Pemimpin para
Gana) sebagai Vignesvara (raja atas halangan). Upacara ini diselenggarakan
dengan tujuan supaya manusia terhindar dari berbagai halangan. Namun dalam
penyelenggaraan upacara Rsi Gana memang tidak pernah terlepas dari penggunaan
caru sebagai landasan upacaranya, sehingga seolah-olah Rsi Gana itu sama dengan
caru (kebanyakan orang menyebut dengan istilah Caru Rsi Gana). Upacara Rsi Gana
bisa diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru yang mengikuti upacara Rsi
Gana ini tergantung tingkatan Rsi Gana bersangkutan. Rsi Gana Alit diikuti
dengan caru ekasata yang lazim dikenal dengan sebutan ayam abrumbunan (seekor
ayam dengan bulu lima jenis warna). Rsi Gana Madya diikuti dengan caru
pancasata (lima ekor ayam dengan bulu berbeda). Rsi Gana Agung diikuti dengan
caru pancakelud ditambah seekor bebek putih, menggunakan seekor kambing sebagai
dasar kurban caru. (Sumber: http://cakepane.blogspot.com/2010/06/apakah-caru-segehan-dan-tawur.html,
diakses Sabtu, 24 Maret 2012 Pukul 14.30 Wita).
Sekte
Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga
sebagai Dewa yang utama. Pemujaan terhadap mdewi durga di Pura Dalem yang ada
di tiap desa pakraman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu juga
pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh sekte Bhairawa.
Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan
kekuatan migic, yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sad Cakra (enam
cakra), yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang
hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini. (Gunawan, 2012 : 49
dan Nurkancana, 1997 : 136). Bhairawa adalah merupakan perkembangan lebih
lanjut dari mazhab Tantrayana yang termasuk kedalam sekte Sakta atau Saktiisme,
dari mazhab Siva (sivapaksa). Disebut saktiiame, karena yang dijadikan obyek
penyembahannya adalah Sakti.
Masih menurut R.
Goris, ada bentuk tertinggi dari kemoksaan atau kelepasan menurut sekte
Bhairava dengan praktek yang disebut Panca Tattwa atau lazim disebut dengan
istilah Panca-Ma(kara), yaitu Madya (alkohol), Mangsa/Mamsa(daging), Matsya(
ikan), Mudra (sikap tangan), dan Maithuna (persetubuhan) yang pada penggunaan
ritual menyebabkan ekstase yang tertinggi. Namun kini praktek keseluruhan
ajaran ini tidak ditemukan lagi di Indonesia. Walaupun tidak semua Panca tattwa
ini terlaksana, ada bagian-bagian lain msih tetap menggunakannya, misalnya
daging dan darah sebagai persembahan Bhuta yadnya, masih relepan ditemukan di
bali, terutama saat mecaru. Mecaru merupakan persembahan kepada sang bhuta kala
agar dapat menyeimbangkan semua mahluk yang tercita di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar