Rabu, 22 Januari 2014

KRISTALISASI SEKTE-SEKTE DI BALI MENJADI SEKTE SIVA SIDDHANTA DALAM BENTUK PANCA YADNYA.


KRISTALISASI SEKTE-SEKTE  DI BALI MENJADI SEKTE SIVA SIDDHANTA DALAM BENTUK PANCA YADNYA.

1.             SEKTE-SEKTE DI BALI
Menurut penelitian yang dilakukan oleh R.Goris, Sekte-sekte yang ada di Bali berasal dari India. Pada awalnya penduduk Bali menyembah Surya. Agama Hindu berkembang menjadi banyak sekte yang berasal dari negeri asalnya di Jmbhu dwipa  dan berkembang hingga ke  Balin dwipa. Banyaknya sekte-sekte di Bali ini disebabkan karena Weda tidak diwahyukan kepada seorang Maha Resi saja, dan juga tidak diwahyukan dalam kurun waktu yang sama dan diwahyukan pula di tempat yang berbeda. Ada tujuh Maha Resi yang menerima wahyu Weda, yaitu: Maha-Resi Grtsamada, Maha-Resi Wiswamitra, Maha-Resi Wama Dewa, Maha-Resi Atri, Maha-Resi Bharadwaja, Maha-Resi Wasistha dan Maha-Resi Kanwa. Weda diwahyukan sekitar 1.150 sampai 1.000 tahun Sebelum Masehi, di tujuh lembah sungai-sungai suci di India, yaitu: Gangga, Sindhu, Saraswaty, Yamuna, Godawari, Narmada, dan Sarayu. Ketujuh Maha-Resi itu menafsirkan wahyu-wahyu yang diterima, kemudian mendirikan perguruan-perguruan serta mempunyai murid atau pengikut masing-masing. Inilah bentuk awal dari adanya sekte-sekte Agama Hindu.
Selain penelitian oleh R.Goris, Sejarah sudah mencatat pada abad ke-9, terjadi sebuah memontum penting dalam perkembangan agama Hindu. Pada saat itu yang memegang tapuk kepemimpinan di wilayah Bali adalah raja Sri Dharma Udayana WarmaDewa dengan permaisuri Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni. Agama berkembang begitu pesat, ini dibuktikan dengan adanya banyak sekte pada zaman itu. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai namun lama kelamaan dalam perkembangannya sering terjadinya persaingan-persaingan. Bahkan tidak jarang terjadi konfik secara fisik. (Nurkancana, 1997 : 139). Persaingan sekteis ini menyebabkan ketenteraman Bali menjadi tergangu. Kemudian, raja Sri Dharma Udayana WarmaDewa dan ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni mengambil langkah  politis atas keresahan yang terjadi. Maka, diutuslah Mpu Kuturan selaku penasehat istana untuk mencoba mencarikan solusi dari permasahan ini. Atas dasar tugas, Mpu Kuturan kemudian mengundang semua pucuk pimpinan sekte dalam suatu pertemuan (pasamuan) yang diadakan di Batu Anyar (sekarang wilayah Kab. Gianyar).  Pertemuan ini akhirnya mencapai kata sepakat dengan keputusan sebagai berikut :
1)             Paham Tri Murti dijadikan dasar di Bali, yang berarti di dalamnya telah mencakup seluruh paham sekte yang berkembang di Bali saat itu.
2)              Dalam setiap Desa Pakraman (Desa Adat) supaya dibangun Kahyangan Tiga, yaitu : Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem.
3)              Dalam setiap rumah tangga supaya didirikan Rong Tiga sebagai tempat memuja Tri Murti. Brahma di ruang kanan, Wisnu di ruang kiri dan di tengah adalah Siwa sebagai Maha Guru atau Bhatara Guru. Rong Tiga itu selain sebagai tempat memuja Tri Murti, juga difungsikan untuk memuja ruh leluhur. Ruang kanan untuk memuja leluhur laki-laki (purusa), ruang kiri untuk memuja leluhur wanita (pradana) sedangkan ruang di tengah-tengah untuk memuja leluhur yang sudah menyatu dengan Bhatara Guru. (Subandi dalam Nurkancana, 1997 : 139).
Dengan adanya relasi antara manusia dengan Tuhan. Maka relasi ini diwujudkan dalam bentuk bakti sebagai wujud Prawrti Marga. Tuhan dipuja sebagai saksi agung akan semua perbuatan Di Bali, bakti kepada Tuhan direalisasikan dalam berbagai bentuk. Untuk orang kebanyakan, bhakti diwujudkan dengan sembhyang yang diiringi deangan upakara. Upakara adalah pelayanan dengan ramah diwujudkan dengan banten. Upakara termasuk yajna atau persembahan suci. Baik sembahyang maupun persembahan Yajna memerlukan tempat pemujaan. Pemangku, Balian Sonteng dan sulinggih mengantarkan persembahan umat kepada Tuhan dengan mantra dan puja. Demikian juga misalnya saat Bhatara Siwa sebagia Dewata Nawa Sanga diwujudkan dalam banten caru, belia disimbulkan pada baten Bagian Pula Kerti, beliau dipuja pada kidung aji Kembang. Bhatara Siwa sebagai Panca Dewata dipuja dalam berbagai Puja, mantra dan saa, ditulis dalam aksara rerajahan dan disimbulkan pada alat upacara serta aspek kehidupan beragama lain.
Tempat-tempat pemujaan menunjukkan tempat memuja Bhtara Siwa dalam manifestasi beliau. Beliau dipija sebagai Siwa Raditya di padmasana, di puja sebagi Tri Murti di sanggah, paebon, Kayangan Desa dan kayangan jagat. Pemujaan Tuhan pada berbagai tempat sebagai Ista Dewata sesuai ajaran Tuhan ada Diman-mana. Demikianlah orang Bali menyembah Tuhan diberbagai tempat, dipura Dalem, pura Desa, pura Puseh, Bale agung, dan lain. Disamping itu diberbagai tempat Tuhan di pujasebagai Dewa yang Ngiyangin atau yang memberkati daerah berbagai aspek kehidupan, seperti Dewa Pasar, Peternakan, kesehatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Dengan demikian hampir tidak ada aspek kehidupan orang Bali yang lepas dari Sagama Hindu. Dalam pemujaan ini Tuhan dipuja sebagai Ista Dewata, Dewa yang dimohon kehadirannya pada pemujaannya, sehingga yang dipuja bukanlah Tuhan yang absolut sebagai Brahman dalam Upanisad atau Bhatara Siwa sebagai parama Siwa, namun Tuhan yang beResifat pribadi yang menjadi junjungan yang disembahkan oleh penyebabnya. Ista Dewata ini dipandang sebagai tamu yang dimohon kehadirannya oleh hambanya pada waktu dipuja untuk  menyaksikan sembah bakti umatnya.
Oleh karena itu Tuhan dipuja sebagai “Hyang”dari aspek-aspek kehidupan yang rasa kehadiran-Nya sangat dihayati oleh hambanya sama seperti  pengahayatan umat terhadap aspek kehidupan tersebut. Dalam pemujaan terdapat persembahan banten, pakaian, hiasan yang semuanya dipersembahkan dengan begitu serasi dengan penghayatan, perasaan dan cita rasa dari penyembah-Nya sehingga penghayatan menyusutp kedalam lubuk hati yang terdalam. Disini akan muncul variasi dari pelaksanaan hidup beragama di Bali.  Namun prinsip ajaran Agama Hindu  adalah sama, yaitu Tuhan ada diman-manasama dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menampakkan diri dalam berbagai wujud dan pandangan penyembahannya, yang abstrak dihayati melalui bentuk. Menurut Dr. Goris, sekte-sekte setelah abad ke IX yakni: Siwa Siddhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha (Goris, 1974:10-12). Yang berpengaruh besar di Bali adalah sekte Siwa Siddhanta, termuat dalam lontar Bhuanakosa.
 
2. PANCA YADNYA
Melakukan upacara yadnya adalah merupakan langkah yang di yakini sebagai kegiatan beragama Hindu yang amat penting. Karena yadnya adalah salanh satu penyangga bumi. Demikian disebutkan dalam kitab Atharwa Weda. Pemeliharaan kehidupan di dunia ini dapat berlangsung terus sepanjang yadnya terus-menerus dapat dilakukan oleh umat manusia. Demikian pila yadnya adalah pusat tercitanya alam semesta atau Bhuana Agung sebagai di uraikan dalam kitab Yajur Weda. Disamping sebagai pusat terciptanya alam semesta, yadnya juga merupakan sumber berlangsungnya perputaran kehidupan yang dalam kitab Bhagawadgita di subut cakra yadnya. Jika cakra yadnya ini tidak berputar maka kehidupan ini akan mengalami kehancuran. Upacara agama adalah salah satu bagian dari pelaksanaan yadnya sebagai dasar pengembalian Tri Rna. Weda mengajarkan Tuhan menciptakan alam semesta ini berdasarkan yadnya, karena itu manusia yang bermoral akan merasa berhutang kepada Tuhan. Untuk menyampaikan rasa berhutang itu umat Himdu melakukan panca yadnya
 Di antaranya Dewa yadnya, Bhuta yadnya, pitra yadnya, Manusa yadnya, Resi yadnya.

3.             TUJUAN  MELAKUKAN YADNYA
Semua perbuatan tentu memiliki tujuan, tanpa tujuan, semua perbuatan ibarat perahu tanpa kendali sehingga berombang-ambing tidak menentu. Begitu pula beryadnya tentu kita memiliki tujuan yang pasti, yakni dalam rangka menuju hidup bahagia dan kelepasan. Bahwa Pikiran (manas) baru dapat ditunjukkan kepada kelepasan setelah tiga hutang kita terbayar. (Manawa Dharma Sastra VI , 35) . tiga hutang yang dalam bahasa-bahasa sanskerta di sebut TRI RNA, itu adalah hutang moral kepada Tuhan (Dewa Rna), hutang kepada orang tua atau leluhur (Pitra Rna), dan hutang kepada para Resi (Resi Rna). Dewa Rna yaitu kesadaran berhutang kepada Tuhan atas yadnya kepada manusia dan alam semsta ini. Pitra Rna yaitu kesadaran berhutang kepada orang tua ( Ibu-Bapak) dan leluhur atas jasanya yang telah beryadnya menurunkan, memelihara dan mendidik kita dari sejak kandungan sampai kita bisa mandiri. Adapun Resi Rna adalah kesadaran berhutang kepada para Resi atau orang-orang suci yang beryadnya menyebar luaskan ilmu pengetahuan yakni pengetahuan suci Veda yang diolah, disusun sedemikian rupa menjadi kitab-kitab sastra agama, sehingga umat lebih mudah memahaminya.
Dengan demikian, hanya orang yang bermorallah yang sadar atau merasa  memiliki hutang itu. Orang yang tak merasa punya hutang dan tidak mau memenihi kewajiban membayar, tentu akan tenggelam dalam lembah kesengsaraan. Karena Truhan telah melakukan yadnya, maka kita harus membayar hutang tersebut. Dalam sabdanya: Pada zaman dahulu kala rajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda; dengan ini engkau akan berkembang biak akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu. Ayah dan ibu melahirkan anaknya juga atas dasar yadnya. (Bhagavadgita III 10, Rna).
Pitra Rna dibayar dengan pitra yadnya dan manusa yadnya. Resi rna dibayar dengan Resi yadnya. Jadi menurut pengertian ini, panca yadnya dilakukan dengan tujuan untuk membayar hutang atau Rna. Setelah hutang itu dibayar dengan yadnya, terutama saat masih grahasta ( masa berumahtangga), barulah pikiran diarahkan untuk mendapatkan kebebasan abadi atau kelepasan. Bagi umat Hindu di Indonesia terutama di Bali, pembayaran hutang moral itu umumnya di lakukan dalam bentuk upacara yadnya yang mencakup panca yadnya.
Panca yadnya wajib dilakukan oleh setiap orang sebagai kepala keluarga untuk menembus dosa-dosanya yang ditimbulkan oleh pemakai lima alat penyemblihan. (Manawa Dharma Sastra III 69.71). liama alat penyemblihan itu yaitu: dapur, tempat air, lumpang, talenan, dan tempat menumbuk bumbu masak. Ada lima unsur penyucian yang dikandung dalam upacara agama:
1)      Mantra yaitu doa-doa yang harus diucapkan oleh umat kebanyakan, pinandita, dan pendeta sesuai dengan tingkatannya.
2)    Yantra yaitu alat atau simbol-simbol keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk meningkatkan kesucian.
3)       Tantra yaitu kekuatan suci dalam diri yang dibangkitkan dengan cara-cara yang ditetapkan dalam kitab suci.
4)   Yadnya yaitu pengabdian yang tulus iklas atas dasar kesadaran untuk dipersembahkan. Ketulusikhasan ini akan dapat meningkatkan kesucian.
5)    Yoga artinya mengendalikan gelombang-gelombang pikiran dalam alam pikiran untuk dapat berhubungan dengan Tuhan. 
Pengendalian dalam yoga ada delapan tahapan yang disebut : asta yoga, yang meliputu: yama, nyama, asana, pranayama, darana, dhiyana, dan samadhi. 
Dalam manawa Dharma sastra sloka 81 menyebutkan bahwa rumusan panca yadnya antara lain :
1)       Swadyaya Yadnya, : mengabdi kepada guru suci, sembahyang kepada Resi dengan mengucapkan Veda.
2)             Dewa Yadnya  : menghaturkan persembahan buah-buahan yang telah masak
3)             Pitra Yadnya  : menghaturkan persembahan upacara sradha kepada leluhur
4)             Nara Yadnya : memberikan makanan kepada masyarakat.
5)             Butha Yadnya : menghaturkan upacara bali karma kepada butha
Dalam sloka 74 Manawa Dhrama Sastra, panca yadnya diuraikan dengan istilah yang amat berbeda yaitu sebagai berikut :
1)             Ahuta : mengucapkan doa-doa suci veda
2)             Huta   : persembahan dengan api homa
3)             Prahuta : upacara bali yang ditujukan kepada butha
4)             Brahmahuta : menghormati para brahmana
5)             Prasita : persembahan kepada para pitara
Di dalam Gautama Dharma Sastra, panca yadnya dirumuskan hanya tiga yadnya dan amat berbeda dengan yang termuat dalam kitab-kitab lain. Tiga yadnya itu yakni :
1)             Dewa Yadnya : persembahan kepada hyang Agni dan Dewa Samodaya
2)            Butha Yadnya : persembahan kepada loka pala (Dewa Pelindung) dan para Dewa penjaga pintu pekarangan (penungun karang).
3)            Brahma Yadnya : pembacaan ayat-ayat suci Veda.
Sumber-sumber di Indinesia yang lebih sesuai dengan kenyatan-kenyataan yang dilaksanakan oleh umat Hindu Di Indonesia. Sumber-sumber di Indonesia itu adalah Lontar Korawa Srama, Lontar Singalanghyala dan Lontar Agastya Parwa.  Dalam Korawa Srama Panca yadnya disebutkan sebagai berikut :
1)    Dewa yadnya : sembah dengan sesajen dan mengucapkan sruti dan stawa pada waktu bulan purnama.
2)      Resi Yadnya : mempersembahkan punia, buah-buahan, makanan dan barang-barang yang tidak mudah rusak kepada para Resi.
3)         Butha Yadnya : mempersembahkan puja dan caru
4)         Manusa Yadnya : memberi makanan kepada masyarakat
5)         Pitra Yadnya ; mempersembahkan puja dan Bali atau bebanten
Adapun rumusan panca yadnya dalam Lontar Agastya Yadnya antara lain :
1)       Dewa Yadnya : mempersembahkan minya dan biji-bijian kepada Dewa Siwa, Agni, di tempat pemujaan Dewa.
2)             Resi Yadnya : menghormati pendeta dan membaca kitab suci
3)             Pitra Yadnya : upacara kematian agar Roh mencapai Siva
4)        Butha Yadnya : mensejahterakan tumbuh-tumbuhan dan menyelengarakan upacara tawur dan panca wali krama.
5)             Manusa yadnya : memberi makanan pada masyarakat.
4.             KRISTALISASI SEKTE-SEKTE DI BALI DALAM PANCA YADNYA

Sekte Siwa Siddhanta merupakan salah satu sekte pemuja Siwa. Kata Sidhanta merupakan akronim dari kata Sikara  yang berarti Rudra, Dhakara yang berarti Iswara dan Anta yang berarti Siwa. Jadi, Siwa Sidhanta penunggalan dari hakekat Rudra, Iswara dan Siwa. Disamping itu Sikara berarti Prthivi (bumi), Dhakara yang berarti angkasa dan Anta yang berarti sorga. Jadi, Siwa Sidhanta berarti hakekat Siwa yang menguasai ketiga dunia. (Nurkancana, 1997:134). Siwa Siddhanta  memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, kalamuka, Bhairawa, Linggayat dan Siwa Siddhanta. Kata Sidhanta berarti intinya dari ajaran Siwaisme. Siwa sidhanta mengutamakan pemujaan kehadapan Tri Purusa, Yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Penganut Hindu dari sekte Siwa Siddhanta meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu bentuk pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada Pendeta Siwa adalah dengan mengucapkan mantra yang disebut sebagai Mantra Catur Dasa Siwa, yakni empat belas wujud Siwa. Mantra ini digunakan untuk mendapat pengaruh ke-Tuhan yang kuat dan suci serta untuk mendapat kebahagian sekala-niskala. Kaitan Siwa siddhanta dengan panca yadnya, yang menggunakan mantra Catur Desa Siwa, pada saat hari raya Siwa ratri, dimana pada saat ini di anggap harinya Siwa.
Ajaran Siwa Siddhanta di Bali terdiri dari tiga kerangka utama yaitu Tattwa, Susila dan Upacara keagamaan. Tatwa atau filosofi yang mendasarinya adalah ajaran Siwa Tattwa. Di dalan Siwa Tattwa, Sang Hyang Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam lontar Jnana Siddhanta dinyatakan bahwa Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang bermanifestasi beraneka menjadi Bhatara - Bhatari.
Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemujaan Siwa. Perbedaan dengan sekte Siwa sidhanta ialah cara pemujaannya. Pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai tempat turunnya Dewa Siwa, jadi penyembahan lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas dari sekte pasupata. Perkembangan sekte pasupata di Bali dengan pemujaan lingga. Perkembangannya sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama di beberapa pura yang tergolong kuno terdapat Lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula dibuat sangat sederhana sehingga merupakan Lingga semu. Pemujaan Lingga sebagai lambang Dewa Siwa adalah merupakan ciri-ciri khas aliran Pasupata. (Gunawan, 2012 : 48 dan Nurkancana, 1997 : 135).
Sekte Wainawa, Di Bali dengan diberikan petunjuk dalam konsepsi agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberian rejeki, pemberi kebahagian dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai Dewanya padi yang merupakan keperluan  hidup yang utama. (Gunawan, 2012 : 49). Suhardana dalam bukunya Tri Murti berpendapat, peleburan Waisnawa dengan Siwa Sidhanta dapat dilihat dari patung Ardhanareswara dalam bentuk separuh wanita dan separuh pria yang dinamakan Hari Hara. Hari yang artinya Wisnu yang memiliki wanita dan Hara (Siwa) yang memiliki pria. Disamping itu, ada pula tokoh Sengguhu yang merupakan golongan pendeta dari kelompok Waisnawa dan mempunyai peranan dalam ritual menjelang Nyepi. (Suharndana, 2008 : 113). Di sisi lain, sebuah blog yang domainnya bernama Pembelajaran Agama Hindu, menyatakan bahwa peleburan unsur-unsur Sekte Waisnawa ke dalam paham Siwa Sidhanta secara garis besar dapat dilihat dari 2 sisi yaitu : Sisi Upakara dan Sisi Upacara.
Sisi Upakara
Dalam upakara dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada penggunaan :
1)  Sesayut Agung, bentuknya:memakai aled/alas sesayut,tumpeng agung yang dipuncaknya memakai telur itik direbus 1,4 kewangen, 4 bunga yang berwarna hitam, pada saat dihaturkan bertempatkan di utara. Bentuk sesayut ini menggambarkan ciri-ciri dari Wisnu yang merupakan Dewa yang dipuja dalam sekte Waisnawa.
2)      Sesayut Ratu Agung, menggunakan tiga nasi tumpeng dengan puncaknya diisi satu buah telur itik, Bunga cempaka yang ditempatkan pada empat penjuru mengelilingi tumpeng, dua kewangen disandarkan pada tumpeng, dua tulung, sasangahan sarwa galahan, sodan woh, berbagai jenis buah-buahan. Dipersembahkan pada Dewa Wisnu.
3)    Canang Genten, bentuknya : memakai alas yang berupa ceper atau yang berupa reringgitan, disusun dengan plawa (daun), porosan yang berupa sedah berisi apuh dan jambe diikat dengan tali porosan, disusun dengan tempat minyak, bunga dan pandan arum yang bermakna penyatuan pikiran yang suci untuk sujud bhakti kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Brahma Wisnu dan Iswara.
4)    Gayah Urip,  mempergunakan seekor babi. Diatas kepala babi tersebut ditancapkan sembilan jenis sate yang berbentuk senjata, yang penempatannya sesuai dengan pengideran dewata nawa sanga. Salah satu dari sate tersebut berbentuk cakra (senjata Dewa Wisnu) dengan puncaknya Amparu ditancapkan disebelah utara (Untram).
5)    Tirta, hampir disetiap upacara menggunakan tirta yang terbuat dari yang telah disucikan. Air merupakan lambang dari Dewa Wisnu.
6)      Banten Catur Rebah : pada banten ini salah satunya menggunakan biyu lurut 4 buah, diletakan di utara sebagai simbol Dewa Wisnu.
7)    Banten Pula Gembal, terdapat beberapa bagian yang mewakili wisnu diantaranya adalah terdapat jajan yang menggambarkan senjata dan salah satunya adalah senjata cakra yang merupakan senjatanya Dewa Wisnu. Adanya unsur Waisnawa dipertegas lagi dalam puja Pula Gembal, yaitu :

Om Ganapati ya namah swaha
Om Ang brahma saraswat Dewaya Namah Swaha
Om Ung Wisnu Sri Dewyo namah swaha
Om Mang Iswara Uma Dewya namah swaha
Om Om Rudra Rudga Dewya namah swaha
Om Sri Guru Byo namah swaha .

 Sisi Upacara
Dalam upacara dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada bentuk upacara seperti dibawah ini :
1)     Upacara Mapag Yeh, dilakukan oleh para krama subak yeh yang ditujukan kepada Dewa Wisnu.
2)      Mabyukukung, upacara ini menggunakan upakara berupa banten dapetan, penyeneng, jerimpen, pangambyan, sodan, canang, raka putih kuning, toya anyar/air bersih baru  di dalam sibuh yang berisi pucuk daun dapdap. Yang dipuja adalah Hyang Sri Laksmi yang merupakan saktinya Dewa Wisnu.
3)      Upacara yang dilakukan pada saat menanam padi, dilaksanakan pada sasih kaulu, kesanga dan kedasa. Dengan menggunakan segehan nasi kepalan (nasi yang di kepal) berwarna hitam, ikan serba hitam, buah yang berwarna hitam, masawen (sawen = penanda) dengan kayu yang berwarna hitam, yang disembah atau dipuja adalah Hyang Guru Wisnu. (Sumber: http://belajaragamahindu.wordpress.com/2010/11/02/unsur-unsur-waisnawa-yang-terdapat-dalam-saiwa-siddhanta/diakses Sabtu, 24 Maret 2012 Pukul 15.05 Wita).
Sekte Bodha dan Sogatha, Di Bali dibuktikan dengan penemuan mantra Budha tipeyete mantra dalam Zeal meterai tanah liat yang teResimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. W. F. Stutterheim mantra Bhuda aliran Maha Yana diperkirakan sudah ada dibali sejak abad ke-8 masehi. Terbukti dengan adanya arca boddhisatwa di pura Generuan, Bedulu, acra Boddhisatwa Padmapani di pura Galang Sanja, pejeng, acra Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain.
Sekte Brahmana, adalah  kepercayaan Umat Hindu dengan Dewa Api (Dewa Agni)yang diidentikkan dengan Dewa Brahma, karena perkembangan pemahaman theologi tentang Dewa, Dewa Agni yang pada zaman weda beralih menjadi Dewa Brahma pada zaman upanishad, sama halnya dengan Dewa Waruna menjadi Dewa Wisnu dan beberapa resuffle Dewa yang lainya. Menurut Dr. Goris, Sekte Brahmana seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India Sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, parwa digama, kutara, Manawa Dharmasastra yang merupakan produk dari Sekte Brahmana. (Sumber : http://thoriqs.blogspot.com/2011/03/sekte.html diakses Sabtu, 24 Maret 2012 Pukul 14.00 Wita).
Penganut Sekte Brahmana banyak mempersembahkan wujud bhaktinya melalui upacara Dewa Yadnya : mempersembahkan minyak dan biji-bijian kepada Dewa Siwa, Agni (rumusan panca yadnya dalam Lontar Agastya Yadnya).  Salah satu upacara yang paling populer dari sekte ini adalah Agni Hotra (Homa Yadnya).Warisan luhur dari Sekte Brahmana berkaitan dengan Panca Yadnya secara riil yang dapat kita lihat sampai sekarang adalah penggunanan api ketika melalukan ritual agama. Penggunaan api dalam ritual agama Hindu bisa berupa dupa, api takep dan dipa.
 Sekte Resi. Di pulau Jawa zaman dahulu merupakan kelompok pertapa yang tinggal di hutan. Mereka adalah kelompok yang arif dan suci. Di Bali tidak diketahui adanya tempat-tempat pertapaan  sebagaimana di Jawa, sehingga keberadaan Resi itupun tidak jelas adanya. Tetapi pada kenyataanya menunjukkan adanya Resi sebagai pedanda atau mereka yang bertindak sebagai pendeta yang bukan berasal dari wangsa Brahmana, tetapi pedanda Resi ini hanya boleh memberikan air suci kepada kelompok keluarga saja.(Suhardana, 2008 : 114).
Sekte Sora, Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama. Sistem pemujaan Dewa matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan tenggelam yang merupakan ciri khas dari sekte Sora ini. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini terdapat pula di Bali. Sertiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajna. Bukti sekte ini berkembang di Bali dengan adanya mantra dalam kramaning sembah, yang berbunyi
Om Aditiya Syaparam Jyoti,
Rakta teja namo’stute,
Sweta pankaja madhyastha,
Bhaskaraya namo stute.

Terjemahan :
Om sinar suryayang maha hebat, engkau beresinar merah, hormat padamu, engkau yang berada di tengah teratai putih, hormat pada Mu pembuat sinar.

Sekte Ganapatya atau Ganapati adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa sebagai Dewa tertnggi. Adanya sekte ini di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik berwujud besar maupun kecil. Ada bahan batu padasatai dari logam yang biasanya teResimpan di beberapa Pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya. Seperti misalnya lereng gunung, lembah, laut, pada penyebranga sungai, dan sebagainya (Nurkancana, 1997 : 135). Setelah jaman gelgel, banyak patung ganesa dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya patung Ganesa itu tak dapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patunng Dewa lainnya.
Umat Hindu dari segala sekte memulai persembahyangan maupun upacara keagamaan dengan terlebih dahulu memanggil Ganesa. Ganapatya ini merupakan salah satu dari lima sekte Hindu yang utama, sejalan dengan aliran Saiwisme, Saktisme, Waisnawisme, dan Smartisme yang mengikuti filsafat Adwaita. Meski sekte Ganapatya tidak sebesar empat sekte yang pertama, namun sekte itu telah memberikan pengaruh. Ganapati juga dipuja sebagai sebuah bagian dari aliran Saiwisme sejak abad ke-5.
Menurut beberapa sumber mengatakan bahwa konsepsi pelinggih jero gede mengadopsi konsep Dewa Ganesha. Di Bali aliran Ganapati ini mempengaruhi dalam yadnya, misalnya dalam  yadnya Resi Gana. Rsi Gana itu bukanlah caru, melainkan suatu bentuk pemujaan kepada Gana Pati/Ganesha (Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai Vignesvara (raja atas halangan). Upacara ini diselenggarakan dengan tujuan supaya manusia terhindar dari berbagai halangan. Namun dalam penyelenggaraan upacara Rsi Gana memang tidak pernah terlepas dari penggunaan caru sebagai landasan upacaranya, sehingga seolah-olah Rsi Gana itu sama dengan caru (kebanyakan orang menyebut dengan istilah Caru Rsi Gana). Upacara Rsi Gana bisa diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru yang mengikuti upacara Rsi Gana ini tergantung tingkatan Rsi Gana bersangkutan. Rsi Gana Alit diikuti dengan caru ekasata yang lazim dikenal dengan sebutan ayam abrumbunan (seekor ayam dengan bulu lima jenis warna). Rsi Gana Madya diikuti dengan caru pancasata (lima ekor ayam dengan bulu berbeda). Rsi Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud ditambah seekor bebek putih, menggunakan seekor kambing sebagai dasar kurban caru. (Sumber: http://cakepane.blogspot.com/2010/06/apakah-caru-segehan-dan-tawur.html, diakses Sabtu, 24 Maret 2012 Pukul 14.30 Wita).
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa yang utama. Pemujaan terhadap mdewi durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakraman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu juga pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan migic, yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sad Cakra (enam cakra), yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini. (Gunawan, 2012 : 49 dan Nurkancana, 1997 : 136). Bhairawa adalah merupakan perkembangan lebih lanjut dari mazhab Tantrayana yang termasuk kedalam sekte Sakta atau Saktiisme, dari mazhab Siva (sivapaksa). Disebut saktiiame, karena yang dijadikan obyek penyembahannya adalah Sakti.
Masih menurut R. Goris, ada bentuk tertinggi dari kemoksaan atau kelepasan menurut sekte Bhairava dengan praktek yang disebut Panca Tattwa atau lazim disebut dengan istilah Panca-Ma(kara), yaitu Madya (alkohol), Mangsa/Mamsa(daging), Matsya( ikan), Mudra (sikap tangan), dan Maithuna (persetubuhan) yang pada penggunaan ritual menyebabkan ekstase yang tertinggi. Namun kini praktek keseluruhan ajaran ini tidak ditemukan lagi di Indonesia. Walaupun tidak semua Panca tattwa ini terlaksana, ada bagian-bagian lain msih tetap menggunakannya, misalnya daging dan darah sebagai persembahan Bhuta yadnya, masih relepan ditemukan di bali, terutama saat mecaru. Mecaru merupakan persembahan kepada sang bhuta kala agar dapat menyeimbangkan semua mahluk yang tercita di dunia.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar