Jumat, 17 Januari 2014

UTS SIVA SIDDHANTA


NAMA           : DEWA AYU DEWI PURNAWATI
NIM                : 10.1.1.1.1.3896
JURUSAN     : PENDIDIKAN AGAMA HINDU
PRODI/SMT  : PAH B/ IV

UTS SIVA SIDHANTA

1.    Jelaskan tokoh-tokoh penyebar Siva Sidhanta dari India sampai ke Bali?
2.    Jelaskan kenapa kritalisasi semua sekte di Bali dengan mengatasnamakan Siwa sidantha?
3.    Jelaskan konsep kristalisasi yang di buat oleh mpu Kuturan!
4.    Jelaskan konsep penyatuan Siva Sidhanta atau sekte-sekte dalam Merajan anda sendiri!
5.    Bagaimana anda menyikapi terhadap fenomena menyontek dalam ujian, korupsi, teroris dalam Siva Sidantha?

JAWABAN:
1.    Tokoh- tokoh penyebar Siva Sidhanta dari India sampai di Bali antara lain:
Sekte Siva Siddhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India Tengah) kemudian menyebar ke Indonesia dan sampai ke Bali. Pemantapam paham Siva Siddhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan/Danghyang Nirartha. Ada beberapa tokoh orang suci yang menerima wahyu Hyang Widhi di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke empat belas yaitu:
a.  Danghyang Markandeya
Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (Dieng, Jawa Timur), bahwa bangunan pelinggih di Tolangkir (Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal Lalang-Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siva Siddhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual : Surya Sewana, Bebali, (banten) dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.
b.  Mpu Sangkulputih
Setelah Danghyang Markandeya moksa, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual Bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhanlainnya seperti: daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan; pisang, kelapa dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, penyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Di samping itu beliau juga mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kayaban. Beliau juga pelopor pembuatan acra/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.
c.  Mpu Kuturan
Beliau datang ke Bali pada abad ke-11 dari Majapahit. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Ring Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, an pembangunan Pura-Pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider). 
d.  Mpu Manik Angkeran
Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut Segara Rupek.
e.  Mpu Jiwaya
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama pada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.

f.  Danghyang Dwijendra
Datang ke Bali pada abad ke-14 dari desa Keling di Jawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha tetapi beralih menjadi Brahmana Siwa, ketika Kerajaan bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa. Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaan adalah Padmasari atau Padmasana.
2. Siwa Sidhanta merupakan suatu aliran yang merupakan kesimpulan dari Siwaisme. Di bali kita ketahui bahwa terdapat sembilan sekte, namun yang paling dominan menganut sekte Siwa Sidhanta. Dengan adanya sembilan sekte di Bali, di masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai dewa utamanya dengan simbol tertentu, dan mengagap dewa yang lainnya rendah dari Dewa yang dianggap uatama bagi sekte tersebut. Dengan adanya perbedaan pemujaan dan egoisme dalam setiap sampradaya, maka semua sekte di Bali dengan mengatasnamakan Siwa sidhata ini di karena aliran Siwa Sidhanta merupakan suatu wadah atau mencakup semua aliran yang ada. Sebab Siwa Sidhanta merupakan sekte yang mengambil semua sekte yang tersebar di Bali. Dengan mengatasnamakan Siwa Sidhanta agar dapat  mencegah suatu ketidak harmonisan, dalam menganut  sampradaya yang ada di Bali.
3. Mpu Kuturan berasal dari Jawa Timur membangun asrama pertapaan di Puran Silayukti di Teluk Padangbai di Pantai Selatan Karangasem. Beliau mengajar dan memberikan nasehat sekalian masyarakat Bali tentang silakrama – pengetahuan falsafah dunia besar dan dunia kecil termasuk Tuhan dan jiwatma manusia, karma phala, wali – wali, wali – wali majadma, terutama dalam hal membangun kahyangan – kahyangan dan pelinggih – pelinggih (bangunan suci). Bhatara roh yang suci leluhur dan menyebar anak keturunan Sang Sapta Mpu (tujuh Pendeta) yang kemudian berkedudukan sebagai para Ksatria Bali, yang terkenal dengan sebutan warga Pasek, di seluruh pelosok Bali sebagai pemimpin pemerintahan yang berdasarkan Agama dengan dibekali ajaran Kusuma Dewa, Widhi Sastra dan Sangkara Yuga. Sejak itu orang – orang Pasek disebut Pangeran Desa (Bendesa) yang mengatur pemerintahan Agama di desa – desa dengan jalan membangun pelinggih – pelinggih, pura, kahyangan yang dibuat dari batu atau kayu yang dipahat indah. Kepandaian memahat batun dan kayu sehingga menjadi arca atau patung, telah lama dijalankan oleh seniman – seniman Indonesia,  sebelum menerima pengaruh asing berupa Agama Hindu dan Budhadari tanah luaran. Kegemaran memahat batu dan kayu itu memang umum di Indonesia, baik sebelum atau sesudah peradaban asingmasuk kemari. Seni pahat seperti berlaku dan diciptakan di pulau Bali pada waktu kini dan membuat lukisan ceritera sebagai hiasan candi – candi Borobudur, Prambanan dan Penataran. (dipetik dari kitab 6000 tahun Sang Saka Merah Putih oleh : Mr. Muhamad Yamin, muka 72)
Pada abad ke- 11 Mpu Kuturan seorang Brahmana Budha dari Majapahit datang ke Bali. Beliau sangat berperan besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali, pada saat itu beliau mampu menyatukan berbagai macam aliran atau sekte yang berkembang di Bali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran – pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud simbol sanggah Kemulan, Taksu dan Tugu (jenis bangunan suci) di setiap pekarangan rumah untuk kesejahteraan rumah tangga.
Sanggah Pemerajan (juga jenis kelompok bangunan suci), untuk satu ikatan jiwa dalam satu famili agar hidup rukun gotong royong, tenggang – menunggang, sela – sekata dalam menghadapi suka – duka gelombnag hidup dalam masyarakat, dengan mengisi bangunan – banguna kecildi dalamnya yang disebut pelinggih – pelinggih. Misalnya : Sanggah Surya (Luhuring Akasa), Sanggah Kemulan, Kawitan dan pelinggih – pelinggih Sad Kahyangan. Jika seseorang diantaranya meninggal, semua bela sungkawa, menganggap diri cuntaka atau sebel (kotor Batiniah).


4. Konsep penyatuan Siva Sidhanta atau sekte-sekte dalam merajan saya adalah :
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita mestinya mengetahui apa arti merajan. Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar artinya tempat suci,  Pamerajan berasal dari Praja artinya keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Merajan ini biasanya terdapat disebuah keluarga Hindu di Bali artinya sebuah tempat suci yang dibuat berdasarkan konsep Tri Angga, Tri mandala, dan Tri Hita Karana. Dimana merupakan sebuah tempat untuk memuja Tuhan dan roh nenek leluhur.
Sanggah Pamerajan dibedakan menjadi 3 :
a. Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil) terdiri dari pelinggih padmasana atau Padmasari, Kemulan Rong Tiga dan Taksu
b. Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’ (garis keturunan), terdiri dari pelinggih :  Padmasana atau Padmasari, Kemulan Rong Tiga, ratu anglurah, taksu, rambut sedana.
c. Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama), terdiri dari pelinggih: meru, gedong kembar, pengaruman, gunung agung, gunung lebah, dan prahyangan.
Pelinggih yang terdapat dalam merajan antara lain :
1)   Padmasana/ Padmasari Sanghyang Tri Purusha, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa.
Padmasana bersumber pada kitab- kitab Weda (Sruti dan Smrti) serta kitab- kitab yang memuat ajaran Siwa Sidanta, secara khusus dimuat dalam Lontar Anda bhuwana, Padma bhuwana, dan Adi Parwa. Pada prinsipnya Padmasana adalah pengejawantahan bhuwana agung (alam raya) sebagai stana Ida Sanghyang Widhi. Bhuwana Agung disimbulkan dengan Bedawang Nala (Kurma Agni) yang dililit oleh Naga yang menyangga lingga. Adi Parwa menceritakan pencarian Amerta dengan memutarkan Mandara Giri/ Gunung Mandara di dalam Ksirarnawa (lautan susu). Dalam pemutaran Mandara Gin tersebut Naga Anantabhoga mencabut gunung Mandara, Bedawang Nala menyangganya, Naga Basuki melilit, dan para Dewa dan raksasa memutarnya. Akhirnya Wisnu yang mengendarai Garuda menguasai Amerta tersebut.
Dalam pelinggih padmasari atau padmasana menganut keprcayaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama. Sistem pemujaan Dewa matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan tenggelam yang merupakan ciri khas dari sekte Sora ini. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini terdapat pula di Bali. Sertiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajna.

2)   Sanggah Kemulan Rong Tiga
Sanggah Kemulan adalah Ida Sang Hyang Atma, kita percaya bahwa leluhur kita bersemayam di sanggah kemulan ini. Dalam sanggah Kemulan ini terdiri dari rong yakni sebelah kanan adalah ayah (purusa) dalam Paramatma, sebelah kiri adalah ibu (pradana) sebagai Siwatman, dan di tengah adalah Tri Brahma yang menjadi ibu dan ayah berbadan Sang Hyang Tuduh. (Lontar Usana Dewa). Ada pula yang menyebutkan bahwa Bagian kanan ayah adalah Sang Paratma dan sebelah kiri adalah ibu sebgai Siwatma dan di tangah adalah menjadi satu dan disebut Sang Hyang Tunggal. ( Lontar Gong Wesi).
Dalam setiap rumah tangga supaya didirikan Rong Tiga sebagai tempat memuja Tri Murti.  Trimurti, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma di arah Daksina (ruang kanan), Wisnu di Uttara (ruang kiri), dan Siwa di Madya (ruang tengah). Siwa sebagai Maha Guru atau Bhatara Guru. Rong Tiga itu selain sebagai tempat memuja Tri Murti, juga difungsikan untuk memuja roh leluhur. Ruang kanan untuk memuja leluhur laki-laki (purusa), ruang kiri untuk memuja leluhur wanita (pradana) sedangkan ruang di tengah-tengah untuk memuja leluhur yang sudah menyatu dengan Bhatara Guru. (Subandi dalam Nurkancana, 1997 : 139). Sudah sangat terlihat jelas yang dipuja adalah tri purusa. Dimana tuhan Hindu adalah Siwa yang paling utama.  
3)   Pelinggih taksu
Dibangun dengan atap dan rong satu. Dengan empat tiang disetiap sudutnya. Kayu yang digunakan juga sama seprti di atas, dan posisinya berada pada sebelah kanan kemulan. Menghadap kearah selatan, dan disanalah tempat stana Sang kala Raja yang memberikan sebuah kewibawaan. Taksu Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan.
4)   Pelinggih Ratu Angurah
Bagunannya sepertu tugu dengan batu paras, atau batu bata dengan rong satu. Tepatnya di kiri dari sanggah kemulan. Sanghyang Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu. Palinggih ini adalah tempat stana dari Sang Hyang catur Sanak, dengan fungsi sebagai keamnan secara niskala.

5)   Rong Dua (Ardanareswari), Rong dua ini merupakan pemujaan terhadap leluhur, fungsinya sama seperti kemulan atau rong tiga.

6)   Penungun karang, merupakan pelinggih untuk menghalangi gaguan yang negatif. Penungun karang menganut sekte ganepatya dan juga menganut sekte waisnawa untuk  pemujaan ibu pertiwi. Tujuannya untuk menjaga keseimbangan alam semesta ini dalam niskala dan skala. Sekte ganepatya berhubungan dengan siva, dan wisnu pun berhubungan dengan Siva yang terbukti bahwa ganepati dan wisnu memuja Siva.
7)   Meru adalah salah satu jenis tempat pemujaan untuk Istadewata, bhatara- bhatari yang melambangkan gunung Mahameru. Landasan filosofis dan meru adalah berlatar belakang pada anggapan adanya gunung suci sebagai stana para dewa dan roh suci leluhur. Untuk kepentingan pemujaan akhirnya gunung suci itu dibuatkan berbentuk replika (tiruan) berbentuk bangunan yang dinamai candi, prasada dan meru.
Dari beberapa pelinggih di atas bahwa terdapat kristalisasi aliran Siwa Sidhanta yang lebih dominan, misalnya pelinggih kemulan atau rong tiga, menganut paham Siwa, rongdua (Addanaresawati) juga memuja leluhur. Yang tertuju kepada tri purusa yakni Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Selain sekte siva terdapat juga ajaran yang tertuang dalam pelinggih yang lainnya. Seperti perlinggi padmasana mengagungkan dewa surya yang utama, taksu pemujaan terhadap dewi saraswati dan sang kala raja, Ratu Anglurah Sanghyang Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu. Pelinggi penungun karang, yang dipercaya sebagai penjaga atau penolak baya atau menghindari hal yang negatif mengganggu lingkungan perumakan. 
5.    Fenomena mencotek dalam ujian, korupsi dan teroris menurut ajaran siva Sidhanta yakni ketiga fenomena tersebut merupakan perbuatan lepas dari “Rwa Bhineda tattwa” yang terdiri dari Cetana dan Acetana. (Pudja, 1983:7). Istilah Cetana berasal dari bahasa sansekerta dari akar kata “cetas” yang artinya kepribadian, kesadaran, jiwa. Sedangkan Acetana bermakna tanpa kesadaran atau tanpa kepribadian. Yang dimuat dalam ajaran Wrhaspati Tattwa. (Pudja, 1983:7). Dari penjelasan diatas dapat saya tarik suatu kesimpulan bahwa mencotek dalam ujian, korupsi dan teroris merupakan tindakan yang tak disadari oleh manusia, manusia tak pernah ingat bahwa perbuatan tersebut tidaklah baik bagi dirinya sendri. Manusia hanya berpikiran untuk mencapai tujuan yang paling sempurna bagi dirinya, namun tujuannya hanya membawa kesengsaraan. Cetana berarti sumber kejiwaan atau spiritual yang suci murni maka sifatnya adalah mutlak dan kekal abadi, sehingga dalam hinduisme cetana disebut Siwa tatwa, sedangkan acetana adalah elemen dasar material yang membentuk berbagai wujud sesuatu beserta dengan sifatnya masing – masing dari tingkatan yang terhalus sampai pada tingkatan yag terbesar yang disebut Maya tatwa. Acetana atau ketidaksadaran manusia yang terjadi karena  pengaruh dari panca klesa. Panca klesa artinya lima macam kotorann yang melekat dalam diri manusia. Bagian-bagian panca klesa antara lain:
a.       Avidya yang berarti kebodohan atau ketidaktahuan (dalam arti paling luhur)
b.      Asmita yang berarti mengindentifikasi badan atau juga keakuan dan kesombongan
c.       Raga yang berarti ketertarikatan pada sesuatu karena cinta atau juga keterikatan
d.      Dvesa yang berarti daya tolak yang menyertai rasa sakit
e.       Abhinivesah yang berarti yang berarti dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan hidup dalam suatu badan atau takut akan kematian.
Dengan adanya pengaruh panca klesa ini, manusia tak akan pernah sadar akan perbuatan yang dilakukan, dimana sudah disebutkan tadi masalah mencotek dalam ujian merupakan suatu hal yang lumrah dilakukan, karena kelakuan tersebut sudah mendarah daging dalam diri manusia. Kita dapat menghilangkan kebiasaan tersebut dengan cara tak terpengaruh Asmita dam Abhinivesah, karena manusia takut akan kematian dalam arti menemukan suatu yang dapat membuat dirinya dianggap tidak mampu, mendapatkan nilai yang buruk dalam ujian, maka seseorang melakukan hal tersebut. Korupsi dan teroris merupakan hal yang dipengaruhi oleh keinginan manusia yang tak pernah puas akan apa yang telah didapatkan. Keterikatan akan material didunia memmbuat manusia melakukan korupsi agar dapat merasakan kemewahan yang lebih dari yang dia hasilkan atau dapatkan. Dalam ajaran Siva Sidhanta kelakuan ini merupakan ketidaksadaran manusia, karena mata manusia sudah dikuasai oleh hawa nafsu atau keinginan yang tak wajar. Perbuatan korupsi dan teroris lebih parah dan dosanya sangatlah besar dibandingkan mencotek dalam ujian. Namun ketiga ini dapat berhubungan. Maksudnya dari kesalahan atau perbuatan negatif yang kecil akan menjadi kesalahan yang lebih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar