NAMA :
DEWA AYU DEWI PURNAWATI
JURUSAN :
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
PRODI/SMT : PAH B/ IV
UTS SIVA SIDHANTA
1. Jelaskan
tokoh-tokoh penyebar Siva Sidhanta dari India sampai ke Bali?
2. Jelaskan
kenapa kritalisasi semua sekte di Bali dengan mengatasnamakan Siwa sidantha?
3. Jelaskan
konsep kristalisasi yang di buat oleh mpu Kuturan!
4. Jelaskan
konsep penyatuan Siva Sidhanta atau sekte-sekte dalam Merajan anda sendiri!
5. Bagaimana
anda menyikapi terhadap fenomena menyontek dalam ujian, korupsi, teroris dalam
Siva Sidantha?
JAWABAN:
1.
Tokoh- tokoh penyebar
Siva Sidhanta dari India sampai di Bali antara lain:
Sekte
Siva Siddhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India
Tengah) kemudian menyebar ke Indonesia dan sampai ke Bali. Pemantapam paham
Siva Siddhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu
Kuturan/Danghyang Nirartha. Ada beberapa tokoh orang suci yang menerima wahyu
Hyang Widhi di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke empat belas yaitu:
a. Danghyang Markandeya
Pada
abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (Dieng, Jawa Timur), bahwa
bangunan pelinggih di Tolangkir (Besakih) harus ditanami panca datu yang
terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah
menetap di Taro, Tegal Lalang-Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siva Siddhanta
kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual : Surya Sewana, Bebali, (banten)
dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika
itu agama ini dinamakan Agama Bali.
b. Mpu Sangkulputih
Setelah
Danghyang Markandeya moksa, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual
Bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk
berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhanlainnya seperti:
daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan; pisang, kelapa dan
biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara
lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, penyeneng,
tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu,
beakala, ulap ngambe, dll. Di samping itu beliau juga mendidik para pengikutnya
menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kayaban. Beliau juga
pelopor pembuatan acra/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan
batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.
c. Mpu Kuturan
Beliau
datang ke Bali pada abad ke-11 dari Majapahit. Atas wahyu Hyang Widhi beliau
mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali
mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Ring Tiga di
tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, an pembangunan Pura-Pura
Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma
Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam
posisi horizontal (pangider-ider).
d. Mpu Manik Angkeran
Beliau
adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar
putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh
luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan
memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu
disebut Segara Rupek.
e. Mpu Jiwaya
Beliau menyebarkan Agama Budha
Mahayana aliran Tantri terutama pada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa
(abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan
kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk
kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
f. Danghyang Dwijendra
Datang
ke Bali pada abad ke-14 dari desa Keling di Jawa, beliau adalah keturunan
Brahmana Buddha tetapi beralih menjadi Brahmana Siwa, ketika Kerajaan bali
Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak,
Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang
Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa. Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk
bangunan pemujaan adalah Padmasari atau Padmasana.
2.
Siwa Sidhanta merupakan suatu aliran yang merupakan kesimpulan dari Siwaisme.
Di bali kita ketahui bahwa terdapat sembilan sekte, namun yang paling dominan
menganut sekte Siwa Sidhanta. Dengan adanya sembilan sekte di Bali, di
masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai dewa utamanya dengan
simbol tertentu, dan mengagap dewa yang lainnya rendah dari Dewa yang dianggap
uatama bagi sekte tersebut. Dengan adanya perbedaan pemujaan dan egoisme dalam
setiap sampradaya, maka semua sekte di Bali dengan mengatasnamakan Siwa sidhata
ini di karena aliran Siwa Sidhanta merupakan suatu wadah atau mencakup semua
aliran yang ada. Sebab Siwa Sidhanta merupakan sekte yang mengambil semua sekte
yang tersebar di Bali. Dengan mengatasnamakan Siwa Sidhanta agar dapat mencegah suatu ketidak harmonisan, dalam
menganut sampradaya yang ada di Bali.
3.
Mpu Kuturan berasal dari Jawa Timur membangun asrama pertapaan di Puran
Silayukti di Teluk Padangbai di Pantai Selatan Karangasem. Beliau mengajar dan
memberikan nasehat sekalian masyarakat Bali tentang silakrama – pengetahuan
falsafah dunia besar dan dunia kecil termasuk Tuhan dan jiwatma manusia, karma
phala, wali – wali, wali – wali majadma, terutama dalam hal membangun kahyangan
– kahyangan dan pelinggih – pelinggih (bangunan suci). Bhatara roh yang suci
leluhur dan menyebar anak keturunan Sang Sapta Mpu (tujuh Pendeta) yang
kemudian berkedudukan sebagai para Ksatria Bali, yang terkenal dengan sebutan
warga Pasek, di seluruh pelosok Bali sebagai pemimpin pemerintahan yang
berdasarkan Agama dengan dibekali ajaran Kusuma Dewa, Widhi Sastra dan Sangkara
Yuga. Sejak itu orang – orang Pasek disebut Pangeran Desa (Bendesa) yang
mengatur pemerintahan Agama di desa – desa dengan jalan membangun pelinggih –
pelinggih, pura, kahyangan yang dibuat dari batu atau kayu yang dipahat indah.
Kepandaian memahat batun dan kayu sehingga menjadi arca atau patung, telah lama
dijalankan oleh seniman – seniman Indonesia,
sebelum menerima pengaruh asing berupa Agama Hindu dan Budhadari tanah
luaran. Kegemaran memahat batu dan kayu itu memang umum di Indonesia, baik
sebelum atau sesudah peradaban asingmasuk kemari. Seni pahat seperti berlaku
dan diciptakan di pulau Bali pada waktu kini dan membuat lukisan ceritera
sebagai hiasan candi – candi Borobudur, Prambanan dan Penataran. (dipetik dari
kitab 6000 tahun Sang Saka Merah Putih oleh : Mr. Muhamad Yamin, muka 72)
Pada abad ke- 11
Mpu Kuturan seorang Brahmana Budha dari Majapahit datang ke Bali. Beliau sangat
berperan besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali, pada saat itu beliau mampu
menyatukan berbagai macam aliran atau sekte yang berkembang di Bali. Atas wahyu
Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran – pemikiran cemerlang mengajak umat
Hindu di Bali mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud simbol sanggah
Kemulan, Taksu dan Tugu (jenis bangunan suci) di setiap pekarangan rumah untuk
kesejahteraan rumah tangga.
Sanggah
Pemerajan (juga jenis kelompok bangunan suci), untuk satu ikatan jiwa dalam
satu famili agar hidup rukun gotong royong, tenggang – menunggang, sela –
sekata dalam menghadapi suka – duka gelombnag hidup dalam masyarakat, dengan
mengisi bangunan – banguna kecildi dalamnya yang disebut pelinggih – pelinggih.
Misalnya : Sanggah Surya (Luhuring Akasa), Sanggah Kemulan, Kawitan dan
pelinggih – pelinggih Sad Kahyangan. Jika seseorang diantaranya meninggal,
semua bela sungkawa, menganggap diri cuntaka atau sebel (kotor Batiniah).
4.
Konsep penyatuan Siva Sidhanta atau sekte-sekte dalam merajan saya adalah :
Sebelum
menjawab pertanyaan di atas, kita mestinya mengetahui apa arti merajan. Sanggah Pamerajan berasal dari kata:
Sanggah, artinya Sanggar artinya tempat suci,
Pamerajan berasal dari Praja artinya keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan
artinya tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Merajan ini biasanya terdapat
disebuah keluarga Hindu di Bali artinya sebuah tempat suci yang dibuat
berdasarkan konsep Tri Angga, Tri mandala, dan Tri Hita Karana. Dimana
merupakan sebuah tempat untuk memuja Tuhan dan roh nenek leluhur.
Sanggah
Pamerajan dibedakan menjadi 3 :
a.
Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil) terdiri dari pelinggih padmasana
atau Padmasari, Kemulan Rong Tiga dan Taksu
b.
Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’ (garis
keturunan), terdiri dari pelinggih : Padmasana atau Padmasari, Kemulan Rong Tiga,
ratu anglurah, taksu, rambut sedana.
c.
Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari
lokasi Desa yang sama), terdiri dari pelinggih: meru, gedong kembar,
pengaruman, gunung agung, gunung lebah, dan prahyangan.
Pelinggih
yang terdapat dalam merajan antara lain :
1) Padmasana/
Padmasari Sanghyang Tri Purusha,
Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa.
Padmasana bersumber pada kitab- kitab
Weda (Sruti dan Smrti) serta kitab- kitab yang memuat ajaran Siwa Sidanta,
secara khusus dimuat dalam Lontar Anda bhuwana, Padma bhuwana, dan Adi Parwa.
Pada prinsipnya Padmasana adalah pengejawantahan bhuwana agung (alam raya)
sebagai stana Ida Sanghyang Widhi. Bhuwana Agung disimbulkan dengan Bedawang
Nala (Kurma Agni) yang dililit oleh Naga yang menyangga lingga. Adi Parwa
menceritakan pencarian Amerta dengan memutarkan Mandara Giri/ Gunung Mandara di
dalam Ksirarnawa (lautan susu). Dalam pemutaran Mandara Gin tersebut Naga
Anantabhoga mencabut gunung Mandara, Bedawang Nala menyangganya, Naga Basuki
melilit, dan para Dewa dan raksasa memutarnya. Akhirnya Wisnu yang mengendarai
Garuda menguasai Amerta tersebut.
Dalam pelinggih padmasari atau padmasana
menganut keprcayaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama. Sistem pemujaan Dewa
matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan
tenggelam yang merupakan ciri khas dari sekte Sora ini. Pustaka Lontar yang
membentangkan Suryasewana ini terdapat pula di Bali. Sertiap upacara agama di
Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan
persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajna.
2) Sanggah
Kemulan Rong Tiga
Sanggah Kemulan adalah Ida Sang
Hyang Atma, kita percaya bahwa leluhur kita bersemayam di sanggah kemulan ini.
Dalam sanggah Kemulan ini terdiri dari rong yakni sebelah kanan adalah ayah
(purusa) dalam Paramatma, sebelah kiri adalah ibu (pradana) sebagai Siwatman,
dan di tengah adalah Tri Brahma yang menjadi ibu dan ayah berbadan Sang Hyang
Tuduh. (Lontar Usana Dewa). Ada pula yang menyebutkan bahwa Bagian kanan ayah
adalah Sang Paratma dan sebelah kiri adalah ibu sebgai Siwatma dan di tangah
adalah menjadi satu dan disebut Sang Hyang Tunggal. ( Lontar Gong Wesi).
Dalam setiap rumah tangga supaya
didirikan Rong Tiga sebagai tempat memuja Tri Murti. Trimurti, adalah keyakinan stana Sanghyang
Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa,
adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma di arah
Daksina (ruang kanan), Wisnu di Uttara (ruang kiri), dan Siwa di Madya (ruang
tengah). Siwa sebagai Maha Guru atau Bhatara Guru. Rong Tiga itu selain sebagai
tempat memuja Tri Murti, juga difungsikan untuk memuja roh leluhur. Ruang kanan
untuk memuja leluhur laki-laki (purusa), ruang kiri untuk memuja leluhur wanita
(pradana) sedangkan ruang di tengah-tengah untuk memuja leluhur yang sudah
menyatu dengan Bhatara Guru. (Subandi dalam Nurkancana, 1997 : 139). Sudah
sangat terlihat jelas yang dipuja adalah tri purusa. Dimana tuhan Hindu adalah
Siwa yang paling utama.
3) Pelinggih
taksu
Dibangun dengan atap dan rong satu.
Dengan empat tiang disetiap sudutnya. Kayu yang digunakan juga sama seprti di
atas, dan posisinya berada pada sebelah kanan kemulan. Menghadap kearah
selatan, dan disanalah tempat stana Sang kala Raja yang memberikan sebuah
kewibawaan. Taksu Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati
(sakti Brahma) penganugrah pengetahuan.
4) Pelinggih
Ratu Angurah
Bagunannya
sepertu tugu dengan batu paras, atau batu bata dengan rong satu. Tepatnya di
kiri dari sanggah kemulan. Sanghyang Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala,
pengatur kehidupan dan waktu. Palinggih ini adalah tempat stana dari Sang Hyang
catur Sanak, dengan fungsi sebagai keamnan secara niskala.
5) Rong
Dua (Ardanareswari), Rong dua ini merupakan pemujaan terhadap leluhur,
fungsinya sama seperti kemulan atau rong tiga.
6) Penungun
karang, merupakan pelinggih untuk menghalangi gaguan yang negatif. Penungun
karang menganut sekte ganepatya dan juga menganut sekte waisnawa untuk pemujaan ibu pertiwi. Tujuannya untuk menjaga
keseimbangan alam semesta ini dalam niskala dan skala. Sekte ganepatya
berhubungan dengan siva, dan wisnu pun berhubungan dengan Siva yang terbukti
bahwa ganepati dan wisnu memuja Siva.
7) Meru adalah
salah satu jenis tempat pemujaan untuk Istadewata, bhatara- bhatari yang
melambangkan gunung Mahameru. Landasan filosofis dan meru adalah berlatar
belakang pada anggapan adanya gunung suci sebagai stana para dewa dan roh suci
leluhur. Untuk kepentingan pemujaan akhirnya gunung suci itu dibuatkan
berbentuk replika (tiruan) berbentuk bangunan yang dinamai candi, prasada dan
meru.
Dari
beberapa pelinggih di atas bahwa terdapat kristalisasi aliran Siwa Sidhanta
yang lebih dominan, misalnya pelinggih kemulan atau rong tiga, menganut paham
Siwa, rongdua (Addanaresawati) juga memuja leluhur. Yang tertuju kepada tri
purusa yakni Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Selain
sekte siva terdapat juga ajaran yang tertuang dalam pelinggih yang lainnya.
Seperti perlinggi padmasana mengagungkan dewa surya yang utama, taksu pemujaan
terhadap dewi saraswati dan sang kala raja, Ratu Anglurah Sanghyang Widhi
sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu. Pelinggi
penungun karang, yang dipercaya sebagai penjaga atau penolak baya atau
menghindari hal yang negatif mengganggu lingkungan perumakan.
5.
Fenomena mencotek dalam
ujian, korupsi dan teroris menurut ajaran siva Sidhanta yakni ketiga fenomena
tersebut merupakan perbuatan lepas dari “Rwa Bhineda tattwa” yang terdiri dari Cetana dan Acetana. (Pudja, 1983:7). Istilah Cetana berasal dari bahasa
sansekerta dari akar kata “cetas”
yang artinya kepribadian, kesadaran, jiwa. Sedangkan Acetana bermakna tanpa
kesadaran atau tanpa kepribadian. Yang dimuat dalam ajaran Wrhaspati Tattwa.
(Pudja, 1983:7). Dari penjelasan diatas dapat saya tarik suatu kesimpulan bahwa
mencotek dalam ujian, korupsi dan teroris merupakan tindakan yang tak disadari
oleh manusia, manusia tak pernah ingat bahwa perbuatan tersebut tidaklah baik
bagi dirinya sendri. Manusia hanya berpikiran untuk mencapai tujuan yang paling
sempurna bagi dirinya, namun tujuannya hanya membawa kesengsaraan. Cetana
berarti sumber kejiwaan atau spiritual yang suci murni maka sifatnya adalah mutlak
dan kekal abadi, sehingga dalam hinduisme cetana disebut Siwa tatwa, sedangkan
acetana adalah elemen dasar material yang membentuk berbagai wujud sesuatu
beserta dengan sifatnya masing – masing dari tingkatan yang terhalus sampai
pada tingkatan yag terbesar yang disebut Maya tatwa. Acetana atau
ketidaksadaran manusia yang terjadi karena
pengaruh dari panca klesa. Panca klesa artinya lima macam kotorann yang
melekat dalam diri manusia. Bagian-bagian panca klesa antara lain:
a.
Avidya yang berarti
kebodohan atau ketidaktahuan (dalam arti paling luhur)
b. Asmita
yang berarti mengindentifikasi badan atau juga keakuan dan kesombongan
c. Raga
yang berarti ketertarikatan pada sesuatu karena cinta atau juga keterikatan
d. Dvesa
yang berarti daya tolak yang menyertai rasa sakit
e.
Abhinivesah yang
berarti yang berarti dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan hidup dalam
suatu badan atau takut akan kematian.
Dengan
adanya pengaruh panca klesa ini, manusia tak akan pernah sadar akan perbuatan
yang dilakukan, dimana sudah disebutkan tadi masalah mencotek dalam ujian
merupakan suatu hal yang lumrah dilakukan, karena kelakuan tersebut sudah
mendarah daging dalam diri manusia. Kita dapat menghilangkan kebiasaan tersebut
dengan cara tak terpengaruh Asmita dam Abhinivesah, karena manusia takut akan
kematian dalam arti menemukan suatu yang dapat membuat dirinya dianggap tidak
mampu, mendapatkan nilai yang buruk dalam ujian, maka seseorang melakukan hal
tersebut. Korupsi dan teroris merupakan hal yang dipengaruhi oleh keinginan manusia
yang tak pernah puas akan apa yang telah didapatkan. Keterikatan akan material
didunia memmbuat manusia melakukan korupsi agar dapat merasakan kemewahan yang
lebih dari yang dia hasilkan atau dapatkan. Dalam ajaran Siva Sidhanta kelakuan
ini merupakan ketidaksadaran manusia, karena mata manusia sudah dikuasai oleh
hawa nafsu atau keinginan yang tak wajar. Perbuatan korupsi dan teroris lebih
parah dan dosanya sangatlah besar dibandingkan mencotek dalam ujian. Namun
ketiga ini dapat berhubungan. Maksudnya dari kesalahan atau perbuatan negatif
yang kecil akan menjadi kesalahan yang lebih besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar