UTS
SIVASIDDHANTA II
MAKNA BANTEN-BANTEN DAN MANTRA BANTEN
(Canang
Sari, Daksina, Peras, Ajuman, banten
melinggihang Surya)
Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.H
IHDN DENPASAR
Oleh :
Dewa Ayu Dewi Purnawati (10.1.1.1.1.3896)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012
Soal UTS sivasiddhanta II
Buatlah
kajian bukti kristalisasi sekte-sekte dalam sarana upakara Canang Sari, Daksina, Peras, Ajuman, Banten Pajati dan Sesayut
dalam Siva Siddhanta!!!
1. Kajian
bukti kristalisasi sekte-sekte dalam Canang
Sari.
1.1 Pengertian Canang
Sebelum lebih lanjut menguraikan kata Canang Sari, ada baiknya penulis
jabarkan dahulu makna perkata dari kata Canang
dan Sari. Kata Canang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang
pada mulanya berarti sirih, yang disuguhkan pada tamu (atiti) yang sangat dihormati (Wiana, 1992 : 26). Tamu
yang dimaksud adalah tamu sekala yang
sekedar mampir atau bertandang ke rumah seseorang. Adalah sebuah kearifan
sosial dari zaman dahulu bahwa bertandang ke rumah seseorang adalah bentuk menyama braya, tuan rumah yang
dikunjungi akan sangat berbahagia karena pemahaman orang Bali yang dijiwai oleh
Spirit Hindu memandang Tamu sebagai Dewa
Manyekala. Rasa simpati dan bahagia tuan rumah, mereka cetuskan dengan
mempersembahkan sesuatu kepada tamu yang biasanya adalah sirih.
Kemudian kata Sari berarti inti, pokok, sumber dan yang terpenting/utama Berdasarkan pemaparan
di atas maka dapat disimpulkan Canang
Sari adalah sirih yang menjadi pokok utama, itulah mengapa Canang Sari belum
bisa dikatakan bernilai filosofis
religius jika
belum dilengkapi porosan yang bahan
pokoknya tiada lain adalah sirih. Lewat sentuhan jiwa seni, Canang Sari bukan berbentuk sirih biasa, tapi merupakan perpaduan
yang sedemikian rupa antara bunga, janur, daun, buah, tetuwesan dan jejahitan. Canang Sari adalah persembahan kepada
"Tamu Niskala" yang agung yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang
dipersembahkan oleh umat Hindu melalui "sapaan akrab" upacara agama
agar beliau mendekat dan berkenan memberkati upacara yang dilaksanakan. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, Canang Sari merupakan ciptaan dari Mpu
Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di
Pura Besakih.
1.2 Makna
komponen penyusun Canang Sari
Ceper
Ceper merupakan sebagai alas dari
sebuah Canang Sari, yang memiliki
bentuk segi empat. Ceper adalah sebagai
lambang Angga Sarira (badan), empat sisi dari
pada Ceper sebagai lambang dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca
Buddhindriya, Panca Karmendriya. Keempat itulah yang membentuk terjadinya Angga Sarira (badan)
ini.
1.2.2 Bunga
Bunga
adalah sebagai perlambang
kedamaian dan ketulusan
hati. Pada sebuah Canang Sari bunga akan
ditaruh di atas sebuah Sampian Uras, sebagai
lambang di dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi
dengan ketulusan hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan.
Bunga
sebagai salah satu unsur sarana persembahyangan. Dalam Bhagawadgita IX.26, disebutkan unsure-unsur
pokok persembahan yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi adalah bunga,
disamping daun, buah-buahan dan air. Adapun bunyi slokanya sebagai berikut:
Pattram puspam phalam puspam phalam toyam
Yome bhaktya prayaccati
Tad aham bhaktyu pakrtam
Asnami prayatat manah.
Terjemahan:
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan padaKu daun, bunga,
buah-buahan atau air, persempahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari
lubuk hati yang suci, Aku terima (Wiana, 1992 : 25)
Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan Pengider-ider Panca
Dewata. Untuk urutannya saya menggunakan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu
diawali dari arah Timur ke Selatan.
Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti
dengan warna merah muda) disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai
simbol memohon diutusnya Widyadari Gagar
Mayang oleh Prabhawa-Nya dalam
kekuatan Sang Hyang Iswara agar
memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi
kekuatan kesucian Sekala Niskala. Bunga
berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol
memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi
kekuatan Kecerdasan dan Kewibawaan. Bunga berwarna Kuning disusun untuk
menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi
kekuatan intuisi. Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan
warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai
simbol memohon diutusnya Widyadari
Nilotama oleh Prabhawa-Nya dalam
kekuatan Sang Hyang Wisnu agar
memercikkan Tirtha Pawitra untuk
menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga. Bunga Rampai (irisan pandan arum)
disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha Maha Mertha untuk menganugerahi
kekuatan pembebasan (Moksa). (Sumber
: http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2011/12/canang-sari.html, Diakses Minggu, 2 Desember 2012 Pukul 09.35 Wita)
1.2.3 Beras atau
Wija
Beras atau Wija sebagai
lambang Sang Hyang Atma, yang
menjadikan badan ini bisa hidup, Beras atau wija
sebagai lambang benih, dalam setiap insan atau kehidupan diawali oleh benih
yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi
Wasa yang berwujud Atma.
1.2.4 Porosan.
Porosan bisa dikatakan bahan terpenting dan inti yang terdapat
dalam Canang Sari, karena tanpanya Canang Sari belum bisa dikatakan memilki
nilai religius. Porosan terbuat dari daun sirih,
kapur atau pamor, dan jambe atau gambir sebagai lambang Tri Pramana: Bayu,
Sabda dan Idep (pikiran,
perkataan, dan perbuatan). Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai simbol Bhatara Wisnu, dalam bentuk Tri Pramana sebagai lambang dari
Sabda (perkataan), Jambe atau Gambir sebagai
simbolisasi Bhatara
Brahma, dalam bentuk Tri Premana sebagai lambang Bayu (perbuatan), Kapur atau Pamor sebagai
lambang Bhatara Iswara, dalam bentuk Tri Pramana sebagai lambang Idep (pikiran).
Di lain pihak Surayin (2004: 59-60) mengatakan bagian dari Porosan diantaranya sirih menggambarkan
Hyang Wisnu, Kapur menggambarkan Hyang Siwa dan Buah
Pinang menggambarkan Hyang Brahma. Jika dilihat dari 2 konsepsi di atas ada perbedaan
antara sarana porosan-nya pada gambir dan buah pinang, namun sebenarnya
pada intinya adalah sama yaitu Porosan merupakan
simbolisasi dari Tri Murti
1.2.5 Tebu dan pisang.
Di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris
tebu dan seiris pisang. Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang amrtha (kesejahteraan/kehidupan).
Setelah
kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan Tri Pramana yang membuat kita dapat
memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktifitaslah kita dapat mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa
ini. Tebu dan pisang adalah sebagai lambang Amrtha yang diciptakan oleh
kekuatan Tri Pramana dan dalam implementasinya berupa Tri Kaya yang meliputi aktifitas berpikir, berbicara dan berbuat.
1.2.6 Sampian
Uras/Uras Sari.
Sampian Uras
atau Uras Sari dibuat dari rangkaian
janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau
helai, yang melambangkan roda kehidupan dengan delapan karakteristik yang
menyertai setiap kehidupan umat manusia (Asta
Iswarya). Yaitu : Dahrma (Kebijaksanaan),
Sathyam (Kebenaran dan kesetiaan), Pasupati (ketajaman, intelektualitas), Kama (Kesenangan), Aiswarya (kepemimpinan), Krodha
(kemarahan), Mrtyu (kedengkian, iri
hati, dendam), Kala ( kekuatan).
Itulah delapan karakteristik yang dimiliki oleh setiap umat manusia, sebagai
pendorong melaksanakan aktifitas, dalam menjalani roda kehidupannya. Ada pula
yang mengatakan Uras Sari itu merupakan
simbolis arah mata angin Asta Dewata.
1.2.7 Kembang Rampai.
Kembang Rampai biasanya ditempatkan di atas
susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu Canang,
Kembang Rampai
memiliki makna sebagai lambang kebijaksanaan. Dari kata Kembang Rampai memiliki dua arti, yaitu: Kembang berarti bunga dan Rampai berarti macam-macam, sesuai
dengan arah Pengider-ider, Kembang
Rampai ditempatkan di
tengah sebagai simbol warna brumbun,
karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam bunga, tidak semua
memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki bau, begitu juga
dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan dapat menikmati
kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah
dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata
kehidupan ini hendaknya kita
memiliki kebijaksanaan. Selain
sebagai simbol kebijaksanaan, jika dikaitkan dengan pemujaan Ista Dewata maka Kembang Rampai merupakan simbol Sang
Hyang Siwa.
1.2.8 Plawa
Plawa adalah
daun-daunan, disebutkan dalam Lontar Yadnya Prakerti bahwa Plawa merupakan
lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci, sehingga dapat menangkal
pengaruh buruk dari
nafsu duniawi yang menyesatkan umat
manusia.
Canang
Sari
terbentuk dari beberapa unsur seperti dijelaskan di atas dan dapat ditarik kesimpulan bahwa Canang
Sari
mengandung arti dan makna perjuangan
hidup manusia dengan selalu memohon bantuan dan perlindungan tuhan, untuk menciptakan, memelihara, dan meniadakan. Memohon agar tuhan selalu berkenan dekat dengan manusia,
sebagai "tamu" yang membiimbingnya dalam rumah tangga kehidupan. Semuanya
demi suksesnya cita-cita hidup manusia yakni kebahagiaan. Begitu tingginya filsafat yang dimiliki oleh Canang Sari yang divisualisasikan dalam bentuk Banten yang indah. Dengan kata lain Canang Sari adalah bahasa agama Hindu
dalam bentuk simbol yang
dapat memberikan berbagai keterangan tentang arti dan makna hidup di dunia ini.
1.3
Canang
Sari
dalam Konsep Penyatuan Siwa Siddhanta
Penyatuan sekte-sekte
Siwa Siddhanta dalam Canang Sari
dapat di kaji dari bunga. Bunga melambangkan ketulusan hati, dari
warna-warna bunga dapat dikaitkan dalam Dewata Nawa Sangga, warna-warna bunga
itu merupakan simbolis para dewa-dewa seperti bunga kamboja warna putih
melambangkan dewa iswara, bunga cempaka kuning yang berwarna kuning
melambangkan dewa Mahadewa, bunga yang berwarna merah melambangkan dewa Brahma,
Bunga yang berwarna hijau atau biru melambangkan kekuatan dari Wisnu. Beras
atau wija untuk Sekte Waisnawa yang diberikan petunjuk dalam
konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri yang dipandang
sebagai pemberi rejeki, kebahagiaan dan kemakmuran. Para petani di Bali, Dewi
Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama
dan merupakan sumber kemakmuran serta kesejahteraan (Gunawan, 2012:49).
Bagian dari Porosan diantaranya Sirih menggambarkan Hyang Wisnu, Kapur menggambarkan Hyang Siwa, Buah
Pinang menggambarkan Hyang Brahma (Surayin, 2004: 59-60). Selain itu dalam
ura sari yang yang terdiri dari delapan lengkungannya itu juga melambangkan
dari asta dewata yaitu sesuai dengan arah mata angin. Kembang rampai memiliki
dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai
dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol
warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Disini dapat dilihat
simbolis dari dewa siwa yaitu sesuai dengan arah mata angin dalam dewata nawa
sangga yang berada di tengah-tengah.
1.4
Mantra
Canang Sari
Oṁ Puspa Danta ya namah svaha
(dalam hati)
Oṁ tamolah panca pacara guru paduka
bhyo namah swaha
Oṁ shri Deva Devi Sukla ya namah
svaha
2. Kajian bukti kristalisasi sekte-sekte dalam Daksina
2.1
Pengertian Daksina
Dari beberapa literatur, sangat
sulit dicari pengertian Daksina secara
etimologi. Tetapi di dalam kitab Ayur Veda XX.25 disebutkan bahwa untuk
mencapai "Daksina"
harus diawali dengan perjuangan diri yang penuh disiplin. Perjuangan yang penuh
disiplin itu disebut dengan Brata. Brata artinya janji diri yaitu suatu
disiplin hidup yang
timbul dari niat diri sendiri untuk melakukan sesuatu
disiplin hidup.
Beranjak dari sana, kata Daksina bisa diartikan perilaku/kehidupan terhormat.
Jika dipahami secara dangkal dan dipertentangkan memang akan timbul sebuah
ketimpangan karena dalam realitanya Daksina
adalah sebuah sarana upakara (benda) bukan berupa tingkah laku. Daksina biasanya diberikan kepada orang
yang terhormat, yang mengabdikan dirinya dalam prilaku suci (Pedanda atau Pemangku). Dari sini bisa diberikan jalan
tengah dan benang merah, bahwasanya ada keterkaitan antara Daksina dalam bentuk sarana upakara dan perilaku terhormat itu.
Daksina merupakan tapakan dari Hyang
Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah dari yadnya. Hal ini dapat kita lihat pada
berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak sekali ada Daksina. Kalau kita lihat fungsi Daksina yang diberikan kepada yang muput
karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya Daksina
tersebut sebagai ucapan tanda "terima kasih" baik sekala maupun
niskala. Begitu pula kalau Daksina
itu kita haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan
sembah sujud kita atas semua karunia-Nya.
2.2 Fugsi Daksina
Selain fungsi di atas, Daksina
memiliki kegunaan lain dalam upacara yadnya diantaranya yaitu:
2.2.1
Daksina
sebagai simbol Hyang Tunggal/ Hyang Guru:
Membuat sarana
perlengkapan Daksina yang begitu
lengkapnya sehingga dianggap cukup untuk mewakili isi seluruh alam semesta yang
ada. Maka dengan demikian Daksina
diartikan sebagai satu kesatuan dan sekaligus sebagai simbol Hyang Tunggal atau
Hyang Guru sebagai manifestasi dari Deva Siva sebagai penguasa alam semesta
ini.
2.2.2
Daksina
sebagai sarana persembahan dalam upacara Yajna:
Daksina
adalah sarana perlengkapan yang paling penting dari beberapa jenis upacara
Yajna. Sebesar dan semegah apapun pelaksanaan upacara Dewa Yajna, tanpa menggunakan
sarana Daksina, maka upacara itu
belum dianggap sempurna karena menggunakan Daksina
dianggap sebagai media untuk mendekatkan diri dan mewujudkan kuasa Tuhan, agar
tercipta hubungan manusia sebagai bakta yang akan menyembah Hyang Widhi/ Tuhan
Yang Maha Esa yang akan disembah.
2.2.3
Daksina
sebagai cetusan rasa terima kasih:
Daksina
dipersembahkan oleh para baktanya, untuk menyampaikan rasa angayubagia kepada
Hyang Widhi beserta manifestasiNya, karena apa yang dimohon bakta dalam
melaksanakan dharmanya sehari-hari sebagai umat Hindu mendapatkan sesuai yang
diinginkan. Fungsi lain dari Daksina
ini adalah sebagai sarana untuk media menyempaikan terima kasih kepada para
sulinggih atau para pinandita yang ditugaskan untuk melaksanakan/ memuput
upacara, juga sebagai bukti rasa bhakti para umatnya disatu sisi merupakan
bentuk pelayanan para pandita dan pinandita kepada umatnya.
2.2.4 Daksina
untuk memohon keselamatan
Sebagai manusia yang
sangat menyadari bahwa jauh dari sempurna, sehingga manusia tidak akan luput
dari kesalahan/ khilap serta segala kekurangan-kekurangan, kesalahan dan lupa
karena keterbatasan pikiran maka perlu melaksanakan permohonan keselamatan.
Khususnya bagi para tukang banten (Serati Banten) kehadiran banten Daksina sebagai Sthana Hyang Widhi
mutlak sangat diperlukan. Hyang Widhi sebagai manifestasiNya Sang Hyang Devi
Tapeni/ Bhatari Tapeni (Devanya Serati Banten) untuk memohon bimbigan
keselamatan, dalam melaksanakan pembuatan banten untuk upacara Deva Yajna tidak
sampai melakukan kesalahan akibat keterbatasan pikiran seperti, kelupaan.
Kebingungan dan lain sebagainya. Para Serati Banten biasanya jika akan membuat
sarana bebantenan untuk upacara/ upakara maka akan meletakkan Daksina disertai perlengkapan banten
yang lain diletakkan di mana sudah disiapkan tempat banten/ pelangkiran di mana
para Serati Banten akan bekerja untuk membuat banten. Daksina tidak saja diperlukan oleh Serati Banten, tetapi juga bagi
tukang-tukang lainnya seperti tukang unagi bangunan, tukang terang, tukang
membuat gayah, tukang gamelan, tukang ukir dan lain-lain yang semua tujuannya
untuk ngaturang piuning supaya dalam melaksanakan tugasnya mendapat bimbingan
dan keselamatan oleh Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.
2.2.5
Daksina
sebagai Upasaksi (Lambang Hyang Guru):
Pengertian upasaksi
terdiri dari dua suku kata, yaitu upa dan saksi, upa dapat diartikan sebagai
perantara dan saksi dapat berarti mengetahui. Jadi upasaksi dapat mengendung
pengertian sebagai sarana untuk diketahui atau mempermaklumkan, dalam hal ini kepada
Hyang Widhi dengan manifestasiNya. Tempat untuk menghaturkan banten upasaksi
biasanya dibuat khusus yang diberi nama Sanggar Upasaksi, Sanggar Surya atau
bisa juga Sanggar Tawang tergantung besar kecilnya upacara yang dilaksanakan.
Sanggar Tawang bisa juga disebut Sanggar Agung biasanya dibentuk bangunan
temporer dari bambu petung atau batang pinang yang sudah dikupas terlebih
dahulu.
Bentuknya dibikin
sederhana ruang atas yang dibagi menjadi tiga ruangan, apabila memakai satu
ruangan maka disebut Sanggar Surya. Maka sesuai dengan namanya, maka Sanggar
Tawang berarti sthana di angkasa, dan fungsinya adalah untuk mensthanakan Hyang
Widhi sebagai aspeknya, sebagai Sang Hyang Catur Lokapala atau Hyang Tri Murti.
Oleh umat Hindu sangat diyakini bahwa sthanaNya yang abadi berada di luhuring
akasa (di atas angkasa).Setiap aktifitas ritual umat Hindu dari pelaksanaan
upacara yang sederhana (nista) sampai ketingkatan upacara yang besar (utama)
senantiasa dibuatkan Sanggar Surya atau Sanggar Tawang untuk memohon kehadiran
Hyang Surya guna menyaksikan ketulusan hati umatnya yang sedang melaksanakan
upacara/ Yajna.
Sebagai upasaksi,
banten Daksina dijadikan sthana Hyang
Widhi, apabila banten Daksina
tersebut diletakkan pada Sanggar Surya atau Sanggar Tawang sebagai upasaksi,
maka sudah jelaslah fungsinya. Biasanya banten Daksina di Sanggar Surya atau di Sanggar Tawang tidak berdiri
sendiri, tetapi melengkapi atau menyertai banten-banten yang lainnya, seperti
banten pejati, banten peras, banten dewa-dewi, catur, suci dan banten lainnya.
2.2.6
Daksina
sebagai banten pelengkap.
Mengingat Daksina sebagai pelengkap banten-banten
lainnya seperti banten pejati, banten pebangkit, banten pulegembal, dan masih banyak
lagi banten yang lainnya yang tidak penulis sebutkan satu-persatu. Hal ini
disebabkan karena upacara/ upakara atau banten yang digunakan dalam suatu
upacara merupakan satu kumpulan ari beberapa jenis banten yang disebut soroh
dan setiap soroh hampir selalu menggunakan Daksina
sebagai runtutannya. Adapun kedudukan Daksina
yang selalu menyertai banten-banten yang yang lain adalah karena memang unsur
yang terdapat dalam Daksina sangatlah
lengkap, selain itu Daksina merupakan
kekuatan atau saktinya suatu Yajna. Dengan kata lain suatu upakara Yajna akan
menjadi sempurna apabila ada daksinenya. Lebih jelas kita lihat pada upacara
Deva Yajna, seperti melaspas, mecaru, Ngenteg Linggih, Upacara Pujawali, Panca
Walikrama dan Eka Dasa Rudra. Adapun urut-urutan rangkaian upacara yang umum
dilaksanakan adalah sebagai berikut:
Upakara Ngatur Piuning
memulai karya (Nuasin Karya), upakara Nuur (Mendak) Tirtha, upakara untuk
Serati Banten (ngelinggihang Sang Hyang Tapini) yaitu Devanya Serati Banten,
Upakara RsiBijana, Upakara Mapapada (pada Sanggar Pesaksi) yang ditujukan
kehadapan Siwa Raditya dan Giripati, dan upakara di bale Pawedan. Adapun banten
Daksina yang digunakan disesuaikan
dengan besar kecilnya upakara (nista, madya, utama). Namun umumnya pada upacara
Deva Yajna dapat penulis sebutkan di atas masih kebanyakan menggunakan Daksina gede atau Daksina pemogpog di samping Daksina
pelinggih dan Daksina alit.
2.2.7
Daksina
sebagai sarana penebusan :
Daksina
juga berfungsi sebagai penebusan atas kekurangan alam upakara yang
dilaksanakan, terletak pada sesari/ uang. Selain itu uang sesari yang
mengandung juga makna simbol ketulusan hati/ sarining manah. Ada juga yang
menyebut Daksina pemogpog yang
mengandung makna sebagai menutup bilamana dalam melaksanakan upakara yajna ada
kekurangan, maknanya hampir sama yaitu untuk penebusan.
2.3
Berikut
merupakan komponen-komponen pembentuk dari Daksina:
2.3.1 Bedongan
Adalah sarana upacara yang dibuat dengan
daun kelapa sehingga menyerupai suatu wadah seperti bakul yang dalam bahasa
bali di sebut wakul Daksina. Nama
lainnya dalah bedongan. Berikut ini
macam-macam bentuk bedongan.
2.3.2 Tapak Dara.
Tapak dara merupakan simbol sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping menuju arah kehidupan alam sekitar.
2.3.2 Tapak Dara.
Tapak dara merupakan simbol sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping menuju arah kehidupan alam sekitar.
2.3.3 Beras merupakan simbul udara sebagai cerminan sang hyang bayu yang merupakan sumber pokok kehidupan, dan sebagai simbol benih yaitu benih-benih kehidupan
2.3.4 Kelapa merupakan simbul matahari atau “windu ” yakni cerminan sang hyang sadha siwa. buah yang serba guna (seluruh bagiannya dapat digunakan untuk kehidupan manusia) disimbulkan sebagai bumi dan juga sebagai kepala
2.3.5 Telur merupakan simbul bulan atau “ ardha chandra” yakni cerminan sang hyang siwa. Telur yang digunakan dalam Daksina diusahakan menggunakan telur itik karena itik mampu memilih makanan yang bisa atau yang tidak bisa dimakan, itik juga sangat rukun dengan sesamanya dan dapat menyesuaikan hidupnya baik di darat, air dan juga udara.
2.3.6 Peselan
Peselan ini terdiri dari lima jenis dedaunan yang mewakili lima warna yaitu:
a. Daun mangga mewakili warna hijau-hitam
b. Daun durian mewakili warna putih,
c. Daun langsat mewakili warna kuning,
d. Daun manggis mewakili warna merah, dan
e. Daun salak mewakili warna brumbun.
Kelima
macam warna daun ini dipergunakan sebagai simbul dari Panca Dewata yaitu warna
hitam adalah warna dari Dewa Wisnu, putih adalah Iswara, kuning adalah
Mahadewa, merah adalah Brahma dan brumbun (Panca warna) adalah Siwa. Namun
demikian, masih banyak yang mempergunakan jenis daun yang lain untuk mewakili kelima
daun tersebut seperti daun rambutan, endongan dan sebagainya tanpa mengurangi
makna simbolik yang terkandung didalamnya. Karena selain berpatokan pada tattwa
setiap upacara juga selalu berpatokan pada Desa (tempat), Kala (waktu), dan
Patra (Kondisi).
2.3.7
Gantusan
Gantusan yaitu yang dibungkus daun pisang (2 bungkus).
Yang masing-masing diisi dengan segala jenis ikan teri, bumbu (yang
melambangkan isi darat dan laut) serta biji-bijian (5 macam) yang mempunyai
warna (hitam, putih, merah, kuning dan campuran) sebagai cerminan adanya
jiwatman (roh).
2.3.8
Pangi merupakan
simbul sarwa pala bungkah cerminan sang hyang boma.
2.3.9
Tingkih
merupakan simbul bintang atau “ nata “ yakni cerminan sang hyang parama siwa.
2.3.10 Uang kepeng bolong merupakan simbul “ windu sunia”
yakni cerminan “sangkan paran”.
2.3.11 Porosan merupakan simbul silih asih, cerminan dari
sang hyang semarajaya semara ratih.
2.3.12 Benang tatebus warna putih
Di atas kelapa diisi dengan benang tatebus warna
putih. Penggunaan Benang dalam setiap pelaksanaan upcara keagamaan memiliki
makna simbolik sebagai tali penghubung antara yang memuja dan yang dipuja,
sebagai pengikat spiritualitas kita dan juga pada upakara-upakara tertentu
benang melambangkan usus.
2.3.13 Canang payasan yang sering juga disebut dengan
pasucian/pangresikan. merupakan simbul asta aiswarya yaitu sang hyang dewata
nawa sanga.
Daksina juga diisi sasari/uang. Daksina
secara utuh dalam penggunaannya biasanya dirangkaikan dengan jenis
upakara/bebantenan yang lain seperti : peras, ajuman, raka, dan yang lainnya.
Rangkaian banten ini biasanya disebut dengan pejati. Namun Daksina juga bisa berdiri sendiri apabila Daksina tersebut berfungsi sebagai Daksina linggih. Namun dalam Daksina
linggih ini ditambahkan dengan cili yang bermakna sebagai simbol wajah.
2.4
Mengapa kelapa Daksina
serabutnya dikerik bersih
Salah satu bahan pokok untuk membuat Daksina
adalah buah kelapa. Buah kelapa yang dipakai untuk membuat Daksina serabutnya harus dikerik bersih. Behkan Daksina untuk banten Nuntun Dewa hyang
harus dikerik lebih bersih lagi dan dinyaki dengan minyak sukla (suci). Swami
Satya Narayana mengatakan kelapa yang dipakai bahan pokok pembuatan banten Daksina serabutnya harus dikerik.
Serabut kelapa itulah adalah lambang indria yang mengikat. Daksina sebagai lambang Sthana Tuhan dan lambang penghormatan harus
bersih dari ikatan indria yang sangat pambrih itu. Suatu kerja yang didasarkan
pada kenikmatan indria tidaklah pantas mendapatkan penghormatan Daksina.
Demikian pula pemberian yang terhormat yang disebut Daksina tidak pantas kalau masih disertai dengan pambrih-pambrih
yang bersifat indriawi. Hal ini berarti Tuhan akan bersthana pada mereka yang
mampu melepaskan diri dari ikatan indriawi. Ini bukanlah berarti orang harus
merusak indrianya. Indria itu adalah alat. Ia tidak boleh dirusak bahkan harus
dipelihara dengan sebaik-baiknya agar ia dapat dijadikan alat yang baik. Yang
dimaksudkan disini adalah janganlah kita diperalat oleh indria kata Upanisad menyebutkan indria
itu ibarat kuda penarik kereta. Budhi ibarat kusir kereta, pikiran ibarat tali
kekang kereta. Atman ibarat pemilik kereta, badan ibarat kereta itu sendiri dan
jalan adalah obyek indria. Kalau ingin kereta itu larinya cepat dan terarah
maka kuda itu harus sehat dan kuat. Sehat dan kuatnya kuda tetap harus berada
dibawah kendali pikiran dan budhi jadinya serabut kelapa yang harus dibersihkan
itu adalah lambang daya pengikat indria yang dapat menyesatkan sang diri dari
samsara.
Dalam upacara-upacara besar banten Daksina digunakan Daksina yang besar pula. Misalnya upacar penebusan Oton yang
bertujuan untuk melindugi seseorang dari asfek negatif dari hari kelahiran.
Setiap hari menurut perhitungan kalender Hindu selalu ada bain buruknya. Agar
seeorang terhindar dari aspek burukya maka diadakan upacara penebusan Oton.
Inti upacara penebusan Oton itu menggunakan Daksina
gede. Daksina gede itu tergantung
Neptu (urip) dari kelahiran tersebut. Misalnya neptunya 5 maka Daksina gedenya Sarwa lima. Kelapanya
lima butir, telornya lima butir, pisangnya lima butir, dan yang lainnya juga
berjumlah lima.
2.5
Mytologi adanya kelapa
Kelapa memiliki manfaat yang demikian banyak dalam kehidupan umat manusia
dan mahluk hidup lainya. Sampai kelapa itu dimitoskan dalam cerita-cerita yang
dicukil dari purana. Samapai ada beberapa versi cerita tentang adanya kelapa.
Diceritakan ada dua orang raksasa kembar bernama Sunda Upasund. Dua raksasa ini
bertapa untuk menguasai sorga, tapanya sangat tekun. Dewa-dewa disurga
menugaskan Dewa Wiswakarma untuk mengujinya. Dewa Wiswakarma menciptakan
bidadari yang sangat cantik dari Bunga Ratna dan Biji Wijen. Sebelum bidadari
ini bertugas menggoda raksasa tersebut, Bidadari itu berkeliling disorga. Saat
Dewa Brahma melihat bidadari yang sangat cantik itu, Dewa Brahma sangat
terperanjat hingga beliau berkepala lima. Sedangkan Dewa Indra menjadi bermata
seribu saat menyaksikan kecantikan bidadari tersebut. Karena demikian cantiknya itupun turun kedunia menggoda raksasa kembar
tersebut. Kedua raksasa itupun kedua-duanya mati bertempur memperebutkan
bidadari yang cantik itu. Selanjutnya yang menjadi cerita adalah kepala Dewa
Brahma yang lima itu. Putra Dewa Siwa mengatakan Dewa Brahma berkepala empat
sedangkan Putra Dewa Indra mengatakan lima. Kedua putra Dewa ini bertaruh.
Siapa yang kalah harus menjelma kedunia sebagai manusia sengsara, mendengar hal
ini diam-diam Dewa Siwa melepaskan panah untuk memotong satu di antara lima
kepala Dewa Brahma sehingga Dewa Brahma menjadi berkepala empat. Dengan
demikian Dewa Brahma pun disebut Pala Dewa Catur Mukha. Dengan demikian putra
Dewa Siwa dapat mengalahkan putra Dewa Indra. Yang menjadi cerita selanjutnya
adalah kepala Dewa Brahma yang putus itu jatuh kedunia. Dunia menjadi digoncang
gempa akibat potongan kepala Dewa Brahma jatuh ke bumi. Dewa Siwapun
bertanggung jawab atas kejadian itu. Kepala Dewa Brahma diambilnya dan
dibuangnya kelaut. Lautpun menjadi goncang pula. Akhirnya kepala Dewa Brahma
itu diambil lagi oleh Dewa Siwa dan ditanam ditepi pantai. Lama kelamaan kepala
Dewa Brahma yang ditanam itupun tumbuh menjadi kelapa. Semenjak itulah ada
kelapa di dunia. Kelapa itulah yang sampai sekarang menjadi salah satu tumbuhan
yang sangat berperan dalam penyelenggaraan upacara Yajna di kalangan Umat
Hindu.
2.6 Mantra
Daksina :
om pakulun dewa wisnu
om dasa Daksina tattwa
sajnanam suddha ya namah
sang hyang trio daksa saksi
2.7
Penyatuan Siva Siddhanta Dalam Daksina
Penyatuan Siva Sidhanta yang terdapat di dalam Daksina adalah penyatuan sekte- sekte
yang yang pada umumnya telah terdapat di dalam bahan pembuatan Daksina tersebut. Sebenarnya didalam Daksina ini telah terjadi penyatuan
sekte Siwa sidantha tetapi yang lebih dominan terlihat adalah sekte Brahma
kalau kita kaji dari bahan yang digunakan misalnya bahan Kelapa dan telur itu
merupakan lambang dari buana agung dan didalam proses suatu penciptaan alam
semesta sehingga Dewa Brahma yang lebih berperan didalam hal ini.
3.
Kajian bukti kristalisasi sekte-sekte dalam Peras
3.1
PENGERTIAN PERAS
Banten Peras ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan
tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain seperti: Daksina, suci, tulang-sesayut dan
lain-lainnya. Dalam beberapa hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras
dan benang putih. Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka seseorang
(umumnya pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada "kulit-peras",
dan menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada Lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras melambangkan Hyang Tri Guna-Sakti.
Kiranya kata "Peras" dapat diartikan "sah" atau resmi, seperti kata: "meras anak" mengesahkan anak,
"Banten pemerasan", yang dimaksud adalah sesajen untuk mengesahkan
anak/cucu; dan bila suatu kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras, akan
dikatakan penyelenggaraan upacaranya "tan perasida", yang dapat
diartikan "tidak sah", oleh karena itu banten peras selalu menyertai
sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Pada
prinsipnya memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut
sukses (prasidha).
3.2
Bagian-bagian atau Unsur-unsur Peras yaitu:
3.2.1 Alasnya Tamas/ taledan/ Ceper: Tamas lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu
(simbol kekosongan yang murni/ananda). Ceper/ Aledan; lambang Catur marga
(Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga).
3.2.2 Kemudian disusun di atasnya Beras (makanan pokok –
sifat rajah), Uang Kepeng/recehan (untuk mencari segala
kesenangan – sifat tamas), benang (kesucian dan alat pengikat –
sifat satwam) merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan
persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar,
pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar.
3.2.3 Dua buah tumpeng (simbol rwa bhineda – baik buruk); lambang kristalisasi dari duniawi
menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan
sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan
kebendaan/perempuan) harus disatuakan baru bisa berhasil (Prasidha), tumpeng
adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego
dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan.
3.2.4 Base tampel/porosan (poros – pusat) yang merupakan lambang tri murti.
3.2.5 Kojong Ragkat, tempat rerasmen/lauk pauk; memiliki makna jika ingin mendapatkan
keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan,
tenaga dan hati nurani)
3.2.6 Diisi buah-buahan, pisang, kue secukupnya –
persembahan sebagai hasil kerja kita.
3.2.7 Sampyan peras; terbuat
dari empat potong janur dibentuk menyerupai parabola di atasnya, merupakan
lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi, waranugraha
dari Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan Dharma.
3.2.8 Canang Sari – inti dari segala yadnya,
merupakan simbol dari Ida Sang Hyang Widhi
3.3
MANTRA BANTEN PERAS
Oṁ Puspa Danta
ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ Pañca wara
bhawet Brahma
Visnu sapta wara
waca
Sad wara Isvara
Devasca
Asta wara Śiva
jnana
Oṁ kāra muktyate sarva peras
prasidha siddhi rahayu ya namah svaha.
4.
Kajian bukti kristalisasi sekte-sekte dalam Ajuman
4.1
Makna Serta Cara Membuat
Banten Ajuman/Soda
Ajumandalam bahasa Bali berasal dari kata dasar (kruna lingga) Ajum, padanannya dalam bahasa Indonesia berarti sanjung dan puja. Ajuman sebagaimana defenisinya merupakan
sarana upakara yang bertujuan untuk "ngajum"
memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa
beserta manifestasinya bahkan terkadang ajuman juga difungsingkan untuk memuja
leluhur. ajuman disebut juga soda
(sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila
ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu penek-nya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning,
disebut "perangkat atau
perayun" yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri,
demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper/ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar.
4.2 Komponen
penyusun Banten Ajuman
1.
Alasnya tamas/taledan/cepe: berisi
buah, pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua buah, rerasmen/lauk-pauk yang
dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan plaus/petangas, Canang Sari. Sarana yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi
(ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi)
2.
Nasi penek atau "telompokan" adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa
sehingga berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau
kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol
Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis.
3.
Sampyan Plaus/Petangas; dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan
melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam
memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan
Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika
BhaktaNya telah siap. Kadang sampyan plaus/petengas bisa
disebut "sampyan kepet-kepetan". dan dapat pula dilengkapi dengan
canang genten/ Canang Sari/ canang
burat wangi.
4.
beberapa jenis
jajan, buah-buahan, lauk pauk berupa serondeng atau sesaur, kacang-kacangan,
ikan teri, telor, terung, timun, taoge (kedelai), daun kemangi (kecarum),
garam, dan sambal.
4.3 Ajuman dan konsep
kristalisasi sekte-sekte dalam Siwa
Siddhanta
Kristalisasi sekte-sekte yang terdapat dalam Ajuman dapat ditelusuri dari bahan dan
komponennya. Alas Ajuman yang berasal
dari tangkih/celemik melambangkan Tri Kona (Utpeti, Stiti, Pralina) ini
sangat ketara adanya kristalisasi dari Sekte Brahmana, Waisnawa dan Siwa
Siddhanta. Nasi Penek juga merupakan
sumbangsih dari Sekte Waisnawa. Penggunaan daging berupa ikan teri merupakan
bukti pengaruh dari Sekte Bhairawa.
5.
KAJIAN PEJATI SERTA KRISTALISASI
DALAM SIVA SIDDHANTA
5.1
BANTEN
PEJATI
Pejati
berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa-”.
Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa-
membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang
menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh.
Jadi, Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk
menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan
melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar
mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa
dipergunakan dalam Pañca Yajña.
Banten Pejati sering juga disebut “Banten Peras Daksina”. Ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat
suci, begitu pula jika seseorang memohon jasa Pemangku atau Pedanda,
“meluasang” kepada seorang balian/seliran, atau untuk melengkapi upakara,
banten pejati sering dibuat. Oleh karena itu, pejati dipandang sebagai banten
yang utama, maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati
dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja.
5.2 Bahan dan komponen penyusun Banten
Pajati
Banten Pajati ini
terdiri dari 4 macam tetandingan
yaitu :
1.
Daksina, terdiri dari wakul
daksina yang dibuat memakai janur/slepan
yang di dalamnya dimasukkan tapak dara
beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya, lalu diatas kelapa diisi 7 kojong yg terbuat dari janur/slepan, yg masing-masing kojong
diisi telur itik, base
tampelan, irisan pisang tebu, kemiri, pangi, gegantusan, pesel-peselan lalu di atasnya diisi benang putih
dan terakhir letakkan canang burat wangi
di atasnya.
2.
Peras, memakai alas taledan lalu di atasnya diisi kulit peras yg diisi beras, benang, base tampelan, lalu
di atas kulit peras diletakkan 2 buah
tumpeng nasi putih, raka-raka (jajan dan
buah-buahan) selengkapnya, ditambah kojong
rangkadan yang terbuat dari janur/slepan
yang berisi kacang saur, gerang/terong goreng, garam, bawang
goreng, timun, lalu di atasnya diisi canang
dan sampiyan peras.
3.
Sodaan/Ajuman Rayunan, memakai tamas dari janur/slepan yang di dalamnya diisi 2 buah nasi penek, raka-raka
secukupnya, ditambah dengan dua buah clemik
berisi rerasmen seperti kacang saur, teri dan
lain-lain. Lalu di atasnya diisi canang dan
sampiyan Plaus/sampiyan Soda.
4.
Tipat Kelan, memakai
tamas sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi ketupat
nasi sebanyak 6 biji, lalu dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi rerasmen.
Di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/Soda. Untuk
melengkapi Pajati
perlu juga dibuatkan Pesucian yang
terbuat dari ceper bungkulan yang di
dalamnya dijahitkan 5 buah clemik,
yang masing-masing berisi boreh miik,
irisan pandan wangi yang dicampur minyak rambut, irisan daun bunga sepatu,
sekeping begina metunu, seiris buah
jeruk nipis dan 1 buah takir untuk
tirta, reringgitan suwah serit dan base tampel. Untuk pelengkapnya juga
perlu dibuatkan segehan putih kuning
dua tanding bila pajati
untuk dibawa ke Pura/Tempat suci.
Untuk
melengkapi Banten Pajati juga
perlu dibuatkan Penyeneng yang dibuat
dari 3 potong janur lalu kita bentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai tiga
bentuk kojong yang disatukan dan
berdiri tegak, di mana masing-masing kojong diisi dengan beras, tepung tawar (beras+daun dapdap+kunir ditumbuk) dan irisan bunga
cempaka dan jepun dicampur boreh miik, jagan lupa diisi
benang putih.
5.3 Makna dan Ista Dewata dalam Banten
Pajati.
Adapun bahan dan komponen Banten Pajati
serta dihaturkan kepada Sanghyang Catur
Loka Phala, yaitu:
1. Daksina, kepada Sanghyang
Brahma
2. Banten Peras, kepada Sanghyang Iswara
3. Banten Ajuman
Rayunan/Sodaan, kepada Sanghyang Mahadewa
4. Ketupat Kelanan, kepada Sanghyang
Wisnu. Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani
sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan
menyelimuti manusia.
5. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
6. Pesucian,
manusia harus menjaga kebersihan fisik dan
kesucian rohani
7. Segehan alit, lambang
harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan
8. Daun/Plawa sebagai lambang kesejukan.
9. Bunga sebagai lambang cetusan perasaan
10. Bija sebagai
lambang benih-benih kesucian.
11. Air sebagai lambang
pawitra, amertha
12. Api sebagai lambang
saksi dan pendetanya Yadnya.
5.4 Mantra
Pejati ( Daksina, Ajuman, Katipat Kelanan)
Oṁ
Puspa Danta ya namah svaha
Oṁ Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram
Prajapatir yogayusyam
Balam astu teja paranam
Guhyanam triganam trigunatmakam
Oṁ Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram
Prajapatir yogayusyam
Balam astu teja paranam
Guhyanam triganam trigunatmakam
Oṁ
namaste bhagavan Agni
Namaste bhagavan Harih
Namaste bhagavan Isa
Sarva bhaksa utasanam
Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara
Saktikam pastikanca raksananca saiva bhicarukam.
Namaste bhagavan Harih
Namaste bhagavan Isa
Sarva bhaksa utasanam
Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara
Saktikam pastikanca raksananca saiva bhicarukam.
Oṁ
Paramasiva Tanggohyam Siva Tattva Parayanah
Sivasya Pranata Nityam Candhisaya Namostute
Oṁ Naividyam Brahma Visnuca
Bhoktam Deva Mahesvaram
Sarva Vyadi Na Labhate
Sarva Karyanta Siddhantam.
Oṁ Jayarte Jaya mapnuyap
Ya Sakti Yasa Apnoti
Siddhi Sakalam Apnuyap
Paramasiva Labhate ya namah svaha
Sivasya Pranata Nityam Candhisaya Namostute
Oṁ Naividyam Brahma Visnuca
Bhoktam Deva Mahesvaram
Sarva Vyadi Na Labhate
Sarva Karyanta Siddhantam.
Oṁ Jayarte Jaya mapnuyap
Ya Sakti Yasa Apnoti
Siddhi Sakalam Apnuyap
Paramasiva Labhate ya namah svaha
5.5 Banten Pajati dan konsep kristalisasi
sekte-sekte dalam Siwa
Siddhanta
Melalui bahan dan komponen penyusun Banten Pejati penulis dapat mengkaji
adanya kristalisasi sekte-sekte dalam Banten
Pajati tersebut. Pengunaaan air dan bija
mengindikasikan adanya kristalisasi dari Sekte Waisnawa. Penggunaan Api
sebagai lambang Purohito Yadnya, merupakan
kristalisasi dari Sekte Brahmana. Segehan
alit merupakan kristalisasi dari Sekte Bhairawa. Selain dari sudut pandang
bahan dan komponen penyusun Banten Pajati,
dapat penulis kaji pula melalui Ista
Dewata yang di puja dari bahan dan komponen penyusun Banten Pajati. Adapun penjabaran dari hal tersebut adalah sebagai
berikut : Daksina, yang ditujukan kepada Sanghyang Brahma, Ista
Dewata dari Sekte Brahmana, Banten Peras, yang ditujukan kepada Sanghyang Iswara, Ista
Dewata dari Sekte Siwa Siddhanta dan Ketupat Kelanan, yang ditujukan kepada Sanghyang Wisnu, Ista
Dewata dari Sekte Waisnawa.
6. Kajian bukti kristalisasi sekte-sekte
dalam Sesayut
6.1 Pengertian
Sesayut
Sesayut berasal
dari kata “sayut” atau “nyayut” yang dapat diartikan mempersilakan atau
mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari Ista Dewata,
sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. (Wijayananda, 2003: 8) Sedangkan di lain pihak, Zoetmulder dalam Dunia (2008:
vi) menjelaskan bahwa sesayut berasal
dari kata “sayut” yang berarti tahan atau cegah.
Berangkat dari penjelasan Zoetmulder, Dunia
lebih lanjut memaparkan bahwa umat Hindu membuat Sesayut adalah untuk menahan,
mencegah orang agar terhindar dari mala,
gangguan yang merusak, kemalangan atau
penyakit. Satu defenisi yang berbeda
lagi, disampaikan oleh Wiana (2009; 53) yang menyatakan bahwa sesayut
berasal
dari kata “ayu” yang berarti selamat
atau rahayu. Kata “ayu” mendapat
pengater Dwi Purwa lalu menjadi Sesayu,
kemudian mendapat reduplikasi “t”
menjadi sesayut yang artinya menuju
kerahayuan. Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan
bahwa sesayut merupakan Sthana dari Ista
Dewata untuk memohon kerahayuan agar orang yang melaksanakan yadnya itu terhindar dari mala, gangguan, atau penyakit menuju pada kehidupan yang bahagia (rahayu).
6.2 Jenis-jenis Sesayut
6.2.1 Sesayut Mertya Dewa
Sesayut ini
terdiri dari sebuah kulit sesayut, di
atasnya diisi penek dan beras kuning,
dialasi dengan takir (terbuat dari
daun kelapa), dilengkapi dengan lauk-pauk, jajan, buah-buahan, sampian naga sari, penyeneng dan canang ganten atau canang jenis lainnya.
6.2.2 Sesayut Sida Karya
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, sesayut digunakan untuk memohon kerahayuan agar terhindar dari mala, gangguan, penyakit, dan sebagainya
sehingga pelaksanaan yadnya dapat
berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Senada
dengan pernyataan di atas Raras (2006 : 193) memaparkan bahwa Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Para Dewa pada saat
melaksanakan upacara Yadnya dalam
bentuk permohonan agar kegiatan yang dilaksanakan tidak menemui kegagalan. Sesayut Sidha Karya ini
digunakan dalam upacara Panca Yadnya
ataupun dalam bentuk pribadi sifatnya. Ada yang secara pribadi menghaturkan
banten ini di Sanggah Kemulan. Ada pula yang digunakan pada saat hari
kelahirannya atau otonannya. Terkait
dengan Ista Dewata yang dipuja
melalui persembahan Sesayut, Wijayananda (2006 : 3) dan
Bangli (2006 : 31) memberikan
sumbangsih pendapat yang sama. Mereka berdua menyebutkan bahwa Sesayut Sidha Karya ditujukan untuk Bhatara Mahesora dimana untuk peletakan
banten ini melihat arah mata angin yaitu arah ‘kelod-kangin’ (tenggara).
6.2.2.1 Cara Membuat
Sesayut Sidha Karya
1.
Alat dan Bahan:
-
Kulit Sesayut
-
Segehan bentuk
segi empat
-
Tumpeng kecil
-
4 buah kwangen
-
2 buah tulung
berisi nasi
-
Raka-raka (jajanan dan buah-buahan)
-
Daun sirih dan pinang
-
Sampian
Sesayut
2. Cara
Menata :
Kulit
Sesayut diletakkan di atas nampan
atau nare, di atasnya diisi segehan segi empat dan di tengah-tengah segehan diisi tumpeng kecil. Di sampingnya ditancapi kwangen 4 buah. Ujung tumpeng ditancapi
bunga tunjung. Di sampingnya diisi raka-raka
(buah dan jajan) serta dua buah tulung berisi
nasi yang dibawahnya dialasi dengan daun sirih dan pinang lalu diatasnya diberi
sampian sesayut.
Sesayut ini terdiri dari sebuah kulit sesayut diatasnya diisi nasi berbentuk segi empat, bagian tengah-tengahnya
diisi sebuah tumpeng yang agak besar dan diapit oleh tumpeng yang lebih kecil.
Pada tumpeng tersebar puncaknya diisi dengan terasi yang pada setiap sudutnya
diisi dengan kwangen. Selain itu
dilengkapi juga dengan sebuah tulung
dan perlengkapan lain yang pada dasarnya sama dengan Sesayut Merta Dewa. (Raras, 2006 : 194).
6.2.3 Sesayut Sidha Purna
Sesayut ini
terdiri dari sebuah kulit sesayut,
diisi nasi berbentuk bulat. Disekitarnya diisi lima buah penek masing-masing disisipi pucuk dapdap. Kemudian dilengkapi dengan Ketipat Sida Purna sebanyak lima buah dan perlengkapan lain seperti
Sesayut Sidha Karya.
Sesayut
Sidha Purna dihaturkan oleh seseorang dengan tujuan
menentramkan dirinya. Apabila seseorang tiba-tiba diliputi rasa takut dan cemas,
was-was yang tidak diketahui penyebabnya, maka sesayut ini dibuat sambil
memohon ke hadapan Ida Hyang Widi
agar jiwanya ditentramkan agar terhindar dari mala petaka dan bencana. Sesayut jenis ini
biasanya dihaturkan di Sangah Kemulan lalu
ditaruh di atas pelangkiran rumah
(Raras, 2006 : 196). Selain
itu, Sesayut Sidha Purna juga
digunakan pada saat pelaksanaan Manusa
Yadnya baik itu pada saat otonan,
mesangih (potong gigi) dan yang lainnya.
6.2.3.1 Cara Membuat
Sesayut Sidha Purna
1. Alat dan Bahan:
-
Kulit Sesayut
-
nasi 3 bulung
-
telur itik rebus dibagi 3
-
bunga tunjung (teratai)
-
raka-raka (buah
dan jajan)
-
sampian
nagasari
2. Cara menata:
Untuk
alasnya bisa digunakan nampan atau nare.
Diisi 3 bulung nasi, dipinggirnya diisi telur itik yang dibagi 3. Di atas nasi
ditancapi bunga tunjung, disampingnya diisi raka-raka
(bunga dan buah) dan terakhir disusun dengan sampian nagasari di atasnya. (Raras, 2006 : 196)
6.2.4 Sesayut Langgeng Amukti Sakti.
Sesayut ini terdiri dari kulit sesayut yang diisi sebuah penek.
Penek tersebut disisipi sebuah kalpika dan muncuk dapdap. Kemudian perlengkapan lainnya sama dengan kelengkapan sesayut lainnya.
6.2.5 Sesayut Prayasiscita Luwih
Terdiri dari sebuah kulit sesayut (bentuknya bulat terbuat dari daun kelapa). Diisi tulung agung (dibawahnya berbentuk tamas
dan diatasnya berbentuk cili). Di
dalamnya diisi nasi serta lauk pauk. Disusun dengan sebuah tumpeng yang diisi
sebuah bunga teratai putih. Di sekelilingnya diisi 11 penek kecil, sebelas kwangen,
11 buah tipat kukur/tipat gelatik, 11
buah tulung kecil, peras alit pasucian, penyeneng, klungah nyuh gading, lis, bebuu,
sampian naga sari, canang burat wangi
serta dilengkapi dengan jajan, buah-buahan, dan lauk pauk.
6.2.6 Sesayut Saraswati
Terdiri dari sebuah kulit sesayut, diisi penek warna merah, penek warna putih, dan penek
warna hitam. Masing-masing sebuah dan dilengkapi dengan lauk pauk, pisang,
buah-buahan, jajan, tebu, sampian naga
sari, penyeneng, dan canang burat wangi
atau canang jenis lainnya. Seperti
namanya, maka Sesayut Saraswati digunakan
ketika Hari Raya Saraswati.
6.3 Sesayut dan konsep kristalisasi
sekte-sekte dalam Siwa
Siddhanta
Sebagaimana
halnya sarana upakara lainya seperti Canang Sari, Daksina, Peras, Ajuman
dan Banten Pajati yang telah penulis bahas pada pemamaparan sebelumnya, Sesayut juga memiliki bukti bahwasanya
ada indikasi kristalisasi sekte-sekte baik dalam bahan dan komponen penyusunnya
begitu pula dalam Ista Dewata yang di
puja melalui persembahan Sesayut.
Indikasi tersebut meliputi : (1) Adanya pengaruh dari Sekte Siwa Siddhanta, misalnya dalam penggunaan
tumpeng yang merupakan simbol gunung yang merupakan sthana dari Hyang Siwa; (2) Adanya pengaruh dari Sekte Brahmana, misalnya dalam
penggunaan telur sebagai lambang penciptaan Bhuana
Agung, adanya Sesayut Saraswati yang ditujukan kepada Dewi Saraswati (Sakti Dewa
Brahma), sekiranya juga mendapat pengaruh dari Sekte Brahmana; (3) Adanya pengaruh dari Sekte Waisnawa,
misalnya dalam penggunaan Ketipat
yang ditujukan kepada Dewa Wisnu dan Dewi Sri (Dewi Padi); (4) Adanya pengaruh
dari Sekte Ganaptya, misalnya dalam pengguanaan bebuu, untuk menetralisir Bhuta
Kala.
Daftar Pustaka
Bangli, I Putu. 2006. Warnaning Sesayut lan Caru. Surabaya : Paramitha
Dunia, I Wayan. 2008. Nama-Nama Sesayut. Surabaya : Paramitha
Raras, Niken Tambang. 2006. Majejahitan dan Metanding. Surabaya : Paramitha
Wiana, Ketut. 2009. Suksmaning Banten. Surabaya :
Paramitha
Wijayananda, Mpu Jaya. 2003. Tetandingan
lan Sorohan Banten. Surabaya:
Paramitha
. 2006. Tataning Tetandingan Banten Sesayut. Surabaya : Paramitha